Friday, December 26, 2014

BALADA DUKA Di TANOH REUNCONG!

Siluet jingga tersenyum pagi itu
Menyapa setiap jengkal, lautan anak adam

Pantai Lhok Nga, Lampuuk, Ujong Batee, Ulee-Lheue menjadi sasaran empuk semua kalangan

Anak-anak berlarian dengan kaki telanjang di sepanjang pantai

Sedang ayah-bunda hanya tersenyum di balik Jambo  yang mereka duduki

Pukul 08.00 wib
Langit membawa titah sang Raja, dengan seonggok duka penuh cita.
Gempa dengan kekuatan 9.5 SR telah meluluhlanttakkan tanah rencong sekejap mata.
10 menit berlalu…
Laut mulai menyusut, pepasir pantai surut seolah ikut tertelan olehnya

Tak lama kemudian…
Larutan pekat nan gelap berubah sebongkah gunung raksasa
Siap menelan ribuan masa dengan sekali hentakan.
Allahu akbar…
Allahu akabar…
Laa ilaa ha illaallah…
Laa ilaa ha illaallah…
Takbir menggema di seluruh pelosok Nanggro Aceh Darussalam
Gulungan ombak telah menyapu segalanya tanpa sisa

Kini, daratan telah menjelma lautan porak-poranda
Bayi-bayi tak berdosa tersangkut di rentetan puing-puing bebangunan
Ibu-ibu terhanyut dengan buah hati dipangkuan
Kabel-kabel terputus, tiang listrik ambruk, mobil dan truk remuk, hotel bertingkat, rumah berlipat, rata seketika.
Allahu akbar…
Tsunami telah menelan bahagia generasi Aceh.

10 tahun berlalu…
Perih dan luka lambat laun pun terobati
Dan airmata yang dulu mengalir di rentetan sungai Krung Aceh, kini menguap sudah
Acehku kini telah bangkit dan kembali menggenggam harapan penuh cita dan cinta.
                       
@Meusium Tsunami, Banda Aceh

                                                             

