“Telus
kalau Bunda sayang, kenapa Ayah pelgi tinggalin Au dan Bunda? Bunda
bohong, Bunda gak sayang Ayah!”
“Bunda
sayang Ayah kok, sama seperti Au sayang Bunda. Tapi apalah arti sebuah sayang
dari Bunda dan Au jika ada zat yang Maha Esa lebih menyayangi Ayah, Dialah
Allah Swt.”
Buah
hatiku hanya memangguk-ngangguk, seolah ia sangat mengerti sekarang. Tapi
mulutnya masih saja berkomat-kamit seolah ingin bertanya lebih jauh. “Oh ya
Bun, kalau suatu hali nanti Au juga dipanggil oleh Aullah, Bunda ikhlas gak?”
Deg,
seolah jantungku berhenti sesaat. Entah kenapa, kata-kata itu terasa menusuk
palung hati terdalam, sangat sakit. “Sayang, kita shalat yuk, biar hati kita
lebih tenang, biar Au bisa mendo’akan Ayah juga.” Ia mengangguk dan tersenyum,
lalu pergi mengekorku dari belakang. Sejenak pertanyaan yang ia lontarkan
tadi sudah terlupakan. Aku tak berniat untuk membahasnya lebih jauh. Bagiku
Aulah satu-satunya harapan dan penopang semangatku kini.
Shalat
zuhur terasa jauh lebih berat dari sebelumnya, Au yang sudah terbiasa shalat
berjama’ah sejak kecil, selalu mengikuti semua gerakan-gerakan shalatku
setelahnya. “Aku bangga padamu, Yah. Sejak kecil engkau selalu mengajarkan anak
kita agama dan tatacara ibadah yang baik, hingga kini ia tidak lupa satu pun
bacaan shalatnya. Aku bersyukur. Yah! Terimakasih banyak.” Aku begitu kaget,
tatkala membuka mata dan melihat Au sudah duduk diam tepat di hadapan dengan mimik
penuh selidik.
“Kok
Bunda nangis? Bunda ingat Ayah yah?” “Enggak sayang, Bunda justru terharu
melihat kemajuan anak Bunda sekarang yang semakin meningkat.” Aku mengusap sisa
air yang masih menempel di pelupuk mata, lalu memeluk si kecil. “Bunda gak boleh
nangis lagi yah, kan masih ada Au di sisi Bunda. Au akan menjaga Bunda sepelti
Ayah dulu menjaga Au dan Bunda. Au gak akan tinggalin Bundanya, Au akan belajal
lebih giat lagi. Au janji, bial Bunda makin bangga sama Au”. Aku tak bisa lagi
membendung tangis, suara cadelnya kini menjerat luka. Tapi Au benar, aku tak
boleh menangis lagi. Setidaknya, aku masih punya Au sebagai titipan Allah yang
tiada tara indahnya. Lalu aku mengecup kening Au dan tersenyum. “Bunda sayang
Au!” Ia balas memeluk “Au juga sayang Bunda.”
Aku
masih ingat, hari itu Au pulang mengaji lebih cepat dari biasanya. Aku tak bisa
menjemputnya karna aku harus mengisi kajian di Meunasah dekat rumah. Au tau
persis kapan dan dimana aku mengisi kajian rutin ba’da jum’at tersebut. Lalu ia
mendatangi Meunasah.
“Assalamu’alaikum
Bunda.” Ia masuk dan menyalami seluruh ibu-ibu yang mengikuti kajian tersebut
satu-satu, lalu berhenti di hadapku.
“Bunda!
Bunda! lihat ni Au dapat sajadah dari Ust Mahmud. Kata Ust, siapa yang banyak
hafalan dan bacaannya benal semua. Ust akan hadiahkan sesuatu.” Ia mendekatkan
sejadah biru yang ia maksud kepadaku. Aku mengusap rambut putriku yang terbalut
jilbab.
“Au
harus tunggu Bunda pulang dulu ya, Bunda juga punya hadiah ni. Tapi Au harus
janji, hafalannya harus lebih meningkat.”
“Siap
Bos!” lalu Au kecil beranjak keluar sambil bernyanyi gaya cadelnya.
Beberapa
saat kemudian, pengajian pun berakhir. Kusegerakan pulang dan menjumpai Au yang
lama menunggu di rumah. Tiba-tiba aku kaget bukan kepalang. Aku justru tak
menemukan Au sama sekali, rumah itu kosong dan terlihat berantakan.
“Au,
dimana kamu Nak? jangan bercanda lagi.” Aku terus mencarinya setiap sudut
ruangan. Tak kutemukan siapa-siapa selain kevakuman. Aku lemas, kakiku beku dan
kaku, tak sanggup lagi berjalan. Lalu, di sudut kamar, aku menangkap sesuatu
yang baru. Benar, itu sajadah yang dinampakin padaku di tempat pengajian tadi.
“Au, kemana kamu Nak!”
Tiba-tiba
Hp ku berdering, ku rogoh Hp dan mengangkatnya cepat.
“Ass....”
“Cepat berikan uang 100 juta saat ini juga, kalau anakmu mau selamat. Aku
tunggu sampai sore nanti, di dekat lapangan basket. Ingat! sampai sore nanti
dan jangan coba-coba memanggil polisi.”
