Tuesday, July 15, 2014

“Sajadah Biru Untuk Au”

    “Bunda... Bunda sayang kan sama Ayah?” tanya sikecil Aura.“Sayang dong, Nak! Kalau tidak sayang, mana mungkin Aunya ada.”
 “Telus kalau Bunda sayang, kenapa Ayah pelgi tinggalin Au dan Bunda? Bunda   bohong, Bunda gak sayang Ayah!”
“Bunda sayang Ayah kok, sama seperti Au sayang Bunda. Tapi apalah arti sebuah sayang dari Bunda dan Au jika ada zat yang Maha Esa lebih menyayangi Ayah, Dialah Allah Swt.”
Buah hatiku hanya memangguk-ngangguk, seolah ia sangat mengerti sekarang. Tapi mulutnya masih saja berkomat-kamit seolah ingin bertanya lebih jauh. “Oh ya Bun, kalau suatu hali nanti Au juga dipanggil oleh Aullah, Bunda ikhlas gak?”
Deg, seolah jantungku berhenti sesaat. Entah kenapa, kata-kata itu terasa menusuk palung hati terdalam, sangat sakit. “Sayang, kita shalat yuk, biar hati kita lebih tenang, biar Au bisa mendo’akan Ayah juga.” Ia mengangguk dan tersenyum, lalu pergi mengekorku dari belakang.  Sejenak pertanyaan yang ia lontarkan tadi sudah terlupakan. Aku tak berniat untuk membahasnya lebih jauh. Bagiku Aulah satu-satunya harapan dan penopang semangatku kini.
Shalat zuhur terasa jauh lebih berat dari sebelumnya, Au yang sudah terbiasa shalat berjama’ah sejak kecil, selalu mengikuti semua gerakan-gerakan shalatku setelahnya. “Aku bangga padamu, Yah. Sejak kecil engkau selalu mengajarkan anak kita agama dan tatacara ibadah yang baik, hingga kini ia tidak lupa satu pun bacaan shalatnya. Aku bersyukur. Yah! Terimakasih banyak.” Aku begitu kaget, tatkala membuka mata dan melihat Au sudah duduk diam tepat di hadapan dengan mimik penuh selidik.
“Kok Bunda nangis? Bunda ingat Ayah yah?” “Enggak sayang, Bunda justru terharu melihat kemajuan anak Bunda sekarang yang semakin meningkat.” Aku mengusap sisa air yang masih menempel di pelupuk mata, lalu memeluk si kecil. “Bunda gak boleh nangis lagi yah, kan masih ada Au di sisi Bunda. Au akan menjaga Bunda sepelti Ayah dulu menjaga Au dan Bunda. Au gak akan tinggalin Bundanya, Au akan belajal lebih giat lagi. Au janji, bial Bunda makin bangga sama Au”. Aku tak bisa lagi membendung tangis, suara cadelnya kini menjerat luka. Tapi Au benar, aku tak boleh menangis lagi. Setidaknya, aku masih punya Au sebagai titipan Allah yang tiada tara indahnya. Lalu aku mengecup kening Au dan tersenyum. “Bunda sayang Au!” Ia balas memeluk “Au juga sayang Bunda.”
Aku masih ingat, hari itu Au pulang mengaji lebih cepat dari biasanya. Aku tak bisa menjemputnya karna aku harus mengisi kajian di Meunasah dekat rumah. Au tau persis kapan dan dimana aku mengisi kajian rutin ba’da jum’at tersebut. Lalu ia mendatangi Meunasah.
“Assalamu’alaikum Bunda.” Ia masuk dan menyalami seluruh ibu-ibu yang mengikuti kajian tersebut satu-satu, lalu berhenti di hadapku.
“Bunda! Bunda! lihat ni Au dapat sajadah dari Ust Mahmud. Kata Ust, siapa yang banyak hafalan dan bacaannya benal semua. Ust akan hadiahkan sesuatu.” Ia mendekatkan sejadah biru yang ia maksud kepadaku. Aku mengusap rambut putriku yang terbalut jilbab.
“Au harus tunggu Bunda pulang dulu ya, Bunda juga punya hadiah ni. Tapi Au harus janji, hafalannya harus lebih meningkat.”
“Siap Bos!” lalu Au kecil beranjak keluar sambil bernyanyi gaya cadelnya.
Beberapa saat kemudian, pengajian pun berakhir. Kusegerakan pulang dan menjumpai Au yang lama menunggu di rumah. Tiba-tiba aku kaget bukan kepalang. Aku justru tak menemukan Au sama sekali, rumah itu kosong dan terlihat berantakan.
“Au, dimana kamu Nak?  jangan bercanda lagi.” Aku terus mencarinya setiap sudut ruangan. Tak kutemukan siapa-siapa selain kevakuman. Aku lemas, kakiku beku dan kaku, tak sanggup lagi berjalan. Lalu, di sudut kamar, aku menangkap sesuatu yang baru. Benar, itu sajadah yang dinampakin padaku di tempat pengajian tadi. “Au, kemana kamu Nak!”
Tiba-tiba Hp ku berdering, ku rogoh Hp dan mengangkatnya cepat.
“Ass....”  “Cepat berikan uang 100 juta saat ini juga, kalau anakmu mau selamat. Aku tunggu sampai sore nanti, di dekat lapangan basket. Ingat! sampai sore nanti dan jangan coba-coba memanggil polisi.”