Monday, December 22, 2014

Meuchen Bak Mata

Terbayang satu wajah, penuh cinta, penuh kasih
Terbayang satu wajah, penuh dengan kehangatan.
Oh ibu…
Oh ibu…
Tak ada kasih sayang setulus ibu, tak ada sahabat, sejujur ibu, tak ada guru sesabar ibu, tak ada pengorbanan seikhlas ibu. Ibu… ibu… ibu.. perempuan yang sudah bersusah payah, memapah dan menyusu hingga aku tumbuh sebesar saban waktu.
Dulu, saat aku masih sekolah madrasah, mamak kerap kali mengingatkanku agar tidak boleh makan yang pedas, asam-asaman atau nasi yang terlalu keras, ingat tifus, katanya. Tapi, sejak aku menjadi mahasiswi, hingga kini sudah di semester lima, satu persatu pantangan itu mulai kuabaikan. Kadang memang tidak sengaja, keadaan yang menuntunku demikian,. Anak kost macam aku ini akan makan apapun untuk menghindari lapar, kalau kamu (?)
Pernah suatu hari, saat di kampung, aku mendengar ayah berceloteh akan masakan mamak yang itu-itu saja, saat hari megang tiba. Mungkin ayah tak bermaksud menyinggung, sebab yang kutahu ayah akan pasti memakan dengan lahap apapun yang dimasak mamak. Tapi hingga aku berusia 20 tahun, “Masakan Tek Ti[1]” selalu menjadi menu andalan mamakku. Wal-hasil aku pun diutus sebagai salah satu perwakilan ayah untuk menyampaikan keluh-kesah yang sudah menahun tak pernah terungkap. “Mak, sigo-go masak rendang atau manok panggang, bek masak Tek Ti tiep uro, ayah ka bosan.”[2] Ungkapku diwaktu lenggang. Entah mamak sudah menangkap gelagat aneh dari ayah beberapa waktu lalu saat menikmati masakan Tek Ti yang keseringan atau mamak sudah menemukan resep baru, pengganti masakan Tek Ti. Akirnya menu kami di hari megang tahun kemarin, berubah menjadi Ayam Sambal Ijo. Enak memang, tapi keanehan lain mulai muncul. Saat ayah kembali membeli ayam dan memotongnya, mamak pun kembali memasak ayam sambal ijo yang sama, berturut-turut hingga beberapa kali. Terakir aku tau, kalau setiap kali mamak memasak dan mendapat pujian serta respon positif dari orang rumah, maka bersiaplah menu harian di rumah kami akan itu-itu saja hingga 7 hari 7 malam berlalu. Hehe.. tetap saja aku suka, ada kesan tersendiri saat menikmatinya.
Satu yang paling kutakutkan dari mamak, bila ada panggilan masuk sudah sampai 10x atau lebih dan aku lupa mengangkatnya, entah karna Hp sedang di cass atau di diamkan, maka bersiaplah akan mendapati mamak ngambek selama 24 jam non stop. “Han kuthem marib lhe![3]” ucapnya ketus. Kalau sudah seperti itu, aku akan memikirkan beribu cara untuk menarik perhatiannya kembali. Mulai dari menawarkan kain batik, jilbab kurung, bros dll, hingga mamak kembali luluh dan melunak seperti semula. Yah, usahaku memang  selalu membuahkan hasil, meskipun pada awalnya, aku harus mendengar khutbah beliau selama 2x45 menit lamanya. Jujur, bersamanya aku memang lebih banyak diam dan memutuskan untuk menjadi pendengar yang baik ketimbang nyerocos macam ibu-ibu arisan, tak jarang aku juga sering kehilangan bahan obrolan bila sudah terlalu lama menelpon. Hal ini sangat berbeda bila aku menelpon ayah. 1 jam, 2 jam bahkan 3 jam durasi, ada saja topik yang kami bahas, bahkan keunikan mamak sering menjadi salah satu unlimited topic pembicaraan kami saat itu. Aku memang lebih terbuka sama ayah jika dibandingkan dengan mamak, bahkan untuk sekedar menangis aku justru ke ayah, bukan ke mamak. Mungkin endingnya akan tragis bila sempat menangis sama mamak.
Kini, sudah 1 bulan mamak tidak mengunjungiku di sini, di Banda aceh. Terakir beliau datang, pun karna ikut pelatihan sosialisasi kurikulum 2013. Itu juga cuma 2 hari, sebab perjalanannya terhambat akan musibah berupa longsor dan banjir di daerah Gunung Kulu, Lamno. Beruntung panitia mafhum, mamak pun bisa mengikuti workshop tersebut walau sehari. Tatkala aku menjemput beliau kembali ke kost, aku tak berhenti mendengar ceritanya hingga larut malam. Ceritanya juga tak jauh dari topik seputar workshop dan pengalaman menginap di hotel. Entah tentang bagaimana mamak pertama kali naik lift hingga salah tekan tombol, dan tak sampai-sampai ke lantai tiga, tentang pintu yang hanya bisa dibuka dengan kartu gesek atau tentang sepatu high hill yang sengaja beliau selipkan diantara sandal swallow. Bila begitu, aku kembali ingat pesan ayah, “Hana peu neuk, peudiyeu mantong, nyan mak teungoh meu ubat.”[4] Pernah juga, aku iseng-iseng meminta mamak untuk menceritakan bagaimana pertemuan ayah dan mamak pertama kali hingga sampai menikah, dan aku pun berniat ingin menulis novel tentang mereka berdua, Allahumma amiienn. Namun, saat kukatakan tokoh utamanya dalam hal ini ayah, maka mamak cemberut, beliau seolah tak rela bila yang menjadi tokoh utamanya ayah. Beliau semakin menggebu bercerita saat aku mengalah dan membiarkan mamak lah sebagai tokoh utamanya, menggantikan posisi ayah. Ah, ini juga hal unik yang kudapat darinya.
Setelah mamak menginap 2 malam di kost ku, akirnya, beliau memutuskan untuk pulang ke kampung, Kotafajar, Aceh Selatan, malam selasanya. Namun hal yang belum pernah kurasakan hingga umur ku genap berkepala dua adalah, mamak mencium dan memelukku. Yah, itu yang tak pernah kurasakan sebelumnya, dan merasakannya di senin malam, sebelum kepulangannya. Sejuk, nikmat ada kehangatan di sana, ada kerinduan yang menggebu dan ada cinta yang tak pernah cukup bila hanya ditulis dan diucap dengan kata-kata. “Nak, bek pike peu laen, fokus belajar ngen peubut yang  get-get mantong, bek ikot lingkungan yang hana beutoy, bek tuwo sembaahyang.” [5] Beliau kembali mencium keningku, sebelum beranjak memasuki mobil L-300. Kulihat ada satu titik embun tertinggal di wajahku saat itu.
Mak, selamat hari ibu, semoga tetap kuat dan semangat menantang pancaroba yang saban hari menguji imanmu.