“Bundaaaaaaaaaaaa........!
aku mendengar jeritan seorang bocah di ujung telpon, sebelum, tut.. tut.. tut..
panggilan terputus.
“Astagfirullahal’adhim,
cobaan apa lagi ini, Rab! Baru tadi aku melihat kelincahannya Au di pengajian
dan kini ia dibawa entah kemana.” Aku segera merogohkan Hp dan menghubungi Ust.
Mahmud.
“Assalamu’alaikum
Tat, maaf mengganggu. Saya mohon bantuan Ust sekarang. Au dibawa oleh orang
yang tak ku kenal, ia meminta tebusan 100 juta dan tidak boleh membawa polisi.”
Ucapku tak henti.
“Tenanglah,
saya akan kesana sekarang. Ceritakan detailnya nanti.” Obrolan terputus.
“Kenapa
Bu?” Dari luar aku melihat seseorang dengan piyama dan peci putih
menghampiriku. Aku kenal betul siapa dia, Ust. Mahmud yang menjadi tetangga
jauh sekaligus Ustnya putriku, Au.
Aku
menceritakan tragedi na’as itu sekilas, kemudian Ust. Mahmud berinisiatif untuk
tetap menelpon polisi bagaimanapun resikonya. Telpon lagi-lagi berdering, dari unknown.
“Bagaimana,
apa duitnya sudah disiapkan? Waktumu tinggal satu jam lagi dari sekarang. Kalau
terlambat satu detik saja tanpa duit yang aku maksud, maka bersiaplah membawa
pulang jenazah putrimu yang cantik ini.” “Jangan...!” telpon dimatikan.
Sementara
di ujung sana, “Paman, mengapa tega melakukan itu pada Au. Apa salah Au dan
Bunda. Bukankah selama ini Paman sudah cukup bahagia.
Apa
salah kami Paman?” gadis kecil tak berdosa itu mulai terisak dalam balutan
busana muslimahnya.
“Kamu
mau tau? Ah, anak sekecil kamu tau apa.” Ia menginjak puntung rokok yang masih
menyala.
“Dulu,
sebelum Ayahmu menikahi Bundamu. Aku sudah lebih dulu melamarnya, tapi Bundamu
yang sok suci, menolak lamaranku hanya karna aku tidak sesaleh Imran, Ayahmu.”
Ia melanjutkan lagi. “Sialnya, mereka menikah justru tatkala aku berada
dijeruji besi. Aku masih ingat, ketika Fahmi, adik bungsuku memberitahu bahwa Bundamu
dan Imran brengsek melangsungkan pernikahannya tepat dihari itu. Aku tak
terima. Sejak saat itu, aku berjanji akan membalas dendam dan menghancurkan
keluarga kalian satu-satu.”
”
Bagaimana anak manis, apa kau sudah siap menyusul Ayahmu ke neraka?” Paman
jahat, paman gak punya hati. Paman tega melukai saudala sendili hanya kalna
nafcu caitan.
Aku
benci paman, benci...”
“Diam!”
tiba-tiba pisau yang dari tadi bersembunyi di balik kantong celana itu,
mendarat tepat di ulu hati Au, anak kecil yang tak berdosa.
“Tidakkkk...
suara histeris seorang perempuan paruh baya terdengar di muka pintu. Saat itu
juga, polisi telah mengepung tempat kejadian dan berhasil menembak tepat di
kening penculik yang tak lain Paman Au sendiri, Ia meninggal di tempat.
“Anakku,
Au! Jangan tinggalin Bunda sayang.” Wanita malang itu segera mendekap putrinya
yang terkulai lemah, sementara darah segar terus meluncur deras dari balik
baju.
“Cepat
panggilkan ambulan.” Au hanya tersenyum...
“Bunda!
tenanglah, Au tidak kemana-mana kok. Au akan selalu di hati. Bunda jangan
menangis lagi, Au gak bisa tenang kalau Bunda telus menangis. Kan Bunda pelnah
celita, Ayah pelgi kalna Ayah lebih disayang Aulah ketimbang kita. Nah, kalau
Au dipanggil sekalang, Aulah lebih memilih Au di sisi-Nya.”
Kulihat
Ust. Mahmut mendekat ke arah kami.
“Ust,
jaga Bunda Au yah! Jangan buat Bunda Au menangis telus, nanti bunda gak cantik
lagi, Au sayang Bunda” aku segera memotong ucapannya. “Au gak boleh pergi, Au
udah janjikan sama Bunda. Au akan jagain Bundanya.” Iyakan nak. Jawab Au,
jawab!”
“Sudahlah
Bu, Au sudah pergi dengan tenang. Ikhlaskan ia di sisi yang lebih berhak.”
Hibur sang Ust.
Sejak
kejadian pahit menimpa keluargaku beberapa waktu lalu, aku pun mulai belajar
membuka hati dan menerima kehadiran seorang adam. Dialah Mahmud, orang yang
kugagumi dan sangat berjasa dalam mendidik putriku, Au. Kami melangsungkan
pernikahan tepat setelah sebulan kepergian Au. Aku kini lebih ikhlas merelakan
kepergiannya daripada minggu-minggu lalu. Selain pernikahan ini permintaan
putriku, aku juga butuh teman dan kepala keluarga yang bisa membimbimbing
hatiku ke jalan-Nya kelak. Semoga Allah meridhai pernikahan ini.
Sumber :Google.com |
No comments:
Post a Comment