“Bundaaaaaaaaaaaa........! aku mendengar jeritan seorang bocah di ujung telpon, sebelum, tut.. tut.. tut.. panggilan terputus.
“Astagfirullahal’adhim, cobaan apa lagi ini, Rab! Baru tadi aku melihat kelincahannya Au di pengajian dan kini ia dibawa entah kemana.” Aku segera merogohkan Hp dan menghubungi Ust. Mahmud.
“Assalamu’alaikum Tat, maaf mengganggu. Saya mohon bantuan Ust sekarang. Au dibawa oleh orang yang tak ku kenal, ia meminta tebusan 100 juta dan tidak boleh membawa polisi.” Ucapku tak henti.
“Tenanglah, saya akan kesana sekarang. Ceritakan detailnya nanti.” Obrolan terputus.
“Kenapa Bu?” Dari luar aku melihat seseorang dengan piyama dan peci putih menghampiriku. Aku kenal betul siapa dia, Ust. Mahmud yang menjadi tetangga jauh sekaligus Ustnya putriku, Au.
Aku menceritakan tragedi na’as itu sekilas, kemudian Ust. Mahmud berinisiatif untuk tetap menelpon polisi bagaimanapun resikonya. Telpon lagi-lagi berdering, dari unknown.
“Bagaimana, apa duitnya sudah disiapkan? Waktumu tinggal satu jam lagi dari sekarang. Kalau terlambat satu detik saja tanpa duit yang aku maksud, maka bersiaplah membawa pulang jenazah putrimu yang cantik ini.” “Jangan...!” telpon dimatikan.
Sementara di ujung sana, “Paman, mengapa tega melakukan itu pada Au. Apa salah Au dan Bunda. Bukankah selama ini Paman sudah cukup bahagia.
Apa salah kami Paman?” gadis kecil tak berdosa itu mulai terisak dalam balutan busana muslimahnya.
“Kamu mau tau? Ah, anak sekecil kamu tau apa.” Ia menginjak puntung rokok yang masih menyala.
“Dulu, sebelum Ayahmu menikahi Bundamu. Aku sudah lebih dulu melamarnya, tapi Bundamu yang sok suci, menolak lamaranku hanya karna aku tidak sesaleh Imran, Ayahmu.” Ia melanjutkan lagi. “Sialnya, mereka menikah justru tatkala aku berada dijeruji besi. Aku masih ingat, ketika Fahmi, adik bungsuku memberitahu bahwa Bundamu dan Imran brengsek melangsungkan pernikahannya tepat dihari itu. Aku tak terima. Sejak saat itu, aku berjanji akan membalas dendam dan menghancurkan keluarga kalian satu-satu.”
” Bagaimana anak manis, apa kau sudah siap menyusul Ayahmu ke neraka?” Paman jahat, paman gak punya hati. Paman tega melukai saudala sendili hanya kalna nafcu caitan.
Aku benci paman, benci...”
“Diam!” tiba-tiba pisau yang dari tadi bersembunyi di balik kantong celana itu, mendarat tepat di ulu hati Au, anak kecil yang tak berdosa.
“Tidakkkk... suara histeris seorang perempuan paruh baya terdengar di muka pintu. Saat itu juga, polisi telah mengepung tempat kejadian dan berhasil menembak tepat di kening penculik yang tak lain Paman Au sendiri, Ia meninggal di tempat.
“Anakku, Au! Jangan tinggalin Bunda sayang.” Wanita malang itu segera mendekap putrinya yang terkulai lemah, sementara darah segar terus meluncur deras dari balik baju.
“Cepat panggilkan ambulan.” Au hanya tersenyum...
“Bunda! tenanglah, Au tidak kemana-mana kok. Au akan selalu di hati. Bunda jangan menangis lagi, Au gak bisa tenang kalau Bunda telus menangis. Kan Bunda pelnah celita, Ayah pelgi kalna Ayah lebih disayang Aulah ketimbang kita. Nah, kalau Au dipanggil sekalang, Aulah lebih memilih Au di sisi-Nya.”
Kulihat Ust. Mahmut mendekat ke arah kami.
“Ust, jaga Bunda Au yah! Jangan buat Bunda Au menangis telus, nanti bunda gak cantik lagi, Au sayang Bunda” aku segera memotong ucapannya. “Au gak boleh pergi, Au udah janjikan sama Bunda. Au akan jagain Bundanya.” Iyakan nak. Jawab Au, jawab!”
“Sudahlah Bu, Au sudah pergi dengan tenang. Ikhlaskan ia di sisi yang lebih berhak.” Hibur sang Ust.
Sejak kejadian pahit menimpa keluargaku beberapa waktu lalu, aku pun mulai belajar membuka hati dan menerima kehadiran seorang adam. Dialah Mahmud, orang yang kugagumi dan sangat berjasa dalam mendidik putriku, Au. Kami melangsungkan pernikahan tepat setelah sebulan kepergian Au. Aku kini lebih ikhlas merelakan kepergiannya daripada minggu-minggu lalu. Selain pernikahan ini permintaan putriku, aku juga butuh teman dan kepala keluarga yang bisa membimbimbing hatiku ke jalan-Nya kelak. Semoga Allah meridhai pernikahan ini.

