Justru
di taman inilah aku menemukan cerita baru. Cerita tentang seekor larva yang
berjuang mati-matian, hanya untuk bisa bertahan hidup. Ketika hujan datang, ia
pasrah tak berkutik. Ketika badai menerjang ia tetap saja bungkam tak berani
menentang. Hingga dipenghujung penantian larva na’as itupun menjelmai peri
cantik, bernama kupu-kupu. Ia bahkan tak menyadari bahwa di balik kelemahan dan
kepasrahannya selama ini, ia justru tercipta untuk menandingi keindahan Ratu
Issabella. Kehadirannya acap kali menjadikan para muda-mudi berhenti untuk
menikmati liukan-liukan sayapnya yang memukau.
Ketika
aku asik melamun, seseorang datang dan duduk tepat di sampingku. Entah itu tak
sengaja atau mungkin juga karna ia kasian melihat seorang cewek bodoh termangu
sendirian di taman.
Aku
tak peduli atas kehadirannya. Pikiranku terus berkelana menentang imaji,
menerawang menembus cakrawala. Tapi, lamunanku segera buyar , ketika sosok itu
berpindah tempat, tepat di hadapanku. Ia
tersenyum sumringah, mencoba mencairkan suasana. Deretan giginya berjejer rapi
dan bersih seperti di iklan close up. Aku membalas senyum mautnya dengan hambar,
lalu menerobos kembali dunia alam bawah sadar.
Arlojiku
terhenti tepat di angka 18.00 sore. Itu artinya, aku sudah hampir seharian bergurau
dengan para ilalang. Sesekali burindam juga datang, menghembus perlahan ke
arahku sambil mendendangkan syair-syair cinta .
Meski
aku masih ingin berlama-lama di taman, namun tetap saja ku paksakan kaki ini
untuk segera kembali sebelum langit sempurna gelap. Senja mulai keemasan, ku lihat
di sekeliling hanya aku dan seorang... ya seseorang yang aku tak tau siapa dan
di mana rimbanya, pun aku enggan mencari
tau.
Dia
hanya tersenyum memecahkan kesenjangan antara kami, sambil terus menjajarkan
langkahnya di sebelah kananku.
“Betah
juga ya Ukh, berlama-lama di sana?” tanyanya memulai obrolan.
Aku
hanya tersenyum getir membalasnya. “Jika sekarang ini masih pagi, maka aku masih
di tempat yang sama.” Lanjutku!
“Nama
Ukhti siapa? Sejak saya pindah ke daerah dekat sini, beberapa hari lalu, saya selalu
menemukan ukhti termenung dan berlama-lama di tempat itu, apa tidak bosan?” Dia
terus berceloteh tanpa henti. “Panggil aku ARAN!” Aku sengaja tak menjawab
pertanyaannya yang lain, bagiku itu tidak lebih dari sekedar basa-basi. Dia kembali
tersenyum, kali ini ia memilih bungkam. Membiarkan pikiran masing-masing
berkelana.
"ARAN" |
No comments:
Post a Comment