Banda Aceh, 22 Desember 2014
                                                                                   
Adinda,
Zahraton Nawra



[1] Masakan ayam dengan campuran kelapa yang sudah digonseng dan ditumbuk hingga keluar minyak, rempah dan daun kemangi. Tek Ti adalah alm. Kawan mamak yang meninggal beberapa tahun lalu, dinamakan masakan Tek Ti, karna beliaulah yang pertama kali mengajarkan mamak resep demikian.
[2] Mamak, sekali-kali dimasakin rendang atau ayam bakar, jangan masak Tek Ti tiap hari, ayah sudah bosan
[3] Gak mau ngomong lagi
[4] Tidak masalah nak, biarkan saja, ibumu sedang berobat.
[5] Nak, jangan mikirin yang lain, fokus belajar dan berbuat yang baik-baik saja, jangan ikuti lingkungan yang tidak baik dan jangan tinggalkan sembahyang.

Friday, December 26, 2014

BALADA DUKA Di TANOH REUNCONG!

Siluet jingga tersenyum pagi itu
Menyapa setiap jengkal, lautan anak adam

Pantai Lhok Nga, Lampuuk, Ujong Batee, Ulee-Lheue menjadi sasaran empuk semua kalangan

Anak-anak berlarian dengan kaki telanjang di sepanjang pantai

Sedang ayah-bunda hanya tersenyum di balik Jambo  yang mereka duduki

Pukul 08.00 wib
Langit membawa titah sang Raja, dengan seonggok duka penuh cita.
Gempa dengan kekuatan 9.5 SR telah meluluhlanttakkan tanah rencong sekejap mata.
10 menit berlalu…
Laut mulai menyusut, pepasir pantai surut seolah ikut tertelan olehnya

Tak lama kemudian…
Larutan pekat nan gelap berubah sebongkah gunung raksasa
Siap menelan ribuan masa dengan sekali hentakan.
Allahu akbar…
Allahu akabar…
Laa ilaa ha illaallah…
Laa ilaa ha illaallah…
Takbir menggema di seluruh pelosok Nanggro Aceh Darussalam
Gulungan ombak telah menyapu segalanya tanpa sisa

Kini, daratan telah menjelma lautan porak-poranda
Bayi-bayi tak berdosa tersangkut di rentetan puing-puing bebangunan
Ibu-ibu terhanyut dengan buah hati dipangkuan
Kabel-kabel terputus, tiang listrik ambruk, mobil dan truk remuk, hotel bertingkat, rumah berlipat, rata seketika.
Allahu akbar…
Tsunami telah menelan bahagia generasi Aceh.

10 tahun berlalu…
Perih dan luka lambat laun pun terobati
Dan airmata yang dulu mengalir di rentetan sungai Krung Aceh, kini menguap sudah
Acehku kini telah bangkit dan kembali menggenggam harapan penuh cita dan cinta.
                       