Sumber :Google.com

No comments:

Tuesday, July 15, 2014

“Sajadah Biru Untuk Au”

    “Bunda... Bunda sayang kan sama Ayah?” tanya sikecil Aura.“Sayang dong, Nak! Kalau tidak sayang, mana mungkin Aunya ada.”
 “Telus kalau Bunda sayang, kenapa Ayah pelgi tinggalin Au dan Bunda? Bunda   bohong, Bunda gak sayang Ayah!”
“Bunda sayang Ayah kok, sama seperti Au sayang Bunda. Tapi apalah arti sebuah sayang dari Bunda dan Au jika ada zat yang Maha Esa lebih menyayangi Ayah, Dialah Allah Swt.”
Buah hatiku hanya memangguk-ngangguk, seolah ia sangat mengerti sekarang. Tapi mulutnya masih saja berkomat-kamit seolah ingin bertanya lebih jauh. “Oh ya Bun, kalau suatu hali nanti Au juga dipanggil oleh Aullah, Bunda ikhlas gak?”
Deg, seolah jantungku berhenti sesaat. Entah kenapa, kata-kata itu terasa menusuk palung hati terdalam, sangat sakit. “Sayang, kita shalat yuk, biar hati kita lebih tenang, biar Au bisa mendo’akan Ayah juga.” Ia mengangguk dan tersenyum, lalu pergi mengekorku dari belakang.  Sejenak pertanyaan yang ia lontarkan tadi sudah terlupakan. Aku tak berniat untuk membahasnya lebih jauh. Bagiku Aulah satu-satunya harapan dan penopang semangatku kini.
Shalat zuhur terasa jauh lebih berat dari sebelumnya, Au yang sudah terbiasa shalat berjama’ah sejak kecil, selalu mengikuti semua gerakan-gerakan shalatku setelahnya. “Aku bangga padamu, Yah. Sejak kecil engkau selalu mengajarkan anak kita agama dan tatacara ibadah yang baik, hingga kini ia tidak lupa satu pun bacaan shalatnya. Aku bersyukur. Yah! Terimakasih banyak.” Aku begitu kaget, tatkala membuka mata dan melihat Au sudah duduk diam tepat di hadapan dengan mimik penuh selidik.
“Kok Bunda nangis? Bunda ingat Ayah yah?” “Enggak sayang, Bunda justru terharu melihat kemajuan anak Bunda sekarang yang semakin meningkat.” Aku mengusap sisa air yang masih menempel di pelupuk mata, lalu memeluk si kecil. “Bunda gak boleh nangis lagi yah, kan masih ada Au di sisi Bunda. Au akan menjaga Bunda sepelti Ayah dulu menjaga Au dan Bunda. Au gak akan tinggalin Bundanya, Au akan belajal lebih giat lagi. Au janji, bial Bunda makin bangga sama Au”. Aku tak bisa lagi membendung tangis, suara cadelnya kini menjerat luka. Tapi Au benar, aku tak boleh menangis lagi. Setidaknya, aku masih punya Au sebagai titipan Allah yang tiada tara indahnya. Lalu aku mengecup kening Au dan tersenyum. “Bunda sayang Au!” Ia balas memeluk “Au juga sayang Bunda.”
Aku masih ingat, hari itu Au pulang mengaji lebih cepat dari biasanya. Aku tak bisa menjemputnya karna aku harus mengisi kajian di Meunasah dekat rumah. Au tau persis kapan dan dimana aku mengisi kajian rutin ba’da jum’at tersebut. Lalu ia mendatangi Meunasah.
