Aku hanya bisa menelan ludah, mendengar ucap gadis balia itu. Sejujurnya, aku sangat prihatin dengan kondisi masyarakat yang menjunjung tinggi demokrasi. Katanya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Tapi nyatanya, toh masih banyak rakyat jelata yang berkekurangan, kelaparan, menderita bahkan harus mengabdikan diri sebagai pengemis dan gelandangan. Mana janji penguasa untuk mensejahtrakan rakyatnya? Semua pertanyaan itu hanya terbentur tembok tikus berdasi. Katanya Demokrasi, tapi kok yang kenyang penguasa, yang jaya justru orang di dalam parlemen itu sendiri. Alangkah sedihnya jika orang-orang seperti ini dipertahankan atau terus dikembangbiakkan di bumi pertiwi. Ku lirik gadis balia di sampingku itu sekali lagi, diam-diam aku mengagumi sosoknya.
“Dik, kenalkan nama kakak Arya. Adik mau gak ikut kakak bergabung dengan teman-teman seusia adik?” Aku mencoba untuk menguasai situasi. Hening... lalu dia menggeleng, dan mulai beranjak. Aku menarik lengannya hingga terduduk kembali. “Ceritakanlah, apa masalahmu. Kakak akan sangat senang jika bisa membantu!”. Lagi-lagi dia hanya menggeleng dan mengisyaratkan untuk tidak menghalangi langkahnya lagi. Aku pasrah, lalu membiarkannya begitu saja.
Di ujung jalan, seorang kakek tua melambai kearahku. Bukan,
tepatnya ke arah gadis yang kutemui tadi. Gadis itu semakin mempercepat
jalannya dan menghampiri sang kakek di ujung jalan. Kakek itu tersenyum dan
membelai kepala cucunya yang tertutup kerudung. Aku hanya melihat adegan
singkat itu dari kejauhan lalu menghilang tertelan deru jalanan.
Keesokan harinya, aku kembali ketempat semula. Berharap gadis yang
kutemui kemaren kembali. 1 jam, 2 jam bahkan 3 jam berlalu begitu lamban. Sosok
itu tetap tidak hadir. Aku pasrah. Ketika aku hendak beranjak, seseorang
memukul pundakku lembut dari belakang. Saat
aku menoleh, tanpak wajah teduh sang kakek kemaren siang tersenyum ke arahku.
“Ada yang bisa kakek bantu, anak muda?” tanya sang kakek lembut. Aku hanya
tersenyum dan menggeleng. Seolah menangkap apa di pikiranku saat itu, sang
kakek lalu menarik lenganku dan membawaku ke suatu tempat yang aku sendiri tak
tau dimana. Namun aku seolah mendapatkan satu keanehan yang tak bisa ku
deskripsikan. Tiba-tiba aku disodorkan sebuah amplop biru muda oleh sang kakek.
Tanpa menunggu lebih lama, aku segera membuka isi amplop tersebut dan
membacanya.
Assalamu’alaikum
wr wb...
Untuk seseorang
yang aku sendiri belum mengenalnya.
Em... biar aku
tebak. Pasti engkau kini sedang dilanda kebingungan ya?
Kok aku bisa
mengirimkanmu surat, padahal aku tak pernah menginginkan hadirmu sebelumnya.
Sejujurnya, aku
telah mengenalmu, jauh sebelum tempo hari.
Kadang aku
memang aneh...
Dan aku ingin
engkau menikmati sebagian dari keanehanku itu
Kau tau! Selama
ini, aku slalu memantau setiap gerakmu.
Bagaiamana,
kapan, dimana dan untuk apa aku melakukannya?
Sebentar,
jangan terburu-buru membombardirku dengan ribuan pertanyaan.
Aku hanya ingin
memastikan saja.
Apa benar,
masih ada makhluk langka sepertimu di belahan bumi.
Dan mungkinkah
engkau, orang yang slama ini kucari.
Entahlah...
Aku hanya
sedikit penasaran, ya.. hanya sedikit.
Sejujurnya,
pertama kali melihatmu aku sudah jatuh cinta.
Ya, cinta
seorang penyelamat kegelapan jiwa yang kehausan.
Kau tau, sejak
aku bisa berbicara, berpikir dan mulai mengenal dunia.
Sejak itu pula
aku mulai mencari orang yang benar-benar ku percaya.
Banyak ragam
yang ku jumpai, banyak karakter yang ku hadapi dan banyak tingkah yang telah ku
jejali.
Semuanya membuatku
ragu akan arti sebuah kepercayaan.
Ah... jangan
berkerut dulu.
Sebenarnya aku
telah lama hidup, hidup di sekelilingmu...
Hidup di hati
orang-orang yang punya hati.
Disini aku bisa merasakan saat-saat dimana kehausan
kadang mengerogoti kehidupan
Kadang kebuasan
nafsu mencakar naluri kemanusiaan.
Aku mafhum,
karna aku hidup dihati orang-orang yang punya hati.
Terimakasih
sudah menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumahku, semoga engkau tidak
tersesat ketika pulangnya.
*Jadilah
setitik cahaya, dalam kegelapan yang memekatkan.
Salam...
Sang pemilik
hati.
Aku tersentak di sepertiga malam. Ku paksakan kaki dan beranjak ke
arah saklar untuk menghidupkan lampu. Kulihat amplop biru yang sama seperti
dalam mimpiku tergeletak tepat di samping tempat tidurku. Apa maksud semua
ini...
No comments:
Post a Comment