@Meusium Tsunami, Banda Aceh

                                                             

Monday, December 22, 2014

Meuchen Bak Mata

Terbayang satu wajah, penuh cinta, penuh kasih
Terbayang satu wajah, penuh dengan kehangatan.
Oh ibu…
Oh ibu…
Tak ada kasih sayang setulus ibu, tak ada sahabat, sejujur ibu, tak ada guru sesabar ibu, tak ada pengorbanan seikhlas ibu. Ibu… ibu… ibu.. perempuan yang sudah bersusah payah, memapah dan menyusu hingga aku tumbuh sebesar saban waktu.
Dulu, saat aku masih sekolah madrasah, mamak kerap kali mengingatkanku agar tidak boleh makan yang pedas, asam-asaman atau nasi yang terlalu keras, ingat tifus, katanya. Tapi, sejak aku menjadi mahasiswi, hingga kini sudah di semester lima, satu persatu pantangan itu mulai kuabaikan. Kadang memang tidak sengaja, keadaan yang menuntunku demikian,. Anak kost macam aku ini akan makan apapun untuk menghindari lapar, kalau kamu (?)
Pernah suatu hari, saat di kampung, aku mendengar ayah berceloteh akan masakan mamak yang itu-itu saja, saat hari megang tiba. Mungkin ayah tak bermaksud menyinggung, sebab yang kutahu ayah akan pasti memakan dengan lahap apapun yang dimasak mamak. Tapi hingga aku berusia 20 tahun, “Masakan Tek Ti[1]” selalu menjadi menu andalan mamakku. Wal-hasil aku pun diutus sebagai salah satu perwakilan ayah untuk menyampaikan keluh-kesah yang sudah menahun tak pernah terungkap. “Mak, sigo-go masak rendang atau manok panggang, bek masak Tek Ti tiep uro, ayah ka bosan.”[2] Ungkapku diwaktu lenggang. Entah mamak sudah menangkap gelagat aneh dari ayah beberapa waktu lalu saat menikmati masakan Tek Ti yang keseringan atau mamak sudah menemukan resep baru, pengganti masakan Tek Ti. Akirnya menu kami di hari megang tahun kemarin, berubah menjadi Ayam Sambal Ijo. Enak memang, tapi keanehan lain mulai muncul. Saat ayah kembali membeli ayam dan memotongnya, mamak pun kembali memasak ayam sambal ijo yang sama, berturut-turut hingga beberapa kali. Terakir aku tau, kalau setiap kali mamak memasak dan mendapat pujian serta respon positif dari orang rumah, maka bersiaplah menu harian di rumah kami akan itu-itu saja hingga 7 hari 7 malam berlalu. Hehe.. tetap saja aku suka, ada kesan tersendiri saat menikmatinya.
Satu yang paling kutakutkan dari mamak, bila ada panggilan masuk sudah sampai 10x atau lebih dan aku lupa mengangkatnya, entah karna Hp sedang di cass atau di diamkan, maka bersiaplah akan mendapati mamak ngambek selama 24 jam non stop. “Han kuthem marib lhe![3]” ucapnya ketus. Kalau sudah seperti itu, aku akan memikirkan beribu cara untuk menarik perhatiannya kembali. Mulai dari menawarkan kain batik, jilbab kurung, bros dll, hingga mamak kembali luluh dan melunak seperti semula. Yah, usahaku memang  selalu membuahkan hasil, meskipun pada awalnya, aku harus mendengar khutbah beliau selama 2x45 menit lamanya. Jujur, bersamanya aku memang lebih banyak diam dan memutuskan untuk menjadi pendengar yang baik ketimbang nyerocos macam ibu-ibu arisan, tak jarang aku juga sering kehilangan bahan obrolan bila sudah terlalu lama menelpon. Hal ini sangat berbeda bila aku menelpon ayah. 1 jam, 2 jam bahkan 3 jam durasi, ada saja topik yang kami bahas, bahkan keunikan mamak sering menjadi salah satu unlimited topic pembicaraan kami saat itu. Aku memang lebih terbuka sama ayah jika dibandingkan dengan mamak, bahkan untuk sekedar menangis aku justru ke ayah, bukan ke mamak. Mungkin endingnya akan tragis bila sempat menangis sama mamak.