“Assalamu’alaikum Bunda.” Ia masuk dan menyalami seluruh ibu-ibu yang mengikuti kajian tersebut satu-satu, lalu berhenti di hadapku.
“Bunda! Bunda! lihat ni Au dapat sajadah dari Ust Mahmud. Kata Ust, siapa yang banyak hafalan dan bacaannya benal semua. Ust akan hadiahkan sesuatu.” Ia mendekatkan sejadah biru yang ia maksud kepadaku. Aku mengusap rambut putriku yang terbalut jilbab.
“Au harus tunggu Bunda pulang dulu ya, Bunda juga punya hadiah ni. Tapi Au harus janji, hafalannya harus lebih meningkat.”
“Siap Bos!” lalu Au kecil beranjak keluar sambil bernyanyi gaya cadelnya.
Beberapa saat kemudian, pengajian pun berakhir. Kusegerakan pulang dan menjumpai Au yang lama menunggu di rumah. Tiba-tiba aku kaget bukan kepalang. Aku justru tak menemukan Au sama sekali, rumah itu kosong dan terlihat berantakan.
“Au, dimana kamu Nak?  jangan bercanda lagi.” Aku terus mencarinya setiap sudut ruangan. Tak kutemukan siapa-siapa selain kevakuman. Aku lemas, kakiku beku dan kaku, tak sanggup lagi berjalan. Lalu, di sudut kamar, aku menangkap sesuatu yang baru. Benar, itu sajadah yang dinampakin padaku di tempat pengajian tadi. “Au, kemana kamu Nak!”
Tiba-tiba Hp ku berdering, ku rogoh Hp dan mengangkatnya cepat.
“Ass....”  “Cepat berikan uang 100 juta saat ini juga, kalau anakmu mau selamat. Aku tunggu sampai sore nanti, di dekat lapangan basket. Ingat! sampai sore nanti dan jangan coba-coba memanggil polisi.”
“Bundaaaaaaaaaaaa........! aku mendengar jeritan seorang bocah di ujung telpon, sebelum, tut.. tut.. tut.. panggilan terputus.
“Astagfirullahal’adhim, cobaan apa lagi ini, Rab! Baru tadi aku melihat kelincahannya Au di pengajian dan kini ia dibawa entah kemana.” Aku segera merogohkan Hp dan menghubungi Ust. Mahmud.
“Assalamu’alaikum Tat, maaf mengganggu. Saya mohon bantuan Ust sekarang. Au dibawa oleh orang yang tak ku kenal, ia meminta tebusan 100 juta dan tidak boleh membawa polisi.” Ucapku tak henti.
“Tenanglah, saya akan kesana sekarang. Ceritakan detailnya nanti.” Obrolan terputus.
“Kenapa Bu?” Dari luar aku melihat seseorang dengan piyama dan peci putih menghampiriku. Aku kenal betul siapa dia, Ust. Mahmud yang menjadi tetangga jauh sekaligus Ustnya putriku, Au.
Aku menceritakan tragedi na’as itu sekilas, kemudian Ust. Mahmud berinisiatif untuk tetap menelpon polisi bagaimanapun resikonya. Telpon lagi-lagi berdering, dari unknown.
“Bagaimana, apa duitnya sudah disiapkan? Waktumu tinggal satu jam lagi dari sekarang. Kalau terlambat satu detik saja tanpa duit yang aku maksud, maka bersiaplah membawa pulang jenazah putrimu yang cantik ini.” “Jangan...!” telpon dimatikan.
Sementara di ujung sana, “Paman, mengapa tega melakukan itu pada Au. Apa salah Au dan Bunda. Bukankah selama ini Paman sudah cukup bahagia.
