Terbayang
satu wajah, penuh cinta, penuh kasih
Terbayang satu wajah, penuh dengan
kehangatan.
Oh ibu…
Oh ibu…
Tak
ada kasih sayang setulus ibu, tak ada sahabat, sejujur ibu, tak ada guru
sesabar ibu, tak ada pengorbanan seikhlas ibu. Ibu… ibu… ibu.. perempuan yang
sudah bersusah payah, memapah dan menyusu hingga aku tumbuh sebesar saban waktu.
Dulu,
saat aku masih sekolah madrasah, mamak kerap kali mengingatkanku agar tidak
boleh makan yang pedas, asam-asaman atau nasi yang terlalu keras, ingat tifus,
katanya. Tapi, sejak aku menjadi mahasiswi, hingga kini sudah di semester lima,
satu persatu pantangan itu mulai kuabaikan. Kadang memang tidak sengaja,
keadaan yang menuntunku demikian,. Anak
kost macam aku ini akan makan apapun untuk menghindari lapar, kalau kamu (?)
Pernah
suatu hari, saat di kampung, aku mendengar ayah berceloteh akan masakan mamak
yang itu-itu saja, saat hari megang tiba. Mungkin ayah tak bermaksud
menyinggung, sebab yang kutahu ayah akan pasti memakan dengan lahap apapun yang
dimasak mamak. Tapi hingga aku berusia 20 tahun, “Masakan Tek Ti[1]”
selalu menjadi menu andalan mamakku. Wal-hasil aku pun diutus sebagai salah
satu perwakilan ayah untuk menyampaikan keluh-kesah yang sudah menahun tak
pernah terungkap. “Mak, sigo-go masak rendang atau manok panggang, bek masak
Tek Ti tiep uro, ayah ka bosan.”[2] Ungkapku
diwaktu lenggang. Entah mamak sudah menangkap gelagat aneh dari ayah beberapa
waktu lalu saat menikmati masakan Tek Ti yang keseringan atau mamak sudah menemukan
resep baru, pengganti masakan Tek Ti. Akirnya menu kami di hari megang tahun
kemarin, berubah menjadi Ayam Sambal Ijo. Enak memang, tapi keanehan lain mulai
muncul. Saat ayah kembali membeli ayam dan memotongnya, mamak pun kembali
memasak ayam sambal ijo yang sama, berturut-turut hingga beberapa kali. Terakir
aku tau, kalau setiap kali mamak memasak dan mendapat pujian serta respon
positif dari orang rumah, maka bersiaplah menu harian di rumah kami akan
itu-itu saja hingga 7 hari 7 malam berlalu. Hehe.. tetap saja aku suka, ada
kesan tersendiri saat menikmatinya.
Satu
yang paling kutakutkan dari mamak, bila ada panggilan masuk sudah sampai 10x
atau lebih dan aku lupa mengangkatnya, entah karna Hp sedang di cass atau di diamkan,
maka bersiaplah akan mendapati mamak ngambek selama 24 jam non stop. “Han kuthem marib lhe![3]” ucapnya
ketus. Kalau sudah seperti itu, aku akan memikirkan beribu cara untuk menarik
perhatiannya kembali. Mulai dari menawarkan kain batik, jilbab kurung, bros
dll, hingga mamak kembali luluh dan melunak seperti semula. Yah, usahaku
memang selalu membuahkan hasil, meskipun
pada awalnya, aku harus mendengar khutbah beliau selama 2x45 menit lamanya. Jujur,
bersamanya aku memang lebih banyak diam dan memutuskan untuk menjadi pendengar
yang baik ketimbang nyerocos macam ibu-ibu arisan, tak jarang aku juga sering
kehilangan bahan obrolan bila sudah terlalu lama menelpon. Hal ini sangat
berbeda bila aku menelpon ayah. 1 jam, 2 jam bahkan 3 jam durasi, ada saja topik
yang kami bahas, bahkan keunikan mamak sering menjadi salah satu unlimited topic pembicaraan kami saat itu. Aku memang lebih terbuka sama ayah
jika dibandingkan dengan mamak, bahkan untuk sekedar menangis aku justru ke
ayah, bukan ke mamak. Mungkin endingnya akan tragis bila sempat menangis sama
mamak.