Kini, sudah 1 bulan mamak tidak mengunjungiku di sini, di Banda aceh. Terakir beliau datang, pun karna ikut pelatihan sosialisasi kurikulum 2013. Itu juga cuma 2 hari, sebab perjalanannya terhambat akan musibah berupa longsor dan banjir di daerah Gunung Kulu, Lamno. Beruntung panitia mafhum, mamak pun bisa mengikuti workshop tersebut walau sehari. Tatkala aku menjemput beliau kembali ke kost, aku tak berhenti mendengar ceritanya hingga larut malam. Ceritanya juga tak jauh dari topik seputar workshop dan pengalaman menginap di hotel. Entah tentang bagaimana mamak pertama kali naik lift hingga salah tekan tombol, dan tak sampai-sampai ke lantai tiga, tentang pintu yang hanya bisa dibuka dengan kartu gesek atau tentang sepatu high hill yang sengaja beliau selipkan diantara sandal swallow. Bila begitu, aku kembali ingat pesan ayah, “Hana peu neuk, peudiyeu mantong, nyan mak teungoh meu ubat.”[4] Pernah juga, aku iseng-iseng meminta mamak untuk menceritakan bagaimana pertemuan ayah dan mamak pertama kali hingga sampai menikah, dan aku pun berniat ingin menulis novel tentang mereka berdua, Allahumma amiienn. Namun, saat kukatakan tokoh utamanya dalam hal ini ayah, maka mamak cemberut, beliau seolah tak rela bila yang menjadi tokoh utamanya ayah. Beliau semakin menggebu bercerita saat aku mengalah dan membiarkan mamak lah sebagai tokoh utamanya, menggantikan posisi ayah. Ah, ini juga hal unik yang kudapat darinya.
Setelah mamak menginap 2 malam di kost ku, akirnya, beliau memutuskan untuk pulang ke kampung, Kotafajar, Aceh Selatan, malam selasanya. Namun hal yang belum pernah kurasakan hingga umur ku genap berkepala dua adalah, mamak mencium dan memelukku. Yah, itu yang tak pernah kurasakan sebelumnya, dan merasakannya di senin malam, sebelum kepulangannya. Sejuk, nikmat ada kehangatan di sana, ada kerinduan yang menggebu dan ada cinta yang tak pernah cukup bila hanya ditulis dan diucap dengan kata-kata. “Nak, bek pike peu laen, fokus belajar ngen peubut yang  get-get mantong, bek ikot lingkungan yang hana beutoy, bek tuwo sembaahyang.” [5] Beliau kembali mencium keningku, sebelum beranjak memasuki mobil L-300. Kulihat ada satu titik embun tertinggal di wajahku saat itu.
Mak, selamat hari ibu, semoga tetap kuat dan semangat menantang pancaroba yang saban hari menguji imanmu.



Banda Aceh, 22 Desember 2014
                                                                                   
Adinda,
Zahraton Nawra



[1] Masakan ayam dengan campuran kelapa yang sudah digonseng dan ditumbuk hingga keluar minyak, rempah dan daun kemangi. Tek Ti adalah alm. Kawan mamak yang meninggal beberapa tahun lalu, dinamakan masakan Tek Ti, karna beliaulah yang pertama kali mengajarkan mamak resep demikian.
[2] Mamak, sekali-kali dimasakin rendang atau ayam bakar, jangan masak Tek Ti tiap hari, ayah sudah bosan
[3] Gak mau ngomong lagi
[4] Tidak masalah nak, biarkan saja, ibumu sedang berobat.
[5] Nak, jangan mikirin yang lain, fokus belajar dan berbuat yang baik-baik saja, jangan ikuti lingkungan yang tidak baik dan jangan tinggalkan sembahyang.