Ketika sahabat yang kita sayang percayakan kita..
Ketika teman dekat yang kita kasih percayakan kita...
Bahkan ketika orang yang tak kita kenal percayakan kita..
Haruskah kita menolak?
Haruskah kita menyingkir?
Haruskah... haruskah...
Itulah yang kurasakan saat usia itu genap 20th. Aku sudah
memikirkan semua akibatnya matang-matang, bahkan sebulan sebelum tanggal itu
tiba. Aku bertekad, aku harus ini.. aku harus begitu... aku sudah ini.. aku
sudah begitu. Begitu banyak ungkapan-ungkapan yang terlintas di kepala,
meraung-raung dalam rongga, ingin segera muntah dan keluar saja.
Tapi apa...
Ketika aku sudah menghadapi ia, merasakan hadirnya, mendekapnya
langsung dengan mata. Aku justru takut, aku malah kawatir, aku mulai gelisah
tak alang keringat panas-dingin mulai tumpah satu-satu. Saat ucapan selamat
dari semua teman, sahabat, keluarga dan kerabat lainnya terlontar.
Aku terlempar jauh... sangat jauh.
Bagaimana mungkin, beban yang ku tanggung selama ini sudah sangat
berat. Tapi, sekarang jauh lebih berat lagi. Tanggungjawab yang ku lakoni
dulunya berat, tapi kini jauh lebih berat dari berton-ton benda padat.
Kata orang dua puluh itu adalah angka keramat...
Dua puluh itu angka mujarab...
Dua puluh itu angka (ah bingung saya cari akhiran yang sama)
Tapi, kali ini dua puluh menamparku talak.
“Kebaikan apa yang sudah
kau bekalkan nanti?
Kemana saja kaki itu kau langahkan?
Dimana saja kau habiskan waktu selama ini?
Sudahkah kau tundukkan pandangan ketika adam memandang?
Sudahkah kau tutupi auratmu sempurna?
Berapa lama kau habiskan waktu untuk mengunjing saudaramu?
Seberapa sulitkah engkau memaafkan dosanya?
Mengapa engkau biarkan saudaramu terbuka dan tak merasa malu?
Apakah kau sudah menjaga hati?
Bagaimana kau menunduk sedang yang lain masih menengadah?
Apa kau sudah siap dengan kematian?
Sudahkah kau beribadah selama ini?
Berapa banyak ibadah yang belum kau penuhi?
Berapa jumlah uang saudaramu yang belum kau lunasi?
Apa yang akan kau lakukan ketika engkau dipanggil kini?
Hening...
Nyanyian ilalang menyibak sunyi..
Pertanyaan itu seolah cambuk yang terus menikam kelamku, menusuk
malamku dan mengoyak senjaku.
Apa yang harus kulakukan dengan angka dua puluh?
Ia begitu dekat... dekat.. dan mengikatku erat.. kuat... lekat
Aku takut... aku tak kuat..
Aku takut.. aku terjerat..
Aku takut.. aku terperangkap.
Aku takut, aku sesat.
Dimana..
Dimanakah cahaya putih yang menunggumu selama ini?
Katakan aku akan siap menjemputmu tanpa aba-aba.
Terimakasih buat mak, ayah, adik, keluarga, sahabat, teman, akhwat
dan ikhwan yang sudah mengucapkan selamat atas hadirku. Tapi aku masih takut,
kalau aku belum mampu memikul semuanya sekaligus. Bantu aku menuju dewasa yang
hakiki.
:’(
No comments:
Post a Comment