Kini,
sudah 1 bulan mamak tidak mengunjungiku di sini, di Banda aceh. Terakir beliau
datang, pun karna ikut pelatihan sosialisasi kurikulum 2013. Itu juga cuma 2
hari, sebab perjalanannya terhambat akan musibah berupa longsor dan banjir di
daerah Gunung Kulu, Lamno. Beruntung panitia mafhum, mamak pun bisa mengikuti workshop tersebut walau sehari. Tatkala
aku menjemput beliau kembali ke kost, aku tak berhenti mendengar ceritanya hingga
larut malam. Ceritanya juga tak jauh dari topik seputar workshop dan pengalaman menginap di hotel. Entah tentang bagaimana mamak
pertama kali naik lift hingga salah tekan tombol, dan tak
sampai-sampai ke lantai tiga, tentang pintu yang hanya bisa dibuka dengan kartu
gesek atau tentang sepatu high hill
yang sengaja beliau selipkan diantara sandal swallow. Bila begitu, aku kembali ingat pesan ayah, “Hana peu neuk,
peudiyeu mantong, nyan mak teungoh meu ubat.”[4]
Pernah juga, aku iseng-iseng meminta mamak untuk menceritakan bagaimana
pertemuan ayah dan mamak pertama kali hingga sampai menikah, dan aku pun berniat
ingin menulis novel tentang mereka berdua, Allahumma
amiienn. Namun, saat kukatakan tokoh utamanya dalam hal ini ayah, maka mamak
cemberut, beliau seolah tak rela bila yang menjadi tokoh utamanya ayah. Beliau
semakin menggebu bercerita saat aku mengalah dan membiarkan mamak lah sebagai
tokoh utamanya, menggantikan posisi ayah. Ah, ini juga hal unik yang kudapat
darinya.
Setelah
mamak menginap 2 malam di kost ku, akirnya, beliau memutuskan untuk pulang ke
kampung, Kotafajar, Aceh Selatan, malam selasanya. Namun hal yang belum pernah
kurasakan hingga umur ku genap berkepala dua adalah, mamak mencium dan
memelukku. Yah, itu yang tak pernah kurasakan sebelumnya, dan merasakannya di
senin malam, sebelum kepulangannya. Sejuk, nikmat ada kehangatan di sana, ada
kerinduan yang menggebu dan ada cinta yang tak pernah cukup bila hanya ditulis
dan diucap dengan kata-kata. “Nak, bek pike peu laen, fokus belajar ngen peubut
yang get-get mantong, bek ikot lingkungan
yang hana beutoy, bek tuwo sembaahyang.” [5]
Beliau kembali mencium keningku, sebelum beranjak memasuki mobil L-300. Kulihat
ada satu titik embun tertinggal di wajahku saat itu.
Mak, selamat hari ibu, semoga tetap
kuat dan semangat menantang pancaroba yang saban hari menguji imanmu.
Banda Aceh, 22 Desember 2014
Adinda,
Zahraton Nawra
[1]
Masakan ayam dengan campuran kelapa yang sudah digonseng dan ditumbuk hingga
keluar minyak, rempah dan daun kemangi. Tek Ti adalah alm. Kawan mamak yang
meninggal beberapa tahun lalu, dinamakan masakan Tek Ti, karna beliaulah yang
pertama kali mengajarkan mamak resep demikian.
[2]
Mamak, sekali-kali dimasakin rendang atau ayam bakar, jangan masak Tek Ti tiap
hari, ayah sudah bosan
[3]
Gak mau ngomong lagi
[4]
Tidak masalah nak, biarkan saja, ibumu sedang berobat.
[5]
Nak, jangan mikirin yang lain, fokus belajar dan berbuat yang baik-baik saja,
jangan ikuti lingkungan yang tidak baik dan jangan tinggalkan sembahyang.
No comments:
Post a Comment