Bolehkah aku menangis sebentar?
Ah…
untuk apa meminta izin padamu! Bukan kah Tuhan-ku menciptakan airmata ini
geratis? Bahkan tak perlu meminta izin bila ingin menumpahkannya sesuka hati.
Baiklah,
kalau begitu, aku akan menangis. Tak peduli seberapa banyak airmata yang
kukeluarkan nantinya. Tak peduli seberapa banyak ingus berceceran pula. Tidak,
aku tidak peduli. Yang terpenting hanyalah AKU
INGIN MENANGIS, TITIK.
Apa
kamu yakin ingin mengetahui penyebab aku menangis?
Tentu
saja jawabannya IBU… IBU…IBU… dan AYAH-ku.
Jum’at
tepat tanggal 1 agustus 2014. Aku tak kuasa menahan titik kristal itu tumpah,
bukan karna ada mendung. Namun titik itu, justru mengenai tepat di wajahku pada
pukul 12 siang. Panas sekaligus terik bercampur jadi satu. Semua dikarenakan
aku melihat sendiri bagaimana pengorbanan ibu.
Setelah
sebulan penuh bergulat dengan kulit tebu dan kulit buah pala. Aku ingin sekali
membantunya, tapi entah kenapa. Aku hanya bisa mematung menatap punggung beliau
yang mulai agak bungkuk.
Pernah
ketika beliau mengupas kulit-kulit tebu, jari kelingking sebelah kirinya hampir
saja putus. Allahu akbar, darah segar mengalir dan mengenai baju oblong lusuh
yang beliau kenakan. Aku masih saja diam, tapi sebisa mungkin ku seret tubuh
ini tuk gantikan tugasnya.
“Nyan
sek teube beuget-get neuk, bek sempat putoh jaro lage mak.” (Kupas
tebunya hati-hati nakk, jangan sampai putus jemari seperti mamak). Kurasakan
air mukaku berubah panas, aku hanya mengangguk tanpa suara.
Sejak
air pet tidak pernah mengalir ke rumah hampir sebulan lamanya, kami sekeluarga
memutuskan untuk “seumeurah bak krung”[1].
Pun begitu siang ini, ibu membawa pakaian-pakaian adik yang sudah dicuci
sebelumnya, di “Lhung”[2]
tepatnya di daerah desa Geunteng , memasuki jalan Rimeh, yang terletak di
lorong sebelah kanan dari rumahku sekitar ±3 Km bila mengendarai motor.
Aku
pun membantu membawakan pakaian-pakaian yang sudah dibilas bersih itu ke rumah
dengan mengendarai Mio metik. Meski 3x bolak-balik dari Lhung, tak membuat aku
lelah dan gerah. Justru sebaliknya, aku ingin terus dan terus melakukannya,
lagi-lagi.
Meskipun
begitu, ibu yang biasa ku panggil dengan sebutan mamak itu tak pernah
mengatakan “Ah, BOSAN!!!” atau “Gak Kuat Lagi” atau “Cape
dehhhh!!!” tidak, itu hanya kata-kata yang justru aku dan adik-adikku
pakai sehari-hari. “Mak, bentar lagi lah! Lagi seru nih pilemnya.” Allahu akbar.
Inikah dunia?
Tapi,
lagi-lagi aku salut pada mamak. Walau tubuh mulai remuk redam tersengat
matahari, rambut beruban hampir di seluruh kepala, beliau masih sanggup
berteriak hingga ketinggian 4 octaf
dengan ketajaman suara hingga mencapai 40 rumah warga kiri-kanan,
depan-belakang.
Beruntung
sekali bila mamak seperti itu tiap bulan ramadhan, sehingga panitia masjid
tidak perlu repot-repot membangunkan warga untuk segera bersahur. Ngitung-ngitung
nambah lading pahala. hehe
Mamak
memang hebat. Tapi ayah juga hebat, kok.
Bagaimana
tidak? Setiap harinya, beliau ke gunung untuk memetik buah pala yang masih mentah.
Terkadang dapat 2 bambu beliau jual dan uangnya beliau pakai untuk mencukupi kebutuhan
sehari-hari. Jangan heran kalau anak-anaknya segedek gini, terutama si AKU. Percaya gak percaya, inilah
faktanya.
Sementara
siangnya, ba’da zuhur, beliau bersiap-siap untuk memerah air tebu dengan mesin
penggiling yang beberapa waktu lalu beliau bawa pulang dari touke Cina, dan itu
tetap Gak Gratis. Begitulah setiap harinya…
Hingga
hari ini, hari dimana aku terakir bersama mereka. Menikmati teriakan-teriakan
yang terkadang terdengar dari arah belakang, dari arah dapur dan tiba-tiba
sudah muncul di balik pintu kamar lantai atas. “Nawraaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa” “paaaaaaapaaaaaaaaatttttttttttttt!!!
Tron keuno, rah pingan dile.”[3] “Get
mak!” sahut kami serentak.[4]
Itulah
mamak dan ayahku. sa’at-sa’at seperti inilah, aku ingin sekali berlama-lama di
rumah, mendengar omelan-omelan mereka yang sering bersahut-sahutan. Aku tak
pernah membantah, walau sering juga merasa kuwalahan sendiri. Ini dan itu harus
dilakukan sekaligus.
Selama sebulan penuh, aku sudah hafal semua
kata-kata yang mamak ucapkan bila aku tak melihat apa yang aku cari. “Geunging
ngon mata bek ngen babah. Keupeu cit guna mata, meunyo hana teu pakek.”[5]
Begiku itu adalah menu ternikmat di pagi hari setelah telor ceplok yang
bikin eneuk.
Kini,
sa’atnya aku kembali ke Banda Aceh. Melanjutkan mimpi yang sempat tertunda,
berperang dengan final yang tinggal empat matakuliah lagi serta berkutat dengan
anak-anak yang sudah lama tak pernah bersua. Aku rindu mereka. “Ummi
rindu kalian, Nak!”.
Aku
tak tau. Apakah setelah hari ini aku masih bisa mendengar celoteh-celoteh mamak
yang membahana badai halilintar ala-ala syagheni atau… ah sudah lah. Tak ingin
melanjutkan lagi. Semoga ramadhan tahun depan, Allah masih memberiku kesempatan
untuk kembali mendengar nyanyian pengantar tidur itu.
Love Ayah & Mamak Banyak2 :* :* :* |
“Mak,
kakak dan adik sayang mamak.”
“
Yah… kakak dan adik juga sayang ayah.”
“Semoga
tahun depan, Rha masih bisa menjadi putri tebu.”
No comments:
Post a Comment