Apa salah kami Paman?” gadis kecil tak berdosa itu mulai terisak dalam balutan busana muslimahnya.
“Kamu mau tau? Ah, anak sekecil kamu tau apa.” Ia menginjak puntung rokok yang masih menyala.
“Dulu, sebelum Ayahmu menikahi Bundamu. Aku sudah lebih dulu melamarnya, tapi Bundamu yang sok suci, menolak lamaranku hanya karna aku tidak sesaleh Imran, Ayahmu.” Ia melanjutkan lagi. “Sialnya, mereka menikah justru tatkala aku berada dijeruji besi. Aku masih ingat, ketika Fahmi, adik bungsuku memberitahu bahwa Bundamu dan Imran brengsek melangsungkan pernikahannya tepat dihari itu. Aku tak terima. Sejak saat itu, aku berjanji akan membalas dendam dan menghancurkan keluarga kalian satu-satu.”
” Bagaimana anak manis, apa kau sudah siap menyusul Ayahmu ke neraka?” Paman jahat, paman gak punya hati. Paman tega melukai saudala sendili hanya kalna nafcu caitan.
Aku benci paman, benci...”
“Diam!” tiba-tiba pisau yang dari tadi bersembunyi di balik kantong celana itu, mendarat tepat di ulu hati Au, anak kecil yang tak berdosa.
“Tidakkkk... suara histeris seorang perempuan paruh baya terdengar di muka pintu. Saat itu juga, polisi telah mengepung tempat kejadian dan berhasil menembak tepat di kening penculik yang tak lain Paman Au sendiri, Ia meninggal di tempat.
“Anakku, Au! Jangan tinggalin Bunda sayang.” Wanita malang itu segera mendekap putrinya yang terkulai lemah, sementara darah segar terus meluncur deras dari balik baju.
“Cepat panggilkan ambulan.” Au hanya tersenyum...
“Bunda! tenanglah, Au tidak kemana-mana kok. Au akan selalu di hati. Bunda jangan menangis lagi, Au gak bisa tenang kalau Bunda telus menangis. Kan Bunda pelnah celita, Ayah pelgi kalna Ayah lebih disayang Aulah ketimbang kita. Nah, kalau Au dipanggil sekalang, Aulah lebih memilih Au di sisi-Nya.”
Kulihat Ust. Mahmut mendekat ke arah kami.
“Ust, jaga Bunda Au yah! Jangan buat Bunda Au menangis telus, nanti bunda gak cantik lagi, Au sayang Bunda” aku segera memotong ucapannya. “Au gak boleh pergi, Au udah janjikan sama Bunda. Au akan jagain Bundanya.” Iyakan nak. Jawab Au, jawab!”
“Sudahlah Bu, Au sudah pergi dengan tenang. Ikhlaskan ia di sisi yang lebih berhak.” Hibur sang Ust.
Sejak kejadian pahit menimpa keluargaku beberapa waktu lalu, aku pun mulai belajar membuka hati dan menerima kehadiran seorang adam. Dialah Mahmud, orang yang kugagumi dan sangat berjasa dalam mendidik putriku, Au. Kami melangsungkan pernikahan tepat setelah sebulan kepergian Au. Aku kini lebih ikhlas merelakan kepergiannya daripada minggu-minggu lalu. Selain pernikahan ini permintaan putriku, aku juga butuh teman dan kepala keluarga yang bisa membimbimbing hatiku ke jalan-Nya kelak. Semoga Allah meridhai pernikahan ini.

Sumber :Google.com

No comments: