Friday, December 26, 2014

BALADA DUKA Di TANOH REUNCONG!

Siluet jingga tersenyum pagi itu
Menyapa setiap jengkal, lautan anak adam

Pantai Lhok Nga, Lampuuk, Ujong Batee, Ulee-Lheue menjadi sasaran empuk semua kalangan

Anak-anak berlarian dengan kaki telanjang di sepanjang pantai

Sedang ayah-bunda hanya tersenyum di balik Jambo  yang mereka duduki

Pukul 08.00 wib
Langit membawa titah sang Raja, dengan seonggok duka penuh cita.
Gempa dengan kekuatan 9.5 SR telah meluluhlanttakkan tanah rencong sekejap mata.
10 menit berlalu…
Laut mulai menyusut, pepasir pantai surut seolah ikut tertelan olehnya

Tak lama kemudian…
Larutan pekat nan gelap berubah sebongkah gunung raksasa
Siap menelan ribuan masa dengan sekali hentakan.
Allahu akbar…
Allahu akabar…
Laa ilaa ha illaallah…
Laa ilaa ha illaallah…
Takbir menggema di seluruh pelosok Nanggro Aceh Darussalam
Gulungan ombak telah menyapu segalanya tanpa sisa

Kini, daratan telah menjelma lautan porak-poranda
Bayi-bayi tak berdosa tersangkut di rentetan puing-puing bebangunan
Ibu-ibu terhanyut dengan buah hati dipangkuan
Kabel-kabel terputus, tiang listrik ambruk, mobil dan truk remuk, hotel bertingkat, rumah berlipat, rata seketika.
Allahu akbar…
Tsunami telah menelan bahagia generasi Aceh.

10 tahun berlalu…
Perih dan luka lambat laun pun terobati
Dan airmata yang dulu mengalir di rentetan sungai Krung Aceh, kini menguap sudah
Acehku kini telah bangkit dan kembali menggenggam harapan penuh cita dan cinta.
                       
@Meusium Tsunami, Banda Aceh

                                                             

Monday, December 22, 2014

Meuchen Bak Mata

Terbayang satu wajah, penuh cinta, penuh kasih
Terbayang satu wajah, penuh dengan kehangatan.
Oh ibu…
Oh ibu…
Tak ada kasih sayang setulus ibu, tak ada sahabat, sejujur ibu, tak ada guru sesabar ibu, tak ada pengorbanan seikhlas ibu. Ibu… ibu… ibu.. perempuan yang sudah bersusah payah, memapah dan menyusu hingga aku tumbuh sebesar saban waktu.
Dulu, saat aku masih sekolah madrasah, mamak kerap kali mengingatkanku agar tidak boleh makan yang pedas, asam-asaman atau nasi yang terlalu keras, ingat tifus, katanya. Tapi, sejak aku menjadi mahasiswi, hingga kini sudah di semester lima, satu persatu pantangan itu mulai kuabaikan. Kadang memang tidak sengaja, keadaan yang menuntunku demikian,. Anak kost macam aku ini akan makan apapun untuk menghindari lapar, kalau kamu (?)
Pernah suatu hari, saat di kampung, aku mendengar ayah berceloteh akan masakan mamak yang itu-itu saja, saat hari megang tiba. Mungkin ayah tak bermaksud menyinggung, sebab yang kutahu ayah akan pasti memakan dengan lahap apapun yang dimasak mamak. Tapi hingga aku berusia 20 tahun, “Masakan Tek Ti[1]” selalu menjadi menu andalan mamakku. Wal-hasil aku pun diutus sebagai salah satu perwakilan ayah untuk menyampaikan keluh-kesah yang sudah menahun tak pernah terungkap. “Mak, sigo-go masak rendang atau manok panggang, bek masak Tek Ti tiep uro, ayah ka bosan.”[2] Ungkapku diwaktu lenggang. Entah mamak sudah menangkap gelagat aneh dari ayah beberapa waktu lalu saat menikmati masakan Tek Ti yang keseringan atau mamak sudah menemukan resep baru, pengganti masakan Tek Ti. Akirnya menu kami di hari megang tahun kemarin, berubah menjadi Ayam Sambal Ijo. Enak memang, tapi keanehan lain mulai muncul. Saat ayah kembali membeli ayam dan memotongnya, mamak pun kembali memasak ayam sambal ijo yang sama, berturut-turut hingga beberapa kali. Terakir aku tau, kalau setiap kali mamak memasak dan mendapat pujian serta respon positif dari orang rumah, maka bersiaplah menu harian di rumah kami akan itu-itu saja hingga 7 hari 7 malam berlalu. Hehe.. tetap saja aku suka, ada kesan tersendiri saat menikmatinya.
Satu yang paling kutakutkan dari mamak, bila ada panggilan masuk sudah sampai 10x atau lebih dan aku lupa mengangkatnya, entah karna Hp sedang di cass atau di diamkan, maka bersiaplah akan mendapati mamak ngambek selama 24 jam non stop. “Han kuthem marib lhe![3]” ucapnya ketus. Kalau sudah seperti itu, aku akan memikirkan beribu cara untuk menarik perhatiannya kembali. Mulai dari menawarkan kain batik, jilbab kurung, bros dll, hingga mamak kembali luluh dan melunak seperti semula. Yah, usahaku memang  selalu membuahkan hasil, meskipun pada awalnya, aku harus mendengar khutbah beliau selama 2x45 menit lamanya. Jujur, bersamanya aku memang lebih banyak diam dan memutuskan untuk menjadi pendengar yang baik ketimbang nyerocos macam ibu-ibu arisan, tak jarang aku juga sering kehilangan bahan obrolan bila sudah terlalu lama menelpon. Hal ini sangat berbeda bila aku menelpon ayah. 1 jam, 2 jam bahkan 3 jam durasi, ada saja topik yang kami bahas, bahkan keunikan mamak sering menjadi salah satu unlimited topic pembicaraan kami saat itu. Aku memang lebih terbuka sama ayah jika dibandingkan dengan mamak, bahkan untuk sekedar menangis aku justru ke ayah, bukan ke mamak. Mungkin endingnya akan tragis bila sempat menangis sama mamak.
Kini, sudah 1 bulan mamak tidak mengunjungiku di sini, di Banda aceh. Terakir beliau datang, pun karna ikut pelatihan sosialisasi kurikulum 2013. Itu juga cuma 2 hari, sebab perjalanannya terhambat akan musibah berupa longsor dan banjir di daerah Gunung Kulu, Lamno. Beruntung panitia mafhum, mamak pun bisa mengikuti workshop tersebut walau sehari. Tatkala aku menjemput beliau kembali ke kost, aku tak berhenti mendengar ceritanya hingga larut malam. Ceritanya juga tak jauh dari topik seputar workshop dan pengalaman menginap di hotel. Entah tentang bagaimana mamak pertama kali naik lift hingga salah tekan tombol, dan tak sampai-sampai ke lantai tiga, tentang pintu yang hanya bisa dibuka dengan kartu gesek atau tentang sepatu high hill yang sengaja beliau selipkan diantara sandal swallow. Bila begitu, aku kembali ingat pesan ayah, “Hana peu neuk, peudiyeu mantong, nyan mak teungoh meu ubat.”[4] Pernah juga, aku iseng-iseng meminta mamak untuk menceritakan bagaimana pertemuan ayah dan mamak pertama kali hingga sampai menikah, dan aku pun berniat ingin menulis novel tentang mereka berdua, Allahumma amiienn. Namun, saat kukatakan tokoh utamanya dalam hal ini ayah, maka mamak cemberut, beliau seolah tak rela bila yang menjadi tokoh utamanya ayah. Beliau semakin menggebu bercerita saat aku mengalah dan membiarkan mamak lah sebagai tokoh utamanya, menggantikan posisi ayah. Ah, ini juga hal unik yang kudapat darinya.
Setelah mamak menginap 2 malam di kost ku, akirnya, beliau memutuskan untuk pulang ke kampung, Kotafajar, Aceh Selatan, malam selasanya. Namun hal yang belum pernah kurasakan hingga umur ku genap berkepala dua adalah, mamak mencium dan memelukku. Yah, itu yang tak pernah kurasakan sebelumnya, dan merasakannya di senin malam, sebelum kepulangannya. Sejuk, nikmat ada kehangatan di sana, ada kerinduan yang menggebu dan ada cinta yang tak pernah cukup bila hanya ditulis dan diucap dengan kata-kata. “Nak, bek pike peu laen, fokus belajar ngen peubut yang  get-get mantong, bek ikot lingkungan yang hana beutoy, bek tuwo sembaahyang.” [5] Beliau kembali mencium keningku, sebelum beranjak memasuki mobil L-300. Kulihat ada satu titik embun tertinggal di wajahku saat itu.
Mak, selamat hari ibu, semoga tetap kuat dan semangat menantang pancaroba yang saban hari menguji imanmu.



Banda Aceh, 22 Desember 2014
                                                                                   
Adinda,
Zahraton Nawra



[1] Masakan ayam dengan campuran kelapa yang sudah digonseng dan ditumbuk hingga keluar minyak, rempah dan daun kemangi. Tek Ti adalah alm. Kawan mamak yang meninggal beberapa tahun lalu, dinamakan masakan Tek Ti, karna beliaulah yang pertama kali mengajarkan mamak resep demikian.
[2] Mamak, sekali-kali dimasakin rendang atau ayam bakar, jangan masak Tek Ti tiap hari, ayah sudah bosan
[3] Gak mau ngomong lagi
[4] Tidak masalah nak, biarkan saja, ibumu sedang berobat.
[5] Nak, jangan mikirin yang lain, fokus belajar dan berbuat yang baik-baik saja, jangan ikuti lingkungan yang tidak baik dan jangan tinggalkan sembahyang.

Wednesday, November 19, 2014

Sebuah Penantian

Kita berteduh di bawah langit yang sama...
Bersandar di hamparan bumi yang sama pula...
Mungkin waktu dan jaraklah yang membuat kita harus lebih bersabar.
Sebab jika nanti terlalu terburu-buru...
Aku takut engkau begitu cepat terlepas.
Seperti halnya anak panah yang meleset dari busur.


Tenanglah, jangan kawatir berlebihan
Di sini ku kan menunggu...
Menunggu hari itu tiba.
Dengan segenap jiwa, ku titipkan rasa ini pada Ilahi.
Biarlah Ia yang menuntunnya.


Semangat Menulis

Awalnya hanya malu-malu...
Awalnya hanya coba-coba...
Awalnya hanya iseng-iseng...

Tapi kini...


Awal itu telah bermula.

Sejak kemaren malam, kita baru saja berjanji.
Berjanji untuk terus berjuang.
Berjanji untuk terus menulis.
Berjanji untuk saling mengisi
Berjanji untuk memperbaiki.


#Mudah-mudahan sayap yang dulu tersipu, kini terkepak sudah.



Thursday, October 30, 2014

Pertemuan Dua Waktu

Dahulu kala, hiduplah seorang Raja Langit dan Ratu Jagat di sebuah istana yang megah. Mereka menamainya Istana Awang-Awang. Kebijaksanaan sang raja serta kelembutan hati ratu telah menjadikan negri itu kaya, makmur dan sejahtera. Meskipun raja dan ratu hidup berkecukupan materi dengan rakyat yang setia, semua itu belumlah sempurna tanpa kehadiran darah daging yang baru. Sejak saat itu, sang ratu tidak berhenti menangis sepanjang waktu. Tubuhnya mulai melemah dan kelihatan beberapa kerutan mulai menjalari wajah cantiknya. Sang raja pun begitu khawatir. Ia mencoba berbagai cara untuk menyembuhkan ratu dan mengembalikan semangat hidupnya yang mulai padam. Semua tabib sudah didatangkan dari seluruh negri untuk mengobati sang ratu. Tidak, obatnya hanya satu. Yaitu bayi.
Hingga suatu hari, datanglah seorang laki-laki paruh baya dengan pakaian kumal dan rambut acak-acakan menghadap baginda raja. Melihat kondisi laki-laki itu, para prajurit melarangnya masuk dan hendak mengusirnya dari istana. Namun sang raja menahannya dan memberi kesempatan untuk mengobati sang ratu. Kemudian, laki-laki paruh baya itu menyodorkan segelas ramuan berwarna hijau pekat kepada raja. Dengan hati-hati, sang raja pun meminumkannya kepada ibunda ratu. Tidak perlu menunggu lama akan reaksi obat yang diberikan laki-laki paruh baya itu. Tak lama setelah meminum obatnya, ratu merasa mual-mual dan ingin muntah. Melihat reaksi demikian baginda raja memanggil tabib istana sementara prajurit sudah siap dengan pedang terhunus. Tabib istana merasa kaget bukan main tatkala memeriksa sang ratu.
“Ampun baginda raja..” ucap sang tabib takzim.
“Ada apa wahai tabib istanaku?” jawab sang raja
Dengan senyum sumringah, sang tabib pun mengabarkan raja bahwa sebentar lagi, mereka akan kehadiran seorang tamu yang selama ini dinanti-nanti.
“Ibunda ratu hamil, baginda.” Mendengar penuturan sang tabib, seluruh istana bergembira. Tak alang, laki-laki paruh baya yang awut-awutan itu diangkat menjadi tabib pribadi keluarga istana.
Dunia memang aneh. Keajaiban itu pasti ada.
Satu minggu kemudian, dikabarkanlah bahwa Istana Awang-Awang mempunya seorang bayi perempuan yang putih bagaikan salju musim dingin yang baru saja terjatuh, rambutnya yang hitam berkilau seperti permata aswad yang tak terjamah manusia dan matanya yang bulat dengan latar coklat menggoda setiap orang yang melihatnya. Bayi itu diberi nama Mendung. Tak ada yang tau mengapa nama itu dilekatkan pada sang putri nan cantik jelita, tapi alasan logisnya karna kelahiran sang putri telah melenyapkan segala kesedihan istana berpuluh-puluh tahun lamanya. Lambat laun, sang ratu pun berangsur sembuh.
Istana kembali makmur dan semakin membaik, apalagi setelah kehadiran bidadari kecil mereka. Tak ayal, banyak yang mendo’akan sang putri agar sehat dan panjang umur selalu. Semua bersyukur, semuanya bahagia tanpa terkecuali. Sang putri tumbuh semakin dewasa, saban  hari, ia terlihat semakin memukau. Bahkan penduduk langit yang lain pun merasa iri akan kecantikan sang putri. Sementara para raja-raja dan ratu-ratu negri lain berebutan untuk mempersunting sang putri dengan berbagai macam imbalan. Sayangnya, sang putri menolak semua itu. Ia merasa kalau ia masih terlalu muda untuk menikah dan mempunyai anak. Ia masih ingin menghabiskan masa mudanya dengan bermain dan bercengkrama dengan anak-anak dayang istana yang masih sebaya dengannya.
Suatu hari, sang raja mengundang seluruh raja dan ratu serta penduduk negri langit lainnya untuk menghadiri dan memberi selamat atas beranjaknya usia tuan putri yang ke 20 tahun. Mendengar kabar baik itu, seluruh istana langit yang lain memanfaatkan kesempatan emas untuk melamar sang putri. Ada yang membawakan emas, permata, berlian, kuda yang gagah, pangeran yang tampan dan sebagainya. Sang raja pun menyambut mereka satu-satu dengan hangat dan bersahabat. Ia tak pernah menolak pemberian dan niat baik yang diberikan oleh kerabat-kerabat negri tetangganya itu. Lagian tuan putri juga sudah sepatutnya menikah, bukankah usianya sudah genap berkepala dua sekarang. Maka raja dan ratu juga bermaksud untuk mencarikan mereka pangeran tampan yang akan menggantikan kepemimpinan mereka kelak.
Tapi sayangnya, keputusan itu ada ditangan sang putri. Seberapa pun bersikukuhnya raja untuk mencarikan suami untuk putrinya, toh yang memutuskan mau atau tidak sendiri adalah tuan putri. Pesta pun berjalan lancar, sang putri yang baik itu meski belum memutuskan siapa pangeran yang diinginkannya, bagaimana kriterianya seberapa tampannya. Ia tak pernah menolak untuk berdansa dengan siapa saja. Dengan senang hati ia akan menyambutnya kemudian berputar-putar lalu meliuk-liuk indah seperti nyiur yang diterbangkan angin sepoy-sepoy. Hingga acara yang dinantikan itu pun tiba. Semua tamu diharapkan untuk tenang dan tertib. Mendengar dan tak ingin melewatkan satu titikpun pengumuman itu walau hanya sebuah tarikan nafas sekalipun. Lalat yang terbang tak berkutik, tak berani bersuara. Semut yang kecil berhenti berpatroli mencari gula, bahkan ada sebagian orang nekat dan memutuskan untuk berhenti bernafas. Al-hasil mereka bersedia dibopong dan dibaringkan di kamar rawat intensif dengan berselangkan oksigen.
“Baiklah semuanya, aku sangat berterimakasih atas kehadiran kalian semua di acara ulang tahunku yang ke-20 ini. Mudah-mudahan di usiaku yang beranjak dewasa, aku bisa menjadi seseorang yang membanggakan raja, ratu, penduduk istana Awang-Awang bahkan siapapun nantinya yang akan menjadikan aku istrinya. Aku bersyukur, karna sampai saat ini aku dikaruniakan orang-orang baik seperti kalian. Meskipun begitu, aku tidak akan memilih kalian sebagai pendampingku tanpa syarat. Itu terlalu mudah dan tidak menantang sama-sekali. Oleh karena itu, siapapun yang bisa memenuhi syarat yang saya katakan, maka ia berhak menjadi pendampingku dan tinggal bersamaku di istana Awang-Awang ini.”
Tepuk tangan semakin bergemuruh, menggema seisi kerajaan langit. Semua terkagum-kagum akan sang putri. Tak hanya dari penampilan belaka, tapi ia juga pandai berolah kata dan itu semua tak luput dari perkiraannya. Tak ada kata-kata yang meleset dari kesalahan. Semuanya baik... semuanya sempurna.
“Wahai tuan putri, katakanlah! Apa syaratnya, kami sudah tidak sabar untuk menjawab dan memenangkan hati putri nan mempesona ini.”
“Iya.. iya... iya.. kami sudah tidak sabar lagi.” Sambung yang lain.
Putri mendung hanya tersenyum sambil melirik ke arah kedua orangtuanya. Mereka membalas dengan anggukan mantap.
“Baiklah kalau kalian sudah tidak sabar lagi. aku akan mengajukan satu syarat berupa pertanyaan. Kalau kalian bisa menjawabnya dengan tepat maka aku akan bersedia menjadi istri kalian. Apa kalian semua siap?” tanya sang putri
“Siap tuan putri.” Jawab mereka berkoor
“Kapan dan dimanakah kalian bisa menemukan dua waktu yang berbeda, bersatu dalam satu waktu?” sang putri mengajukan pertanyaan tanpa ragu. Ia percaya, hanya orang yang bener-bener genius dan berhati jingga yang bisa memecahkan pertanyaan itu. Dan ia yakin, ia akan menemukannya di sini.
Sesaat istana mulai gaduh, bisik-bisik tetangga mulai terdengar sedikit demi sedikit. Sang raja dan ratu pun kelihatan sangat kaget dan bingung. Pertanyaan apa itu. Seumur hidup mereka baru kali ini ia dengar tentang dua waktu berbeda jadi satu waktu. Bahkan itu ditanyakan langsung oleh putrinya, darah dagingnya sendiri.
“Wahai putri. Apa-apaan ini? Apa engkau ingin menguji kami semua dengan pertanyaan konyol yang tidak masuk akal?” tanya salah satu pangeran dari negri tetangga.
“Benar putri!” potong lainnya. “Mana ada dua waktu berlainan saling bersatu dalam satu waktu.
“Sudah ku duga. Kalian pasti akan mengatakan ini dan menolak untuk tidak menjawabnya. Ampun Ayahnda... Ibunda... bukankah kalian sudah mendengar jawaban dari mereka semua? Bukankah kalian bisa menilai sendiri? Kembalikan semua yang mereka berikan. Aku tidak akan menikah.”
“Mendung....!!! Selama ini Ayahnda selalu menuruti semua yang kau inginkan. Bahkan dua tahun lalu, saat engkau menolak lamaran rekan-rekan ayahnda yang ingin menikahkanmu dengan putranya pun kamu tolak. Dan ayahnda bisa mengerti karna usiamu masih sangat belia. Tapi kali ini, Ayahnda tidak terima lagi alasan yang itu-itu melulu. Bahkan hanya dengan pertayaan bodoh seperti itu kau mengelabui ayandamu sendiri.
”Pengawal!” Siap paduka. “Bawa sang putri dan kurung dia dalam kamar. Jangan biarkan seorang pun mengasihinya apalagi memberi makan.” Pengawal istana pun menyeret putri dengan paksa. “Tapi Baginda, apa ini tidak terlalu berat? Bukankah ia satu-satunya putri yang kita miliki. Bagaimana kalau ia meninggalkan kita selamanya?” Ucap sang ratu satu-satu. “Ah, masa bodoh! Anak macam dia semakin dikasih hati semakin enak ia menginjak-injak kepala kita. Kalau ia terus-menerus menolak lamaran yang lain. Kapan ia akan menikah dan mempunyai anak? Kapan kita akan menimang cucu? Apa dia mau jadi perawan tua seumur hidup.” Sudah, cepat! Seret dia dan jangan biarkan aku melihat wajahnya seharian ini. Sambung baginda.
Putri Mendung hanya bisa menangis tersedu-sedu “Ayahnda, ku mohon, lepaskan aku. Lepaskan. Aku tidak bersalah. Aku berjanji akan membuktikan kepada ayahnda kalau aku akan menikah dan punya keturunan. Ku mohon. Beri aku kesempatan untuk membuktikannya.”
Saat itu juga, di luar sana. Petir mengelegar hingga memekakkan telinga. Angin puting beliung serta gempa mengoyangkan dan menerbangkan seluruh istana dan isinya. Semua penduduk langit ketakutan. “Bagaimana ini? Apa yang terjadi.” Ucap beberapa penduduk gelisah, sesaat semuanya hening kembali. Tak ada yang berani bersuara.
Tiba-tiba, dari gerbang istana, munculah seorang laki-laki tampan dengan pakaian sederhana menghadap raja. Tak tampak padanya tanda-tanda seorang pangeran yang kaya dan terhormat. Bisa dibilang, yang membuat ia pantas berada di istana adalah wajahnya yang tampan dan secerah mentari.
“Siapa kamu? Mengapa berani sekali kau injakkan kaki di istana agungku? Lihat, penampilanmu lebih pantas menjadi peternak sapi dan tinggal di kandang ketimbang di istanaku. Bahkan masih lebih baik peternak sapi istanaku ketimbang kamu, anak muda.” Ujar sang raja bertubi. Laki-laki itu tersenyum indah. Bahkan sang putri yang hendak beranjak pun sempat melihat ke arahnya dan ternga-nga. “Apakah keindahan itu hanya untuk para malaikat!” lirih sang putri.
“Mohon maaf yang sebesar-besarnya baginda Raja Langit dan Ratu Jagad. Hamba  kesini untuk tuan putri. Hamba datang untuk memecahkan pertanyaan yang dilontarkan beberapa waktu lalu. Dan jika aku bisa menjawabnya dengan baik maka aku berhak mendapatkan sang putri.” Jelas laki-laki tampan itu tanpa ragu sedikitpun.
Sejenak, raja terbungkam. Ia melirik ke arah istrinya, Ratu Jagad lalu berganti ke arah Putri Mendung. “Tapi aku masih ragu, apa mungkin seorang gelandangan sepertimu bisa menaklukkan anakku dan menjawab pertanyaan tersebut.” “Kenapa tidak kita coba saja ayahnda. Kita belum tau laki-laki ini bisa menjawab atau tidak. Lagian, aku tidak mengajukan syarat agar yang menjadi pasanganku kelak harus keturunan raja atau bermahkotakan intan permata.” Sambung sang putri. Mendengar tuturan anaknya, raja pun mulai luluh dan mulai memberikan kesempatan untuk menjawab pertanyaan itu. “Tapi ingat, kalau kamu salah, maka aku akan menghukummu seumur hidup lantaran kamu sudah berani menginjakkan kaki di tempat suci ini dengan penampilan seperti itu.” “Baik baginda!” sambungnya lagi
“Wahai putri, jika aku dimintakan untuk memetik bulan dan matahari sekaligus dalam satu waktu.  Maka aku tak akan pernah menolaknya. Akan kulakukan meski nyawa yang satu ini harus ku gadaikan pada malaikat maut sekalipun.” Seluruh istana tak berkutik. Laki-laki itu menjelaskannya penuh percaya diri. Dan aku ke sini dari negri matahari hanya untuk mempersuntingmu!” Bisik-bisik kecil mulai mencuat kembali. “Mana ada, pangeran matahari ke sini, mustahil.” “Lagian penampilannya juga sangat meragukan. Masih untung ia tampan, kalau tidak, mungkin ia sudah di depak sejak tadi oleh perajurit istana.” Sambung lainnya.
“Kapan dan dimanakah kalian bisa menemukan dua waktu yang berbeda bersatu dalam satu waktu?” apakah itu pertanyaannya putri, tanyanya.
Sang putri yang ditanyai hanya mengangguk dan tersenyum. Ia sudah klepek-klepek duluan sebelum ditanya.
“Di dunia ini hanya ada tiga masa yang berlainan : masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Dan di antara tiga masa itu hanya ada dua waktu yang berbeda : siang dan malam. Namun, keduanya dipisahkan dengan dua benda indah dan perkasa. Bulan yang indah dan dingin dilambangkan seperti seorang putri yang cantik jelita namun sepi lantaran ia sendiri. Sedangkan mentari, meski ia perkasa, kuat dan terik ia mempunyai jiwa pemimpin dan hangat. Ia bisa memberikan cahayanya hingga ke seluruh negri. Tidak, keseluruh alam semesta. Tak hanya hewan, tumbuhan dan manusia yang dapat menikmati hangatnya mentari tapi juga bintang, planet-planet bahkan benda mati pun begitu.
“Kau percaya bulan dan matahari bisa bersatu?” Lagi-lagi mereka terdiam. Tak ada yang menyahut apalagi menyanggah. Semua yang diucapkan laki-laki itu tepat dan masuk akal. “Apa kalian percaya bulan dan mentari bisa bersatu?” ulangnya lagi.
“Aku percaya” terdengar suara seseorang dari arah belakang. Semua penduduk langit menoleh. Mereka penasaran akan suara tersebut. Namun alangkah tekejutnya mereka tatkala menemukan tabib pribadi sang raja datang dan mendekati pemuda itu. Semuanya jadi tambah panas dan penasaran.
“Cepat katakan jawabannya, aku sudah gerah mendengar ocehanmu dari tadi yang berkepanjangan dan tidak penting sama sekali.” Potong sang raja. Laki-laki itu hanya tersenyum dan melirik sekali lagi ke arah sang putri. “Dua waktu yang berlainan dan tergabung dalam satu waktu adalah.... “Mendekatlah putri!” ucapnya lembut. Seolah di hipnotis tapi pasti. Sang putri pun beranjak dan mengkuti laki-laki aneh itu keluar. para penduduk langit tidak tinggal diam. Mereka sudah siap dengan pedang masih terhunus.
“Adalah waktu senja” lanjut sang laki-laki. “Ya, waktu senjalah yang mempertemukan bulan dan matahari dalam satu waktu. Matahari yang kuat dan perkasa dan bulan yang indah dingin bersatu tepat ketika senja tiba. Disitulah pergantian dua waktu yang berlainan. Meski hanya sesaat, mereka tetap pernah bersatu.” Mendengar jawaban sang laki-laki itu. Putri semakin yakin, kalau laki-laki inilah yang ia cari selama ini. Laki-laki inilah yang selalu datang menghantui tiap malamnya dan laki-laki ini tepat di hadapan kini.
Tanpa menunggu perintah. Sang putri merangkul laki-laki itu dengan hangat, seraya berbisik lembut “Kaulah pangeran yang selama ini ku tunggu.” Kemudian laki-laki itu berubah menjadi seorang pangeran yang tampan. Benar, ia adalah Pangeran Matahari. Wajahnya bersinar namun meyakinkan. Lalu, penduduk langit beralih ke arah tabib pribadi raja. Betapa terkejutnya mereka tatkala melihat raja matahari sedang tersenyum gagah ke arah mereka semua. “Hormat kami paduka Raja Matahari” seluruh penduduk langit pun bersujud tak terkecuali sang Raja Langit. “Maafkan hamba paduka Raja Matahari.” Kalau boleh saya tahu, mengapa anda menyamar menjadi seorang tabib dan menyembuhkan istri saya hingga ia bisa melahirkan?” tanya raja langit. “Karna aku percaya, hanya dengan ini aku bisa menyatukan dua waktu yang berlainan dalam satu waktu. Mulai sekarang, kita akan bersaudara. Sebab aku akan menikahkan putraku dengan putri Mendungmu. Tidak, maksudku putri Bulan.” Semuanya tersenyum dan bertepuk tangan. Raja dan ratu pun menerima lamaran itu dengan suka-cita. Raja menyadari akan kesalahannya selama ini. Ia terlalu berkuasa sampai ia tak mampu menyelam dan mengerti akan anak yang diagung-agungkannya selama ini. Dan kini, anaknya telah menguak kembali mata yang tlah lama tertutup akan kemegahan sesaat. Ya, kita tidak boleh menilai seseorang dari cover belaka. Jika ingin dipandang baik oleh siapa saja, maka berbaiklah kepada diri sendiri terlebih dahulu. Tidak selamanya yang bersisik itu ikan, dan tidak selamanya pula yang berpayung itu raja.

Beberapa tahun kemudia, Putri Bulan dan Pangeran Matahari melahirkan tujuh anak perempuan yang cantik-cantik jelita yang diberi nama Pelangi.

Google_Fhoto

Tuesday, September 2, 2014

“MERDEKA!!! AKU RINDU”

Terkadang apa yang kita harapkan tidaklah sesuai dengan apa yang kita dapat. Kepengen kaya malah dapat penghasilan pas-pasan, kepengen keluarga sempurna malah terlahir sebatang kara, yah.. seperti aku ini. TAKDIR? “Apa kau mempercayainya?”
Tahun 1948 adalah bukti bisu kelahiranku. PALESTINE, orangtuaku menamainya begitu. Punya paras yang cantik jelita, bahkan hampir menyaingi kecantikan Zulaikha, istri Yusuf as.”Kau tau? Bahkan dunia pun mengakui kecantikanku. Entahlah, kupikir aku biasa saja. Dua mata, dua telinga, dua tangan, dua kaki dan satu mulut, bagiku itulah CANTIK. Sebab cantik itu sendiri tidak harus dinilai hanya dengan sebuah pujian, bukan?” sayangnya, ceritaku tidaklah sebahagia Cinderella yang bertemu dengan pangeran Eric berkuda putih, atau cerita Putri Salju dengan 7 Kurcaci. Tidak, hidupku memang sulit namun tidak seambigu Buah Simalakama. ARAB, orang bilang itu ayahku. Mungkin benar, mungkin juga TIDAK karna sa’at ku terlahir, aku sudah sendiri dan mereka memanggilku dengan sebutan “YATIM” tak apa, aku terima. Sejak sa’at itu, aku tumbuh menjadi seorang gadis yang sehat, lucu dan menggemaskan. Mereka lagi-lagi cemburu, mereka lagi-lagi meninggalkanku, mereka dengan enteng malah membuang namaku jauh-jauh. Kubilang tak punya hati, mungkin saja benar. Tapi aku tidak sekejam itu. Mereka tetap saudara-saudaraku, walau hanya saudara tiri. Kata ibu mereka seluruhnya 21 orang, tapi hingga kini aku tak pernah menjumpai satupun di antara mereka. Jangankan menjengukku, kabar saja mereka tak bertanya.
Aku anak terakir dari tiga bersaudara. Abangku si anak tunggul pergi meninggalkanku pada 2003 lalu, dia ku panggil IRAK. Di sa’at aku masih ingin bermanja-manja dengan mereka, di sa’at itu pula aku harus kehilangan. Selang 8 tahun kemudian, Tuhan malah memanggil kakakku, SURIAH. Semakin sendiri aku, semakin sepi hatiku. Tapi aku tidak mengeluh, aku mencoba bangkit dengan sisa-sisa airmata yang masih bersisa. Aku, Palestine tak pernah mau kalah pada keadaan.
Meski aku tinggal sendiri, aku tetap menantang langit dengan tegak, walau terseok-seok aku tetap berjalan. Hingga Tuhan memberitahukan alamat seseorang yang kelak bisa membimbingku di jalan-Nya. Yah, aku menikah juga. Dan aku bisa menatap pelangi dari jauh walau jalanan masih menanggal basah. Tak lama setelah itu, aku melahirkan seorang putri, REVOLUSI namanya. Lengkaplah sudah kebahagiaan keluarga kecil kami. Walau tanpa makan, kami tetap bisa tersenyum sebab Allah menitipkan kunci kebahagiaan di tengah-tengah kami. Si buah hati.
Suatu hari, kami benar-benar sekarat. Anakku, Revolusi mulai sakit-sakitan. Ternyata kunci yang dititipkan itu tidak lah bertahan lama, entah karna kami kurang bersyukur atau karna kami jarang merawat kunci itu, hingga ia berkarat. Suamiku datang menemui ayah tiriku, AMERIKA. Meski dengan bermodalkan muka tembok, dia tetap bersikukuh untuk sekedar meminta beberapa recehan. “Taukah engkau?” di sana suamiku tak mendapat apa-apa selain pukulan dan hinaan. Mereka menghina suamiku lantaran menikah, hanya bermodalkan nekat, tanpa penghasilan. Mereka bahkan dengan tega membunuh suamiku yang tak bersalah dan mengirimkan jasadnya di hadapanku.
Innalillahi wa inna ilaihi raji’un…                               
Itulah mereka, ayah tiri dan anak-anaknya yang tak punya hati nurani. Sejak kepergian suami, mau tak mau aku harus berperan ganda. Menjadi ibu sekaligus tulang punggung buat puriku, Revolusi. Aku masih belum menyerah. Kukumpulkan lagi harapan yang masih tersisa, lalu kucoba bangun semangat baru dengan susah payah. Tapi, itu tidak bertahan lama. Sebab keluarga tiriku kini mulai turun ke desa-desa. Saudara-saudaraku dengan nekat melancarkan aksinya melalui pengeboman besar-besaran. Teriakan demi teriakan mulai membahana tempat tinggalku, GAZA. Tak jarang, jika aku juga saudara-saudara yang bernasib sama denganku semakin tersiksa. Mereka terus membabi buta tanpa henti, hingga anak-anak tak berdosa kerap kali menjadi korban kekejaman.

Allahu akbar… aku sudah tak kuat lagi, jika engkau memanggilku kini, aku sudah ikhlas, tapi kumohon, wujudkanlah keinginan terbesarku untuk MERDEKA.

Sumber : Firdaus Maulana photos

Friday, August 1, 2014

(Bukan) Cerita Perpisahan

Bolehkah aku menangis sebentar?
Ah… untuk apa meminta izin padamu! Bukan kah Tuhan-ku menciptakan airmata ini geratis? Bahkan tak perlu meminta izin bila ingin menumpahkannya sesuka hati.
Baiklah, kalau begitu, aku akan menangis. Tak peduli seberapa banyak airmata yang kukeluarkan nantinya. Tak peduli seberapa banyak ingus berceceran pula. Tidak, aku tidak peduli. Yang terpenting hanyalah AKU INGIN MENANGIS, TITIK.
Apa kamu yakin ingin mengetahui penyebab aku menangis?
Tentu saja jawabannya IBU… IBU…IBU… dan AYAH-ku.
Jum’at tepat tanggal 1 agustus 2014. Aku tak kuasa menahan titik kristal itu tumpah, bukan karna ada mendung. Namun titik itu, justru mengenai tepat di wajahku pada pukul 12 siang. Panas sekaligus terik bercampur jadi satu. Semua dikarenakan aku melihat sendiri bagaimana pengorbanan ibu.
Setelah sebulan penuh bergulat dengan kulit tebu dan kulit buah pala. Aku ingin sekali membantunya, tapi entah kenapa. Aku hanya bisa mematung menatap punggung beliau yang mulai agak bungkuk.
Pernah ketika beliau mengupas kulit-kulit tebu, jari kelingking sebelah kirinya hampir saja putus. Allahu akbar, darah segar mengalir dan mengenai baju oblong lusuh yang beliau kenakan. Aku masih saja diam, tapi sebisa mungkin ku seret tubuh ini tuk gantikan tugasnya.
“Nyan sek teube beuget-get neuk, bek sempat putoh jaro lage mak.” (Kupas tebunya hati-hati nakk, jangan sampai putus jemari seperti mamak). Kurasakan air mukaku berubah panas, aku hanya mengangguk tanpa suara.
Sejak air pet tidak pernah mengalir ke rumah hampir sebulan lamanya, kami sekeluarga memutuskan untuk “seumeurah bak krung”[1]. Pun begitu siang ini, ibu membawa pakaian-pakaian adik yang sudah dicuci sebelumnya, di “Lhung”[2] tepatnya di daerah desa Geunteng , memasuki jalan Rimeh, yang terletak di lorong sebelah kanan dari rumahku sekitar ±3 Km bila mengendarai motor.
Aku pun membantu membawakan pakaian-pakaian yang sudah dibilas bersih itu ke rumah dengan mengendarai Mio metik. Meski 3x bolak-balik dari Lhung, tak membuat aku lelah dan gerah. Justru sebaliknya, aku ingin terus dan terus melakukannya, lagi-lagi.
Meskipun begitu, ibu yang biasa ku panggil dengan sebutan mamak itu tak pernah mengatakan “Ah, BOSAN!!!” atau “Gak Kuat Lagi” atau “Cape dehhhh!!!” tidak, itu hanya kata-kata yang justru aku dan adik-adikku pakai sehari-hari. “Mak, bentar lagi lah! Lagi seru nih pilemnya.” Allahu akbar. Inikah dunia?
Tapi, lagi-lagi aku salut pada mamak. Walau tubuh mulai remuk redam tersengat matahari, rambut beruban hampir di seluruh kepala, beliau masih sanggup berteriak hingga ketinggian 4 octaf dengan ketajaman suara hingga mencapai 40 rumah warga kiri-kanan, depan-belakang.
Beruntung sekali bila mamak seperti itu tiap bulan ramadhan, sehingga panitia masjid tidak perlu repot-repot membangunkan warga untuk segera bersahur. Ngitung-ngitung nambah lading pahala. hehe
Mamak memang hebat. Tapi ayah juga hebat, kok.
Bagaimana tidak? Setiap harinya, beliau ke gunung untuk memetik buah pala yang masih mentah. Terkadang dapat 2 bambu beliau jual dan uangnya beliau pakai untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Jangan heran kalau anak-anaknya segedek gini, terutama si AKU. Percaya gak percaya, inilah faktanya.
Sementara siangnya, ba’da zuhur, beliau bersiap-siap untuk memerah air tebu dengan mesin penggiling yang beberapa waktu lalu beliau bawa pulang dari touke Cina, dan itu tetap Gak Gratis. Begitulah setiap harinya…
Hingga hari ini, hari dimana aku terakir bersama mereka. Menikmati teriakan-teriakan yang terkadang terdengar dari arah belakang, dari arah dapur dan tiba-tiba sudah muncul di balik pintu kamar lantai atas. “Nawraaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa” “paaaaaaapaaaaaaaaatttttttttttttt!!! Tron keuno, rah pingan dile.”[3] “Get mak!” sahut kami serentak.[4]
Itulah mamak dan ayahku. sa’at-sa’at seperti inilah, aku ingin sekali berlama-lama di rumah, mendengar omelan-omelan mereka yang sering bersahut-sahutan. Aku tak pernah membantah, walau sering juga merasa kuwalahan sendiri. Ini dan itu harus dilakukan sekaligus.
 Selama sebulan penuh, aku sudah hafal semua kata-kata yang mamak ucapkan bila aku tak melihat apa yang aku cari. “Geunging ngon mata bek ngen babah. Keupeu cit guna mata, meunyo hana teu pakek.”[5] Begiku itu adalah menu ternikmat di pagi hari setelah telor ceplok yang bikin eneuk.
Kini, sa’atnya aku kembali ke Banda Aceh. Melanjutkan mimpi yang sempat tertunda, berperang dengan final yang tinggal empat matakuliah lagi serta berkutat dengan anak-anak yang sudah lama tak pernah bersua. Aku rindu mereka. “Ummi rindu kalian, Nak!”.
Aku tak tau. Apakah setelah hari ini aku masih bisa mendengar celoteh-celoteh mamak yang membahana badai halilintar ala-ala syagheni atau… ah sudah lah. Tak ingin melanjutkan lagi. Semoga ramadhan tahun depan, Allah masih memberiku kesempatan untuk kembali mendengar nyanyian pengantar tidur itu.
Love Ayah & Mamak Banyak2
:* :* :*

“Mak, kakak dan adik sayang mamak.”
“ Yah… kakak dan adik juga sayang ayah.”
“Semoga tahun depan, Rha masih bisa menjadi putri tebu.”





[1] Nyuci di sungai
[2] Parit kecil di sepanjang jalan pedesaan Geunteng terbuat dari semen dengan aliran air dari gunung.
[3] Nawra, fafat, turun ke bawah sini, cuci piring dulu.
[4] Baik mak.
[5] Lihat tuh pakai mata, jangan pakai mulut. Untuk apa punya mata kalau gak digunakan.

Monday, July 28, 2014

Curhat Ramadhan Vs Lebaran I'ed

Allahu Akbar... Allahu Akbar... Allahu Akbar...
Laa ila haillallaahu Allaahu Akbar, Allahu Akbar walillahilhamdu.
            Alhamdulillah, ramadhan sudah berlalu. Ada banyak cerita yang tak pernah terlupa di sana. Bahkan di sa’at-sa’at terakir perjumpaan dengan ramadhan, ada rasa kehilangan yang amat sangat menyayat. Mudah-mudahan Allah Swt. Mempertemukan lagi dengannya tahun depan. Amien...
***
            Aku menulis ini tepat setelah bersilaturrahmi ke rumah nenek, siang senin. Rasanya sangat hambar bila moment berharga seperti ini tidak diabadikan. Karna saya tak punya camera L-300 (baca: C-60) maka saya abadikan moment ini dalam sebuah tulisan. Apakah tulisan ini layak dikonsumsi  atau tidak, entahlah. Kalian yang akan menilai.
Bisa dibilang ramadhan kali ini, aku sangat beruntung. Sebab aku bisa melakukan apa saja yang tidak aku lakukan di tahun-tahun sebelumnya. “PUTRI TEBU” adalah gelar yang kusemat sendiri, bukan karna aku semanis tebu atau selangsing pucuknya. Tidak, itu sama sekali bohong. Tapi, aku menyebut putri tebu karna aku adalah anak perempuan si penjual tebu. Menarik bukan? Yah, aku tak pernah malu mengatakan sebenarnya. Sebab aku bangga dengan pekerjaan itu. selama masih halal dan tayyib mudah-mudahan Allah ridha. Setiap harinya aku selalu duduk menemani ayah menjual air tebu, walau terkadang mamak juga sering nangkring menggantikan posisiku. Tapi yang jelas, kalau aku tidak menjual air tebu hari itu bukan karna aku MALU, namun lebih tepatnya aku gantiin posisi mamak di dapur. Hehe...
Begitulah hari-hariku selama ramadhan, di samping itu, aku juga melaksanakan kewajiban-kewajiban lainnya. Seperti target di pohon ramadhan yang sudah aku tanam sejak awal bulan lalu. Alhamdulillah, sedikit banyak aku sudah memanen beberapa buah segar, meski masih ada beberapa yang kecut, lantaran aku masih sering lalai dan lupa.
Tepat malam minggu, akhirnya takbir itu pun memecah kesunyian malam. Sayangnya hanya sesa’at. Bahkan di sebagian pelosok desa, masih banyak yang melaksanakan shalat teraweh. Kebimbangan dan keraguan mulai mengguluti perasaan anak adam satu-satu, tak bisa dipungkiri, bahwa sebagian mereka mulai kecewa lantaran dapat informasi lebaran di tunda senin pagi. Begitu juga dengan kami sekeluarga. Aku, adik-adik juga kedua orangtuaku masih melaksanakan sahur pukul 04.00, yah, kami masih beranggapan bahwa lebaran benar-benar ditunda. Hingga sa’at shubuh keadaan kembali berubah.  Mamak memutar chanel entah dimana, lalu ia melihat rapat nisbat akan keputusan penetapan lebaran. Wal hasil, kami kembali tersenyum, sebab di daerah kami lebaran pun kembali dirayakan. Alhamdulillah...
Pagi-pagi buta, setelah shalat shubuh, kami meluncur ke sungai untuk membersihkan badan sekaligus niat mandi lebaran. Bukan karna musim kemarau panjang tiba, tapi lebih karna sumber air bersihnya meledak. Jadi kami memanfa’atkan sungai sebagai sumber air untuk kebutuhan sehari-hari. Sudah beberapa minggu lalu aku dan keluarga mandi alakadarnya. Bahkan tak jarang kami selalu menunda semua kegiatan yang bisa menguras banyak air  hingga 2-3 hari, namun untuk MAKAN itu NOMOR 1 :D
Pulang dari sungai, takbir pun kembali bergema. Setelah semua siap, kami sekeluarga berangkat ke masjid lebih cepat dari biasanya dan kami sekeluarga beruntung sebab mendapatkan shaff paling depan dan paling nyaman. Dari sepanjang tahun ini, ramadhan dan lebaran 2014 lah yang paling berkesan. Aku bisa berbagi, meski itu hanya sedikit...


Friday, July 18, 2014

BILA HATI RINDU M*****H

“Nawra, mengapa kau tega melakukan ini padaku? Mengapa kau khianati perasaan yang selama ini kusimpan untukmu?” ucap seseorang yang tak kukenal wujudnya.
“Maksudnya apa, mengapa engkau menyalahkan aku seperti ini? Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Kapan, dimana?” pertanyaan itu terus bergerilya dalam otakku, melayang-layang seperti anai diterbangkan tornado. “Sudahlah, aku mending pergi saja. Toh tanpaknya kau sudah melupakanku.” “Hey, tunggu? Mengapa engkau tidak menjawab pertanyaanku? Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” Orang itu hanya tersenyum hambar lalu pergi meninggalkanku dengan ribuan tanya. (Siapa dia, dari mana asalnya, mengapa ia mengenaliku, kapan aku melihatnya).
Aku tersentak ketika alarm Hp membangunkan. Kulirik jam dinding tepat pukul 03.00 dini hari. “Apa artinya?” Sesaat lamanya, pikiranku masih saja kosong, kurasa rohku belum sepenuhnya kembali. Tapi aku masih penasaran dengan mimpi itu, mimpi aneh namun terlihat nyata. Sesegera mungkin kutepiskan perasaan itu jauh-jauh, ku seret tubuhku hingga sampai di kamar mandi. Setelah berwudhu’, aku pun mendirikan shalat qiyamul lail [1]dua raka’at disertai shalat witir. Pikirku melayang, aliran darahku meletup-letup deras pun begitu dengan jantungku, berdetak hebat namun tak beraturan. Aku masih saja dihantui oleh sosok makhluk yang tak ku tau asal-usulnya. “Siapa dia?” Setelah semuanya selesai, aku pun kembali tidur, masih dua jam lagi waktu shubuh. Perasaanku kembali tak karuan ketika mimpi itu datang lagi dan terus berlanjut. “Aku hadir lagi bukan? Jangan takut, aku tak kan menelanmu bulat-bulat. Aku hanya ingin mengingatkan saja. Jangan terlalu larut dalam perasaan semu seperti ini, nanti kamu sakit hati dan takkan berhenti menangis. Bukankah  cinta hadir tanpa devenisi? Jika aku tak memikirkan perasaanmu di sini, mana mungkin aku berani menegurmu, Nawra.”
“Kamu siapa? Please kali ini jangan acuhkan diriku.” “Ah, kamu ini masih terlalu dini untuk mengetahui siapa aku. Yang jelas, aku akan datang bila engkau mulai bertingkah macam-macam. Sudahlah, jangan kau pikirkan lagi orang-orang di luar sana, bukankah engkau sudah punya aku? Jika sudah tiba waktunya kelak, akulah yang akan menjemputmu.” “Mengapa engkau menghantui tidurku terus-menerus? Apa untungnya dirimu? Mengapa tak kau tunjukan saja siapa kamu sebenarnya. Aku tak bisa melihat jelas wajahmu. Aku penasaran.” “Sudah ku katakan, engkau masih terlalu polos Nawra, bila waktunya tiba, kau akan mengetahui semua itu dengan sendirinya.” “Tapi aku ingin tau lebih banyak lagi tentangmu?” “Engkau akan tau leih cepat, bila engkau lebih bersabar lagi.”
Deg... ada perasaan aneh yang menamparku keras. “Apa-apaan ini, siapa sih dia? Mengapa seenaknya ngomong begitu? Apa haknya coba?”
 Entah dari mana datangnya hawa dingin menusuk sum-sum, yang jelas aku merasakan kehadiran seseorang yang begitu lekat dan dekat.” “Aku pergi dulu ya, kapan-kapan aku akan datang lagi.” Tak lama setelah itu, seburat cahaya terang di hadapku mulai memudar dan menjauh.
Allaahu akbar.. allaahu akbar...
Allaahu akbar.. allaahu akbar...
Sayup-sayup aku mendengar azan shubuh mulai bergema. Begitu cepat waktu berlalu. Ku lihat Mery, sepupuku masih terlelap dengan mimpi indahnya, aku pun tak berniat membangunkan, sebab ia lagi ma’dhurah.[2]
Shalat shubuh jadi lebih ringan dan menyenangkan dari sebelumnya, kurasakan, bacaan al-matsurat juga tak luput dari lalapanku pagi itu. Senang, aku seperti telah menemukan semangat baru. Hatiku selalu saja mendesak dan mendorongku untuk melakukan lagi dan lagi. Aku bersyukur.
Namun keanehan lain mulai merajai hariku beberapa minggu kemudian, tepatnya ketika giliranku tak bisa shalat. Kau tau? Sejak itu juga aku mulai menghabiskan waktu di tempat tidur. Bukan karna aku sakit, bukan karna bisulan, bukan karna , bukan karna sebab-akibat. Tapi, aku merindui orang itu. Orang aneh yang masih menanggalkan ribuan tanya dalam diri, orang yang selalu mengingatkanku agar jangan terlarut dalam perasaan semu, orang yang gak mau menjawab pertanyaanku hanya karna aku akan tau sendiri kelak. Orang yang... begitu, aku rindukan. “Hey, kemana saja selama ini? Kok aku gak pernah melihat sosok tiba-tibamu sepanjang minggu?.” “Kenapa emang? Bukankah aku gak terlalu penting?” Oops, entah apa yang ada dibenakku saat ini, pernyataan itu meluncur dengan lihainya, aku mulai gelisah, takut-takut ia menangkap rona kepiting rebus di wajahku. “Iya, aku juga merindukanmu, bahkan sebelum engkau ada sekalipun. Aku juga merindukan sosokmu juga sebelum engkau menjadi ibu buat anak-anakku, aku juga merindukanmu bahkan ketika engkau niat untuk menutup auratmu dari ujung rambut hingga  ujung kaki, iya aku juga merindukanmu menjadi guru buat anak-anak yang akan kau didik kelak, aku juga merindukanmu sebagai seorang istri yang akan membahagiakan suaminya, aku merindukanmu sebagai orang yang pantas dirindukan.” Hening. Bahkan nyamuk pun enggan mengusik. Kata-kata itu jelas terekam dalam memory jangka panjangku. Aku benar-benar luluh dibuatnya. “Tapi..” ia kembali melanjutkan kalimatnya, setengah gantung. “Tapi apa?” tanyaku mengejar. “Mari kita duduk di sana, sepertinya urat-urat ototku mulai putus satu-satu, aku pegal.” Ia menujukkan sebuah bangku panjang yang bertengger rapi di bawah pohon flamboyan. Aku hanya mengekor seperti anak ayam dengan induknya. 

“Tapi apa?” aku kembali melemparkan tanya yang sebelumnya sudah kutanyakan. “Tapi, apa aku bisa mengharapkanmu seperti itu? Apa engkau wanita yang selama ini kutunggu? Apakah engkau juga yang akan melengkapi pasangan rusukku? Aku sebenarnya masih bimbang dengan apa yang ada dibenakmu, tapi aku tak kan bisa diam bila ku melihatmu..., ah sudah, jangan paksa aku lagi. Sekarang bangunlah, baiknya jangan temui aku lagi bila engkau belum siap.”
Dia pergi lagi... hey seenaknya saja kau gantungkan ucapmu, kau pikir aku pohon pinang. Kau pikir aku beringin atau justru kau berpikir aku ini pohon karet. Seenaknya kau ambil getahnya dan ketika aku mulai tertempel, engkau malah pergi. Aku gak terima, aku ingin kau datang langsung. Jangan jadi pengecut. Aku benci orang-oranag pengecut, aku benci kamuuuuuuuu.” Sontak aku terjaga dari malamku, matahari pun mulai beranjak setengah galah, apa ini. Apa dia mempermainkanku lagi. Kembali kata-kata itu menari-nari dalam otakku. Ribuan tanya terus bertambah, bertambah dan bertambah bergumpal seperti lilitan benang yang mulai awut-awutan, sialnya tak satupun jawaban masuk akal yang kudapat.
Aku memilih mengurung diri di kamar, mumpung gak kuliah, gak ngajar dan gak nafsu jalan-jalan. Lagi-lagi kata ajaib itu mulai bisa ku hafal. “Apa maksudnya?” lamunan tanpa ujung pun membawaku kembali ke alam bawah sadar.
“Aku tak ingin mengganggu hidupmu, tapi jujur. Aku tak ingin melihatmu lagi. Aku mau ini yang terakir. Jangan pernah datang lagi.” (Setetes bening tumpah). “Apa aku mulai tidak waras? Bagaimana mungkin aku jatuh hati pada sosok yang tak ku tau bagaimana bentuknya. Bagaimana mungkin aku langsung terpikat hanya karna ia sering datang dalam mimpiku. Bagaimana mungkin aku mulai suka akan sikap misterinya yang datang dan pergi tiba-tiba. Bagaimana mungkin aku masih dibilang waras ketika yang kualami justru berputar 180 derajat. “Apa yang harus kulakukan kini?”
Malam itu, aku tak ingin terlelap sama sekali. Kupaksakan kelereng hitam itu tetap melek meski berulang kali menguap. Aku tak peduli. Aku terus membaca apapun itu yang bisa menghentikan mata ini untuk tidak terlelap. Terkadang aku ikutan tertawa bila ada kata-kata yang menurutku lucu dan itu sedikit membantu mataku kembali terkuak. Akirnya, aku kalah. Kalah oleh rayuan tempat tidur yang siap melambungkan mimpi-mimpi itu kembali. Aku kalah, mata itu tetap saja terkatup mesti aku telah menanggalnya dengan linggis sekalipun. Pertahanan ku luluh, aku juga manusia yang butuh istirahat untuk kembali segar dan beraktivitas kembali esoknya. “Terserah, yang penting aku ingin tidur.”
Huam... huam... huam... aku terbang bersama mimpi itu lagi. “Jangan terlalu memaksakan diri, nanti sakit.” Tak ada respon. Hening. Kembali sunyi.”Iya aku mengaku salah, tapi aku tak sanggup bila engkau terus-terusan memaksa seperti ini.” Masih saja hening. “Oke-oke, baiklah. Aku akan ceritakan semua. Tapi engkau harus berjanji padaku. Agar engkau tetap beristiqamah.” “Maksudnya?” hanya itu yang terdengar balik dari mulutku. “Begini Nawra, selama kita belum mahram. Baiknya kita menjaga jarak dulu. Jangan kawatiri aku. Aku tidak akan pergi kok.” “Aku gak ngerti kamu bilang apa?” “Sebenarnya aku tau apa yang ada dipikiranmu kini, aku tau kau juga sedang menyukai seseorang, sedang memendam rindu yang menggebu dan aku juga tau di mana ia kini.” 
Deg, jantung itu terus berpacu lebih kuat. Aku ingin terjaga lebih cepat, tak ingin mendengar kata-kata selanjutnya. Bangun, ku mohon bangunlah. Terbukalah mata, terjagalah, aku tak ingin mendengarnya. Atau lebih baik aku tuli saja sekalian. Kumohon. Aku tak ingin mendengarnya. “jangan dilanjutkan lagi, aku sudah tau.” “Bukankah kemaren engkau selalu mendesakku, bukankah kau juga mengacuhkanku hanya karna aku slalu menggantungkan kata-kata, bukankah kau juga tak ingin menemuiku lagi hanya karna kau punya rasa terhadapku.” “Cukup-cukup, aku tak ingin mendengarnya lagi.” “Baiklah, aku akan menjawabnya kini, menjawab semua tanya yang slama ini mengganggumu. Aku akan jawab semuanya tanpa terkecuali, sekaligus ini pertemuan terakir kita seperti inginmu.”
Setitik gerimis mulai berjatuhan...
“Nawra, aku tak ingin mengulanginya kedua kali. Jadi dengarlah baik-baik.”
Malam...
Jika engkau sanggup memulihkan dukanya, maka aku akan berterimakasih.
Langit jika engkau sanggup menutupi sendunya maka aku akan berterimakasih.
Bulan jika engkau bisa mengelabui tangisnya maka aku akan berterimakasih.
Bintang jika engkau mau menghiburnya maka aku akan berterimakasih.
Bukan...bukan aku pengecut atau tak peduli.
Tidak... itu tidak benar.

Aku tau aku masihlah bodoh soal itu.
Aku bukan malaikat yang berhati suci, bukan peri dalam dongeng-dongeng sebelum tidur.
Aku bisa saja mengusap airmatanya ketika berlinang dan terjatuh, bisa saja ku mendekapnya ketika ia membutuhkan kehangatan, bisa saja menenangkan ia ketika ia terluka.

Bisa... aku bisa melakukannya.
Tapi aku malu pada-Nya, aku malu pada Maha Raja langit dan bumi.
Bagaimana mungkin aku menyentuhnya sedang aku belum mengikatnya.
Bagaimana mungkin aku menggandengnya sedang ia masih terpagar.
Bagaimana mungkin aku memboncenginya sedang ia bukan mahramku.

Aku malu...
Aku sangat malu.
Tapi aku tak kuasa bila terus melihatnya sendu dan pilu.
Aku tau itu adalah kelemahanku, aku sadar kalau itu ujian imanku.
Tapi, aku... aku akan  tetap menjadi bayangannya...
Aku akan terus menjadi bias wajahnya...
Ku harap ia tak pernah berpaling lagi.

Aku telah berjanji pada-Nya, aku akan datang dalam nyata.
Aku akan menjemputnya dalam do’a, aku akan mengkhitbahnya dalam usaha.
Meski aku jauh, meski aku belum berwujud, meski aku sendiri tak tau dimana.
Aku akan datang, membawanya menjadi permaisuriku, membawanya menjadi pelengkap kurangku, membawanya membangun masjid di jannah-Rabbku.
Bersabarlah...
One day in beuatiful day



[1] Shalat tahajud.
[2] Datang bulan, ini dimiliki oleh setiap wanita, biasanya 1-7 hari/ bulan.

Friday, December 26, 2014

BALADA DUKA Di TANOH REUNCONG!

Siluet jingga tersenyum pagi itu
Menyapa setiap jengkal, lautan anak adam

Pantai Lhok Nga, Lampuuk, Ujong Batee, Ulee-Lheue menjadi sasaran empuk semua kalangan

Anak-anak berlarian dengan kaki telanjang di sepanjang pantai

Sedang ayah-bunda hanya tersenyum di balik Jambo  yang mereka duduki

Pukul 08.00 wib
Langit membawa titah sang Raja, dengan seonggok duka penuh cita.
Gempa dengan kekuatan 9.5 SR telah meluluhlanttakkan tanah rencong sekejap mata.
10 menit berlalu…
Laut mulai menyusut, pepasir pantai surut seolah ikut tertelan olehnya

Tak lama kemudian…
Larutan pekat nan gelap berubah sebongkah gunung raksasa
Siap menelan ribuan masa dengan sekali hentakan.
Allahu akbar…
Allahu akabar…
Laa ilaa ha illaallah…
Laa ilaa ha illaallah…
Takbir menggema di seluruh pelosok Nanggro Aceh Darussalam
Gulungan ombak telah menyapu segalanya tanpa sisa

Kini, daratan telah menjelma lautan porak-poranda
Bayi-bayi tak berdosa tersangkut di rentetan puing-puing bebangunan
Ibu-ibu terhanyut dengan buah hati dipangkuan
Kabel-kabel terputus, tiang listrik ambruk, mobil dan truk remuk, hotel bertingkat, rumah berlipat, rata seketika.
Allahu akbar…
Tsunami telah menelan bahagia generasi Aceh.

10 tahun berlalu…
Perih dan luka lambat laun pun terobati
Dan airmata yang dulu mengalir di rentetan sungai Krung Aceh, kini menguap sudah
Acehku kini telah bangkit dan kembali menggenggam harapan penuh cita dan cinta.
                       
@Meusium Tsunami, Banda Aceh

                                                             

Monday, December 22, 2014

Meuchen Bak Mata

Terbayang satu wajah, penuh cinta, penuh kasih
Terbayang satu wajah, penuh dengan kehangatan.
Oh ibu…
Oh ibu…
Tak ada kasih sayang setulus ibu, tak ada sahabat, sejujur ibu, tak ada guru sesabar ibu, tak ada pengorbanan seikhlas ibu. Ibu… ibu… ibu.. perempuan yang sudah bersusah payah, memapah dan menyusu hingga aku tumbuh sebesar saban waktu.
Dulu, saat aku masih sekolah madrasah, mamak kerap kali mengingatkanku agar tidak boleh makan yang pedas, asam-asaman atau nasi yang terlalu keras, ingat tifus, katanya. Tapi, sejak aku menjadi mahasiswi, hingga kini sudah di semester lima, satu persatu pantangan itu mulai kuabaikan. Kadang memang tidak sengaja, keadaan yang menuntunku demikian,. Anak kost macam aku ini akan makan apapun untuk menghindari lapar, kalau kamu (?)
Pernah suatu hari, saat di kampung, aku mendengar ayah berceloteh akan masakan mamak yang itu-itu saja, saat hari megang tiba. Mungkin ayah tak bermaksud menyinggung, sebab yang kutahu ayah akan pasti memakan dengan lahap apapun yang dimasak mamak. Tapi hingga aku berusia 20 tahun, “Masakan Tek Ti[1]” selalu menjadi menu andalan mamakku. Wal-hasil aku pun diutus sebagai salah satu perwakilan ayah untuk menyampaikan keluh-kesah yang sudah menahun tak pernah terungkap. “Mak, sigo-go masak rendang atau manok panggang, bek masak Tek Ti tiep uro, ayah ka bosan.”[2] Ungkapku diwaktu lenggang. Entah mamak sudah menangkap gelagat aneh dari ayah beberapa waktu lalu saat menikmati masakan Tek Ti yang keseringan atau mamak sudah menemukan resep baru, pengganti masakan Tek Ti. Akirnya menu kami di hari megang tahun kemarin, berubah menjadi Ayam Sambal Ijo. Enak memang, tapi keanehan lain mulai muncul. Saat ayah kembali membeli ayam dan memotongnya, mamak pun kembali memasak ayam sambal ijo yang sama, berturut-turut hingga beberapa kali. Terakir aku tau, kalau setiap kali mamak memasak dan mendapat pujian serta respon positif dari orang rumah, maka bersiaplah menu harian di rumah kami akan itu-itu saja hingga 7 hari 7 malam berlalu. Hehe.. tetap saja aku suka, ada kesan tersendiri saat menikmatinya.
Satu yang paling kutakutkan dari mamak, bila ada panggilan masuk sudah sampai 10x atau lebih dan aku lupa mengangkatnya, entah karna Hp sedang di cass atau di diamkan, maka bersiaplah akan mendapati mamak ngambek selama 24 jam non stop. “Han kuthem marib lhe![3]” ucapnya ketus. Kalau sudah seperti itu, aku akan memikirkan beribu cara untuk menarik perhatiannya kembali. Mulai dari menawarkan kain batik, jilbab kurung, bros dll, hingga mamak kembali luluh dan melunak seperti semula. Yah, usahaku memang  selalu membuahkan hasil, meskipun pada awalnya, aku harus mendengar khutbah beliau selama 2x45 menit lamanya. Jujur, bersamanya aku memang lebih banyak diam dan memutuskan untuk menjadi pendengar yang baik ketimbang nyerocos macam ibu-ibu arisan, tak jarang aku juga sering kehilangan bahan obrolan bila sudah terlalu lama menelpon. Hal ini sangat berbeda bila aku menelpon ayah. 1 jam, 2 jam bahkan 3 jam durasi, ada saja topik yang kami bahas, bahkan keunikan mamak sering menjadi salah satu unlimited topic pembicaraan kami saat itu. Aku memang lebih terbuka sama ayah jika dibandingkan dengan mamak, bahkan untuk sekedar menangis aku justru ke ayah, bukan ke mamak. Mungkin endingnya akan tragis bila sempat menangis sama mamak.
Kini, sudah 1 bulan mamak tidak mengunjungiku di sini, di Banda aceh. Terakir beliau datang, pun karna ikut pelatihan sosialisasi kurikulum 2013. Itu juga cuma 2 hari, sebab perjalanannya terhambat akan musibah berupa longsor dan banjir di daerah Gunung Kulu, Lamno. Beruntung panitia mafhum, mamak pun bisa mengikuti workshop tersebut walau sehari. Tatkala aku menjemput beliau kembali ke kost, aku tak berhenti mendengar ceritanya hingga larut malam. Ceritanya juga tak jauh dari topik seputar workshop dan pengalaman menginap di hotel. Entah tentang bagaimana mamak pertama kali naik lift hingga salah tekan tombol, dan tak sampai-sampai ke lantai tiga, tentang pintu yang hanya bisa dibuka dengan kartu gesek atau tentang sepatu high hill yang sengaja beliau selipkan diantara sandal swallow. Bila begitu, aku kembali ingat pesan ayah, “Hana peu neuk, peudiyeu mantong, nyan mak teungoh meu ubat.”[4] Pernah juga, aku iseng-iseng meminta mamak untuk menceritakan bagaimana pertemuan ayah dan mamak pertama kali hingga sampai menikah, dan aku pun berniat ingin menulis novel tentang mereka berdua, Allahumma amiienn. Namun, saat kukatakan tokoh utamanya dalam hal ini ayah, maka mamak cemberut, beliau seolah tak rela bila yang menjadi tokoh utamanya ayah. Beliau semakin menggebu bercerita saat aku mengalah dan membiarkan mamak lah sebagai tokoh utamanya, menggantikan posisi ayah. Ah, ini juga hal unik yang kudapat darinya.
Setelah mamak menginap 2 malam di kost ku, akirnya, beliau memutuskan untuk pulang ke kampung, Kotafajar, Aceh Selatan, malam selasanya. Namun hal yang belum pernah kurasakan hingga umur ku genap berkepala dua adalah, mamak mencium dan memelukku. Yah, itu yang tak pernah kurasakan sebelumnya, dan merasakannya di senin malam, sebelum kepulangannya. Sejuk, nikmat ada kehangatan di sana, ada kerinduan yang menggebu dan ada cinta yang tak pernah cukup bila hanya ditulis dan diucap dengan kata-kata. “Nak, bek pike peu laen, fokus belajar ngen peubut yang  get-get mantong, bek ikot lingkungan yang hana beutoy, bek tuwo sembaahyang.” [5] Beliau kembali mencium keningku, sebelum beranjak memasuki mobil L-300. Kulihat ada satu titik embun tertinggal di wajahku saat itu.
Mak, selamat hari ibu, semoga tetap kuat dan semangat menantang pancaroba yang saban hari menguji imanmu.



Banda Aceh, 22 Desember 2014
                                                                                   
Adinda,
Zahraton Nawra



[1] Masakan ayam dengan campuran kelapa yang sudah digonseng dan ditumbuk hingga keluar minyak, rempah dan daun kemangi. Tek Ti adalah alm. Kawan mamak yang meninggal beberapa tahun lalu, dinamakan masakan Tek Ti, karna beliaulah yang pertama kali mengajarkan mamak resep demikian.
[2] Mamak, sekali-kali dimasakin rendang atau ayam bakar, jangan masak Tek Ti tiap hari, ayah sudah bosan
[3] Gak mau ngomong lagi
[4] Tidak masalah nak, biarkan saja, ibumu sedang berobat.
[5] Nak, jangan mikirin yang lain, fokus belajar dan berbuat yang baik-baik saja, jangan ikuti lingkungan yang tidak baik dan jangan tinggalkan sembahyang.

Wednesday, November 19, 2014

Sebuah Penantian

Kita berteduh di bawah langit yang sama...
Bersandar di hamparan bumi yang sama pula...
Mungkin waktu dan jaraklah yang membuat kita harus lebih bersabar.
Sebab jika nanti terlalu terburu-buru...
Aku takut engkau begitu cepat terlepas.
Seperti halnya anak panah yang meleset dari busur.


Tenanglah, jangan kawatir berlebihan
Di sini ku kan menunggu...
Menunggu hari itu tiba.
Dengan segenap jiwa, ku titipkan rasa ini pada Ilahi.
Biarlah Ia yang menuntunnya.


Semangat Menulis

Awalnya hanya malu-malu...
Awalnya hanya coba-coba...
Awalnya hanya iseng-iseng...

Tapi kini...


Awal itu telah bermula.

Sejak kemaren malam, kita baru saja berjanji.
Berjanji untuk terus berjuang.
Berjanji untuk terus menulis.
Berjanji untuk saling mengisi
Berjanji untuk memperbaiki.


#Mudah-mudahan sayap yang dulu tersipu, kini terkepak sudah.



Thursday, October 30, 2014

Pertemuan Dua Waktu

Dahulu kala, hiduplah seorang Raja Langit dan Ratu Jagat di sebuah istana yang megah. Mereka menamainya Istana Awang-Awang. Kebijaksanaan sang raja serta kelembutan hati ratu telah menjadikan negri itu kaya, makmur dan sejahtera. Meskipun raja dan ratu hidup berkecukupan materi dengan rakyat yang setia, semua itu belumlah sempurna tanpa kehadiran darah daging yang baru. Sejak saat itu, sang ratu tidak berhenti menangis sepanjang waktu. Tubuhnya mulai melemah dan kelihatan beberapa kerutan mulai menjalari wajah cantiknya. Sang raja pun begitu khawatir. Ia mencoba berbagai cara untuk menyembuhkan ratu dan mengembalikan semangat hidupnya yang mulai padam. Semua tabib sudah didatangkan dari seluruh negri untuk mengobati sang ratu. Tidak, obatnya hanya satu. Yaitu bayi.
Hingga suatu hari, datanglah seorang laki-laki paruh baya dengan pakaian kumal dan rambut acak-acakan menghadap baginda raja. Melihat kondisi laki-laki itu, para prajurit melarangnya masuk dan hendak mengusirnya dari istana. Namun sang raja menahannya dan memberi kesempatan untuk mengobati sang ratu. Kemudian, laki-laki paruh baya itu menyodorkan segelas ramuan berwarna hijau pekat kepada raja. Dengan hati-hati, sang raja pun meminumkannya kepada ibunda ratu. Tidak perlu menunggu lama akan reaksi obat yang diberikan laki-laki paruh baya itu. Tak lama setelah meminum obatnya, ratu merasa mual-mual dan ingin muntah. Melihat reaksi demikian baginda raja memanggil tabib istana sementara prajurit sudah siap dengan pedang terhunus. Tabib istana merasa kaget bukan main tatkala memeriksa sang ratu.
“Ampun baginda raja..” ucap sang tabib takzim.
“Ada apa wahai tabib istanaku?” jawab sang raja
Dengan senyum sumringah, sang tabib pun mengabarkan raja bahwa sebentar lagi, mereka akan kehadiran seorang tamu yang selama ini dinanti-nanti.
“Ibunda ratu hamil, baginda.” Mendengar penuturan sang tabib, seluruh istana bergembira. Tak alang, laki-laki paruh baya yang awut-awutan itu diangkat menjadi tabib pribadi keluarga istana.
Dunia memang aneh. Keajaiban itu pasti ada.
Satu minggu kemudian, dikabarkanlah bahwa Istana Awang-Awang mempunya seorang bayi perempuan yang putih bagaikan salju musim dingin yang baru saja terjatuh, rambutnya yang hitam berkilau seperti permata aswad yang tak terjamah manusia dan matanya yang bulat dengan latar coklat menggoda setiap orang yang melihatnya. Bayi itu diberi nama Mendung. Tak ada yang tau mengapa nama itu dilekatkan pada sang putri nan cantik jelita, tapi alasan logisnya karna kelahiran sang putri telah melenyapkan segala kesedihan istana berpuluh-puluh tahun lamanya. Lambat laun, sang ratu pun berangsur sembuh.
Istana kembali makmur dan semakin membaik, apalagi setelah kehadiran bidadari kecil mereka. Tak ayal, banyak yang mendo’akan sang putri agar sehat dan panjang umur selalu. Semua bersyukur, semuanya bahagia tanpa terkecuali. Sang putri tumbuh semakin dewasa, saban  hari, ia terlihat semakin memukau. Bahkan penduduk langit yang lain pun merasa iri akan kecantikan sang putri. Sementara para raja-raja dan ratu-ratu negri lain berebutan untuk mempersunting sang putri dengan berbagai macam imbalan. Sayangnya, sang putri menolak semua itu. Ia merasa kalau ia masih terlalu muda untuk menikah dan mempunyai anak. Ia masih ingin menghabiskan masa mudanya dengan bermain dan bercengkrama dengan anak-anak dayang istana yang masih sebaya dengannya.
Suatu hari, sang raja mengundang seluruh raja dan ratu serta penduduk negri langit lainnya untuk menghadiri dan memberi selamat atas beranjaknya usia tuan putri yang ke 20 tahun. Mendengar kabar baik itu, seluruh istana langit yang lain memanfaatkan kesempatan emas untuk melamar sang putri. Ada yang membawakan emas, permata, berlian, kuda yang gagah, pangeran yang tampan dan sebagainya. Sang raja pun menyambut mereka satu-satu dengan hangat dan bersahabat. Ia tak pernah menolak pemberian dan niat baik yang diberikan oleh kerabat-kerabat negri tetangganya itu. Lagian tuan putri juga sudah sepatutnya menikah, bukankah usianya sudah genap berkepala dua sekarang. Maka raja dan ratu juga bermaksud untuk mencarikan mereka pangeran tampan yang akan menggantikan kepemimpinan mereka kelak.
Tapi sayangnya, keputusan itu ada ditangan sang putri. Seberapa pun bersikukuhnya raja untuk mencarikan suami untuk putrinya, toh yang memutuskan mau atau tidak sendiri adalah tuan putri. Pesta pun berjalan lancar, sang putri yang baik itu meski belum memutuskan siapa pangeran yang diinginkannya, bagaimana kriterianya seberapa tampannya. Ia tak pernah menolak untuk berdansa dengan siapa saja. Dengan senang hati ia akan menyambutnya kemudian berputar-putar lalu meliuk-liuk indah seperti nyiur yang diterbangkan angin sepoy-sepoy. Hingga acara yang dinantikan itu pun tiba. Semua tamu diharapkan untuk tenang dan tertib. Mendengar dan tak ingin melewatkan satu titikpun pengumuman itu walau hanya sebuah tarikan nafas sekalipun. Lalat yang terbang tak berkutik, tak berani bersuara. Semut yang kecil berhenti berpatroli mencari gula, bahkan ada sebagian orang nekat dan memutuskan untuk berhenti bernafas. Al-hasil mereka bersedia dibopong dan dibaringkan di kamar rawat intensif dengan berselangkan oksigen.
“Baiklah semuanya, aku sangat berterimakasih atas kehadiran kalian semua di acara ulang tahunku yang ke-20 ini. Mudah-mudahan di usiaku yang beranjak dewasa, aku bisa menjadi seseorang yang membanggakan raja, ratu, penduduk istana Awang-Awang bahkan siapapun nantinya yang akan menjadikan aku istrinya. Aku bersyukur, karna sampai saat ini aku dikaruniakan orang-orang baik seperti kalian. Meskipun begitu, aku tidak akan memilih kalian sebagai pendampingku tanpa syarat. Itu terlalu mudah dan tidak menantang sama-sekali. Oleh karena itu, siapapun yang bisa memenuhi syarat yang saya katakan, maka ia berhak menjadi pendampingku dan tinggal bersamaku di istana Awang-Awang ini.”
Tepuk tangan semakin bergemuruh, menggema seisi kerajaan langit. Semua terkagum-kagum akan sang putri. Tak hanya dari penampilan belaka, tapi ia juga pandai berolah kata dan itu semua tak luput dari perkiraannya. Tak ada kata-kata yang meleset dari kesalahan. Semuanya baik... semuanya sempurna.
“Wahai tuan putri, katakanlah! Apa syaratnya, kami sudah tidak sabar untuk menjawab dan memenangkan hati putri nan mempesona ini.”
“Iya.. iya... iya.. kami sudah tidak sabar lagi.” Sambung yang lain.
Putri mendung hanya tersenyum sambil melirik ke arah kedua orangtuanya. Mereka membalas dengan anggukan mantap.
“Baiklah kalau kalian sudah tidak sabar lagi. aku akan mengajukan satu syarat berupa pertanyaan. Kalau kalian bisa menjawabnya dengan tepat maka aku akan bersedia menjadi istri kalian. Apa kalian semua siap?” tanya sang putri
“Siap tuan putri.” Jawab mereka berkoor
“Kapan dan dimanakah kalian bisa menemukan dua waktu yang berbeda, bersatu dalam satu waktu?” sang putri mengajukan pertanyaan tanpa ragu. Ia percaya, hanya orang yang bener-bener genius dan berhati jingga yang bisa memecahkan pertanyaan itu. Dan ia yakin, ia akan menemukannya di sini.
Sesaat istana mulai gaduh, bisik-bisik tetangga mulai terdengar sedikit demi sedikit. Sang raja dan ratu pun kelihatan sangat kaget dan bingung. Pertanyaan apa itu. Seumur hidup mereka baru kali ini ia dengar tentang dua waktu berbeda jadi satu waktu. Bahkan itu ditanyakan langsung oleh putrinya, darah dagingnya sendiri.
“Wahai putri. Apa-apaan ini? Apa engkau ingin menguji kami semua dengan pertanyaan konyol yang tidak masuk akal?” tanya salah satu pangeran dari negri tetangga.
“Benar putri!” potong lainnya. “Mana ada dua waktu berlainan saling bersatu dalam satu waktu.
“Sudah ku duga. Kalian pasti akan mengatakan ini dan menolak untuk tidak menjawabnya. Ampun Ayahnda... Ibunda... bukankah kalian sudah mendengar jawaban dari mereka semua? Bukankah kalian bisa menilai sendiri? Kembalikan semua yang mereka berikan. Aku tidak akan menikah.”
“Mendung....!!! Selama ini Ayahnda selalu menuruti semua yang kau inginkan. Bahkan dua tahun lalu, saat engkau menolak lamaran rekan-rekan ayahnda yang ingin menikahkanmu dengan putranya pun kamu tolak. Dan ayahnda bisa mengerti karna usiamu masih sangat belia. Tapi kali ini, Ayahnda tidak terima lagi alasan yang itu-itu melulu. Bahkan hanya dengan pertayaan bodoh seperti itu kau mengelabui ayandamu sendiri.
”Pengawal!” Siap paduka. “Bawa sang putri dan kurung dia dalam kamar. Jangan biarkan seorang pun mengasihinya apalagi memberi makan.” Pengawal istana pun menyeret putri dengan paksa. “Tapi Baginda, apa ini tidak terlalu berat? Bukankah ia satu-satunya putri yang kita miliki. Bagaimana kalau ia meninggalkan kita selamanya?” Ucap sang ratu satu-satu. “Ah, masa bodoh! Anak macam dia semakin dikasih hati semakin enak ia menginjak-injak kepala kita. Kalau ia terus-menerus menolak lamaran yang lain. Kapan ia akan menikah dan mempunyai anak? Kapan kita akan menimang cucu? Apa dia mau jadi perawan tua seumur hidup.” Sudah, cepat! Seret dia dan jangan biarkan aku melihat wajahnya seharian ini. Sambung baginda.
Putri Mendung hanya bisa menangis tersedu-sedu “Ayahnda, ku mohon, lepaskan aku. Lepaskan. Aku tidak bersalah. Aku berjanji akan membuktikan kepada ayahnda kalau aku akan menikah dan punya keturunan. Ku mohon. Beri aku kesempatan untuk membuktikannya.”
Saat itu juga, di luar sana. Petir mengelegar hingga memekakkan telinga. Angin puting beliung serta gempa mengoyangkan dan menerbangkan seluruh istana dan isinya. Semua penduduk langit ketakutan. “Bagaimana ini? Apa yang terjadi.” Ucap beberapa penduduk gelisah, sesaat semuanya hening kembali. Tak ada yang berani bersuara.
Tiba-tiba, dari gerbang istana, munculah seorang laki-laki tampan dengan pakaian sederhana menghadap raja. Tak tampak padanya tanda-tanda seorang pangeran yang kaya dan terhormat. Bisa dibilang, yang membuat ia pantas berada di istana adalah wajahnya yang tampan dan secerah mentari.
“Siapa kamu? Mengapa berani sekali kau injakkan kaki di istana agungku? Lihat, penampilanmu lebih pantas menjadi peternak sapi dan tinggal di kandang ketimbang di istanaku. Bahkan masih lebih baik peternak sapi istanaku ketimbang kamu, anak muda.” Ujar sang raja bertubi. Laki-laki itu tersenyum indah. Bahkan sang putri yang hendak beranjak pun sempat melihat ke arahnya dan ternga-nga. “Apakah keindahan itu hanya untuk para malaikat!” lirih sang putri.
“Mohon maaf yang sebesar-besarnya baginda Raja Langit dan Ratu Jagad. Hamba  kesini untuk tuan putri. Hamba datang untuk memecahkan pertanyaan yang dilontarkan beberapa waktu lalu. Dan jika aku bisa menjawabnya dengan baik maka aku berhak mendapatkan sang putri.” Jelas laki-laki tampan itu tanpa ragu sedikitpun.
Sejenak, raja terbungkam. Ia melirik ke arah istrinya, Ratu Jagad lalu berganti ke arah Putri Mendung. “Tapi aku masih ragu, apa mungkin seorang gelandangan sepertimu bisa menaklukkan anakku dan menjawab pertanyaan tersebut.” “Kenapa tidak kita coba saja ayahnda. Kita belum tau laki-laki ini bisa menjawab atau tidak. Lagian, aku tidak mengajukan syarat agar yang menjadi pasanganku kelak harus keturunan raja atau bermahkotakan intan permata.” Sambung sang putri. Mendengar tuturan anaknya, raja pun mulai luluh dan mulai memberikan kesempatan untuk menjawab pertanyaan itu. “Tapi ingat, kalau kamu salah, maka aku akan menghukummu seumur hidup lantaran kamu sudah berani menginjakkan kaki di tempat suci ini dengan penampilan seperti itu.” “Baik baginda!” sambungnya lagi
“Wahai putri, jika aku dimintakan untuk memetik bulan dan matahari sekaligus dalam satu waktu.  Maka aku tak akan pernah menolaknya. Akan kulakukan meski nyawa yang satu ini harus ku gadaikan pada malaikat maut sekalipun.” Seluruh istana tak berkutik. Laki-laki itu menjelaskannya penuh percaya diri. Dan aku ke sini dari negri matahari hanya untuk mempersuntingmu!” Bisik-bisik kecil mulai mencuat kembali. “Mana ada, pangeran matahari ke sini, mustahil.” “Lagian penampilannya juga sangat meragukan. Masih untung ia tampan, kalau tidak, mungkin ia sudah di depak sejak tadi oleh perajurit istana.” Sambung lainnya.
“Kapan dan dimanakah kalian bisa menemukan dua waktu yang berbeda bersatu dalam satu waktu?” apakah itu pertanyaannya putri, tanyanya.
Sang putri yang ditanyai hanya mengangguk dan tersenyum. Ia sudah klepek-klepek duluan sebelum ditanya.
“Di dunia ini hanya ada tiga masa yang berlainan : masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Dan di antara tiga masa itu hanya ada dua waktu yang berbeda : siang dan malam. Namun, keduanya dipisahkan dengan dua benda indah dan perkasa. Bulan yang indah dan dingin dilambangkan seperti seorang putri yang cantik jelita namun sepi lantaran ia sendiri. Sedangkan mentari, meski ia perkasa, kuat dan terik ia mempunyai jiwa pemimpin dan hangat. Ia bisa memberikan cahayanya hingga ke seluruh negri. Tidak, keseluruh alam semesta. Tak hanya hewan, tumbuhan dan manusia yang dapat menikmati hangatnya mentari tapi juga bintang, planet-planet bahkan benda mati pun begitu.
“Kau percaya bulan dan matahari bisa bersatu?” Lagi-lagi mereka terdiam. Tak ada yang menyahut apalagi menyanggah. Semua yang diucapkan laki-laki itu tepat dan masuk akal. “Apa kalian percaya bulan dan mentari bisa bersatu?” ulangnya lagi.
“Aku percaya” terdengar suara seseorang dari arah belakang. Semua penduduk langit menoleh. Mereka penasaran akan suara tersebut. Namun alangkah tekejutnya mereka tatkala menemukan tabib pribadi sang raja datang dan mendekati pemuda itu. Semuanya jadi tambah panas dan penasaran.
“Cepat katakan jawabannya, aku sudah gerah mendengar ocehanmu dari tadi yang berkepanjangan dan tidak penting sama sekali.” Potong sang raja. Laki-laki itu hanya tersenyum dan melirik sekali lagi ke arah sang putri. “Dua waktu yang berlainan dan tergabung dalam satu waktu adalah.... “Mendekatlah putri!” ucapnya lembut. Seolah di hipnotis tapi pasti. Sang putri pun beranjak dan mengkuti laki-laki aneh itu keluar. para penduduk langit tidak tinggal diam. Mereka sudah siap dengan pedang masih terhunus.
“Adalah waktu senja” lanjut sang laki-laki. “Ya, waktu senjalah yang mempertemukan bulan dan matahari dalam satu waktu. Matahari yang kuat dan perkasa dan bulan yang indah dingin bersatu tepat ketika senja tiba. Disitulah pergantian dua waktu yang berlainan. Meski hanya sesaat, mereka tetap pernah bersatu.” Mendengar jawaban sang laki-laki itu. Putri semakin yakin, kalau laki-laki inilah yang ia cari selama ini. Laki-laki inilah yang selalu datang menghantui tiap malamnya dan laki-laki ini tepat di hadapan kini.
Tanpa menunggu perintah. Sang putri merangkul laki-laki itu dengan hangat, seraya berbisik lembut “Kaulah pangeran yang selama ini ku tunggu.” Kemudian laki-laki itu berubah menjadi seorang pangeran yang tampan. Benar, ia adalah Pangeran Matahari. Wajahnya bersinar namun meyakinkan. Lalu, penduduk langit beralih ke arah tabib pribadi raja. Betapa terkejutnya mereka tatkala melihat raja matahari sedang tersenyum gagah ke arah mereka semua. “Hormat kami paduka Raja Matahari” seluruh penduduk langit pun bersujud tak terkecuali sang Raja Langit. “Maafkan hamba paduka Raja Matahari.” Kalau boleh saya tahu, mengapa anda menyamar menjadi seorang tabib dan menyembuhkan istri saya hingga ia bisa melahirkan?” tanya raja langit. “Karna aku percaya, hanya dengan ini aku bisa menyatukan dua waktu yang berlainan dalam satu waktu. Mulai sekarang, kita akan bersaudara. Sebab aku akan menikahkan putraku dengan putri Mendungmu. Tidak, maksudku putri Bulan.” Semuanya tersenyum dan bertepuk tangan. Raja dan ratu pun menerima lamaran itu dengan suka-cita. Raja menyadari akan kesalahannya selama ini. Ia terlalu berkuasa sampai ia tak mampu menyelam dan mengerti akan anak yang diagung-agungkannya selama ini. Dan kini, anaknya telah menguak kembali mata yang tlah lama tertutup akan kemegahan sesaat. Ya, kita tidak boleh menilai seseorang dari cover belaka. Jika ingin dipandang baik oleh siapa saja, maka berbaiklah kepada diri sendiri terlebih dahulu. Tidak selamanya yang bersisik itu ikan, dan tidak selamanya pula yang berpayung itu raja.

Beberapa tahun kemudia, Putri Bulan dan Pangeran Matahari melahirkan tujuh anak perempuan yang cantik-cantik jelita yang diberi nama Pelangi.

Google_Fhoto

Tuesday, September 2, 2014

“MERDEKA!!! AKU RINDU”

Terkadang apa yang kita harapkan tidaklah sesuai dengan apa yang kita dapat. Kepengen kaya malah dapat penghasilan pas-pasan, kepengen keluarga sempurna malah terlahir sebatang kara, yah.. seperti aku ini. TAKDIR? “Apa kau mempercayainya?”
Tahun 1948 adalah bukti bisu kelahiranku. PALESTINE, orangtuaku menamainya begitu. Punya paras yang cantik jelita, bahkan hampir menyaingi kecantikan Zulaikha, istri Yusuf as.”Kau tau? Bahkan dunia pun mengakui kecantikanku. Entahlah, kupikir aku biasa saja. Dua mata, dua telinga, dua tangan, dua kaki dan satu mulut, bagiku itulah CANTIK. Sebab cantik itu sendiri tidak harus dinilai hanya dengan sebuah pujian, bukan?” sayangnya, ceritaku tidaklah sebahagia Cinderella yang bertemu dengan pangeran Eric berkuda putih, atau cerita Putri Salju dengan 7 Kurcaci. Tidak, hidupku memang sulit namun tidak seambigu Buah Simalakama. ARAB, orang bilang itu ayahku. Mungkin benar, mungkin juga TIDAK karna sa’at ku terlahir, aku sudah sendiri dan mereka memanggilku dengan sebutan “YATIM” tak apa, aku terima. Sejak sa’at itu, aku tumbuh menjadi seorang gadis yang sehat, lucu dan menggemaskan. Mereka lagi-lagi cemburu, mereka lagi-lagi meninggalkanku, mereka dengan enteng malah membuang namaku jauh-jauh. Kubilang tak punya hati, mungkin saja benar. Tapi aku tidak sekejam itu. Mereka tetap saudara-saudaraku, walau hanya saudara tiri. Kata ibu mereka seluruhnya 21 orang, tapi hingga kini aku tak pernah menjumpai satupun di antara mereka. Jangankan menjengukku, kabar saja mereka tak bertanya.
Aku anak terakir dari tiga bersaudara. Abangku si anak tunggul pergi meninggalkanku pada 2003 lalu, dia ku panggil IRAK. Di sa’at aku masih ingin bermanja-manja dengan mereka, di sa’at itu pula aku harus kehilangan. Selang 8 tahun kemudian, Tuhan malah memanggil kakakku, SURIAH. Semakin sendiri aku, semakin sepi hatiku. Tapi aku tidak mengeluh, aku mencoba bangkit dengan sisa-sisa airmata yang masih bersisa. Aku, Palestine tak pernah mau kalah pada keadaan.
Meski aku tinggal sendiri, aku tetap menantang langit dengan tegak, walau terseok-seok aku tetap berjalan. Hingga Tuhan memberitahukan alamat seseorang yang kelak bisa membimbingku di jalan-Nya. Yah, aku menikah juga. Dan aku bisa menatap pelangi dari jauh walau jalanan masih menanggal basah. Tak lama setelah itu, aku melahirkan seorang putri, REVOLUSI namanya. Lengkaplah sudah kebahagiaan keluarga kecil kami. Walau tanpa makan, kami tetap bisa tersenyum sebab Allah menitipkan kunci kebahagiaan di tengah-tengah kami. Si buah hati.
Suatu hari, kami benar-benar sekarat. Anakku, Revolusi mulai sakit-sakitan. Ternyata kunci yang dititipkan itu tidak lah bertahan lama, entah karna kami kurang bersyukur atau karna kami jarang merawat kunci itu, hingga ia berkarat. Suamiku datang menemui ayah tiriku, AMERIKA. Meski dengan bermodalkan muka tembok, dia tetap bersikukuh untuk sekedar meminta beberapa recehan. “Taukah engkau?” di sana suamiku tak mendapat apa-apa selain pukulan dan hinaan. Mereka menghina suamiku lantaran menikah, hanya bermodalkan nekat, tanpa penghasilan. Mereka bahkan dengan tega membunuh suamiku yang tak bersalah dan mengirimkan jasadnya di hadapanku.
Innalillahi wa inna ilaihi raji’un…                               
Itulah mereka, ayah tiri dan anak-anaknya yang tak punya hati nurani. Sejak kepergian suami, mau tak mau aku harus berperan ganda. Menjadi ibu sekaligus tulang punggung buat puriku, Revolusi. Aku masih belum menyerah. Kukumpulkan lagi harapan yang masih tersisa, lalu kucoba bangun semangat baru dengan susah payah. Tapi, itu tidak bertahan lama. Sebab keluarga tiriku kini mulai turun ke desa-desa. Saudara-saudaraku dengan nekat melancarkan aksinya melalui pengeboman besar-besaran. Teriakan demi teriakan mulai membahana tempat tinggalku, GAZA. Tak jarang, jika aku juga saudara-saudara yang bernasib sama denganku semakin tersiksa. Mereka terus membabi buta tanpa henti, hingga anak-anak tak berdosa kerap kali menjadi korban kekejaman.

Allahu akbar… aku sudah tak kuat lagi, jika engkau memanggilku kini, aku sudah ikhlas, tapi kumohon, wujudkanlah keinginan terbesarku untuk MERDEKA.

Sumber : Firdaus Maulana photos

Friday, August 1, 2014

(Bukan) Cerita Perpisahan

Bolehkah aku menangis sebentar?
Ah… untuk apa meminta izin padamu! Bukan kah Tuhan-ku menciptakan airmata ini geratis? Bahkan tak perlu meminta izin bila ingin menumpahkannya sesuka hati.
Baiklah, kalau begitu, aku akan menangis. Tak peduli seberapa banyak airmata yang kukeluarkan nantinya. Tak peduli seberapa banyak ingus berceceran pula. Tidak, aku tidak peduli. Yang terpenting hanyalah AKU INGIN MENANGIS, TITIK.
Apa kamu yakin ingin mengetahui penyebab aku menangis?
Tentu saja jawabannya IBU… IBU…IBU… dan AYAH-ku.
Jum’at tepat tanggal 1 agustus 2014. Aku tak kuasa menahan titik kristal itu tumpah, bukan karna ada mendung. Namun titik itu, justru mengenai tepat di wajahku pada pukul 12 siang. Panas sekaligus terik bercampur jadi satu. Semua dikarenakan aku melihat sendiri bagaimana pengorbanan ibu.
Setelah sebulan penuh bergulat dengan kulit tebu dan kulit buah pala. Aku ingin sekali membantunya, tapi entah kenapa. Aku hanya bisa mematung menatap punggung beliau yang mulai agak bungkuk.
Pernah ketika beliau mengupas kulit-kulit tebu, jari kelingking sebelah kirinya hampir saja putus. Allahu akbar, darah segar mengalir dan mengenai baju oblong lusuh yang beliau kenakan. Aku masih saja diam, tapi sebisa mungkin ku seret tubuh ini tuk gantikan tugasnya.
“Nyan sek teube beuget-get neuk, bek sempat putoh jaro lage mak.” (Kupas tebunya hati-hati nakk, jangan sampai putus jemari seperti mamak). Kurasakan air mukaku berubah panas, aku hanya mengangguk tanpa suara.
Sejak air pet tidak pernah mengalir ke rumah hampir sebulan lamanya, kami sekeluarga memutuskan untuk “seumeurah bak krung”[1]. Pun begitu siang ini, ibu membawa pakaian-pakaian adik yang sudah dicuci sebelumnya, di “Lhung”[2] tepatnya di daerah desa Geunteng , memasuki jalan Rimeh, yang terletak di lorong sebelah kanan dari rumahku sekitar ±3 Km bila mengendarai motor.
Aku pun membantu membawakan pakaian-pakaian yang sudah dibilas bersih itu ke rumah dengan mengendarai Mio metik. Meski 3x bolak-balik dari Lhung, tak membuat aku lelah dan gerah. Justru sebaliknya, aku ingin terus dan terus melakukannya, lagi-lagi.
Meskipun begitu, ibu yang biasa ku panggil dengan sebutan mamak itu tak pernah mengatakan “Ah, BOSAN!!!” atau “Gak Kuat Lagi” atau “Cape dehhhh!!!” tidak, itu hanya kata-kata yang justru aku dan adik-adikku pakai sehari-hari. “Mak, bentar lagi lah! Lagi seru nih pilemnya.” Allahu akbar. Inikah dunia?
Tapi, lagi-lagi aku salut pada mamak. Walau tubuh mulai remuk redam tersengat matahari, rambut beruban hampir di seluruh kepala, beliau masih sanggup berteriak hingga ketinggian 4 octaf dengan ketajaman suara hingga mencapai 40 rumah warga kiri-kanan, depan-belakang.
Beruntung sekali bila mamak seperti itu tiap bulan ramadhan, sehingga panitia masjid tidak perlu repot-repot membangunkan warga untuk segera bersahur. Ngitung-ngitung nambah lading pahala. hehe
Mamak memang hebat. Tapi ayah juga hebat, kok.
Bagaimana tidak? Setiap harinya, beliau ke gunung untuk memetik buah pala yang masih mentah. Terkadang dapat 2 bambu beliau jual dan uangnya beliau pakai untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Jangan heran kalau anak-anaknya segedek gini, terutama si AKU. Percaya gak percaya, inilah faktanya.
Sementara siangnya, ba’da zuhur, beliau bersiap-siap untuk memerah air tebu dengan mesin penggiling yang beberapa waktu lalu beliau bawa pulang dari touke Cina, dan itu tetap Gak Gratis. Begitulah setiap harinya…
Hingga hari ini, hari dimana aku terakir bersama mereka. Menikmati teriakan-teriakan yang terkadang terdengar dari arah belakang, dari arah dapur dan tiba-tiba sudah muncul di balik pintu kamar lantai atas. “Nawraaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa” “paaaaaaapaaaaaaaaatttttttttttttt!!! Tron keuno, rah pingan dile.”[3] “Get mak!” sahut kami serentak.[4]
Itulah mamak dan ayahku. sa’at-sa’at seperti inilah, aku ingin sekali berlama-lama di rumah, mendengar omelan-omelan mereka yang sering bersahut-sahutan. Aku tak pernah membantah, walau sering juga merasa kuwalahan sendiri. Ini dan itu harus dilakukan sekaligus.
 Selama sebulan penuh, aku sudah hafal semua kata-kata yang mamak ucapkan bila aku tak melihat apa yang aku cari. “Geunging ngon mata bek ngen babah. Keupeu cit guna mata, meunyo hana teu pakek.”[5] Begiku itu adalah menu ternikmat di pagi hari setelah telor ceplok yang bikin eneuk.
Kini, sa’atnya aku kembali ke Banda Aceh. Melanjutkan mimpi yang sempat tertunda, berperang dengan final yang tinggal empat matakuliah lagi serta berkutat dengan anak-anak yang sudah lama tak pernah bersua. Aku rindu mereka. “Ummi rindu kalian, Nak!”.
Aku tak tau. Apakah setelah hari ini aku masih bisa mendengar celoteh-celoteh mamak yang membahana badai halilintar ala-ala syagheni atau… ah sudah lah. Tak ingin melanjutkan lagi. Semoga ramadhan tahun depan, Allah masih memberiku kesempatan untuk kembali mendengar nyanyian pengantar tidur itu.
Love Ayah & Mamak Banyak2
:* :* :*

“Mak, kakak dan adik sayang mamak.”
“ Yah… kakak dan adik juga sayang ayah.”
“Semoga tahun depan, Rha masih bisa menjadi putri tebu.”





[1] Nyuci di sungai
[2] Parit kecil di sepanjang jalan pedesaan Geunteng terbuat dari semen dengan aliran air dari gunung.
[3] Nawra, fafat, turun ke bawah sini, cuci piring dulu.
[4] Baik mak.
[5] Lihat tuh pakai mata, jangan pakai mulut. Untuk apa punya mata kalau gak digunakan.

Monday, July 28, 2014

Curhat Ramadhan Vs Lebaran I'ed

Allahu Akbar... Allahu Akbar... Allahu Akbar...
Laa ila haillallaahu Allaahu Akbar, Allahu Akbar walillahilhamdu.
            Alhamdulillah, ramadhan sudah berlalu. Ada banyak cerita yang tak pernah terlupa di sana. Bahkan di sa’at-sa’at terakir perjumpaan dengan ramadhan, ada rasa kehilangan yang amat sangat menyayat. Mudah-mudahan Allah Swt. Mempertemukan lagi dengannya tahun depan. Amien...
***
            Aku menulis ini tepat setelah bersilaturrahmi ke rumah nenek, siang senin. Rasanya sangat hambar bila moment berharga seperti ini tidak diabadikan. Karna saya tak punya camera L-300 (baca: C-60) maka saya abadikan moment ini dalam sebuah tulisan. Apakah tulisan ini layak dikonsumsi  atau tidak, entahlah. Kalian yang akan menilai.
Bisa dibilang ramadhan kali ini, aku sangat beruntung. Sebab aku bisa melakukan apa saja yang tidak aku lakukan di tahun-tahun sebelumnya. “PUTRI TEBU” adalah gelar yang kusemat sendiri, bukan karna aku semanis tebu atau selangsing pucuknya. Tidak, itu sama sekali bohong. Tapi, aku menyebut putri tebu karna aku adalah anak perempuan si penjual tebu. Menarik bukan? Yah, aku tak pernah malu mengatakan sebenarnya. Sebab aku bangga dengan pekerjaan itu. selama masih halal dan tayyib mudah-mudahan Allah ridha. Setiap harinya aku selalu duduk menemani ayah menjual air tebu, walau terkadang mamak juga sering nangkring menggantikan posisiku. Tapi yang jelas, kalau aku tidak menjual air tebu hari itu bukan karna aku MALU, namun lebih tepatnya aku gantiin posisi mamak di dapur. Hehe...
Begitulah hari-hariku selama ramadhan, di samping itu, aku juga melaksanakan kewajiban-kewajiban lainnya. Seperti target di pohon ramadhan yang sudah aku tanam sejak awal bulan lalu. Alhamdulillah, sedikit banyak aku sudah memanen beberapa buah segar, meski masih ada beberapa yang kecut, lantaran aku masih sering lalai dan lupa.
Tepat malam minggu, akhirnya takbir itu pun memecah kesunyian malam. Sayangnya hanya sesa’at. Bahkan di sebagian pelosok desa, masih banyak yang melaksanakan shalat teraweh. Kebimbangan dan keraguan mulai mengguluti perasaan anak adam satu-satu, tak bisa dipungkiri, bahwa sebagian mereka mulai kecewa lantaran dapat informasi lebaran di tunda senin pagi. Begitu juga dengan kami sekeluarga. Aku, adik-adik juga kedua orangtuaku masih melaksanakan sahur pukul 04.00, yah, kami masih beranggapan bahwa lebaran benar-benar ditunda. Hingga sa’at shubuh keadaan kembali berubah.  Mamak memutar chanel entah dimana, lalu ia melihat rapat nisbat akan keputusan penetapan lebaran. Wal hasil, kami kembali tersenyum, sebab di daerah kami lebaran pun kembali dirayakan. Alhamdulillah...
Pagi-pagi buta, setelah shalat shubuh, kami meluncur ke sungai untuk membersihkan badan sekaligus niat mandi lebaran. Bukan karna musim kemarau panjang tiba, tapi lebih karna sumber air bersihnya meledak. Jadi kami memanfa’atkan sungai sebagai sumber air untuk kebutuhan sehari-hari. Sudah beberapa minggu lalu aku dan keluarga mandi alakadarnya. Bahkan tak jarang kami selalu menunda semua kegiatan yang bisa menguras banyak air  hingga 2-3 hari, namun untuk MAKAN itu NOMOR 1 :D
Pulang dari sungai, takbir pun kembali bergema. Setelah semua siap, kami sekeluarga berangkat ke masjid lebih cepat dari biasanya dan kami sekeluarga beruntung sebab mendapatkan shaff paling depan dan paling nyaman. Dari sepanjang tahun ini, ramadhan dan lebaran 2014 lah yang paling berkesan. Aku bisa berbagi, meski itu hanya sedikit...


Friday, July 18, 2014

BILA HATI RINDU M*****H

“Nawra, mengapa kau tega melakukan ini padaku? Mengapa kau khianati perasaan yang selama ini kusimpan untukmu?” ucap seseorang yang tak kukenal wujudnya.
“Maksudnya apa, mengapa engkau menyalahkan aku seperti ini? Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Kapan, dimana?” pertanyaan itu terus bergerilya dalam otakku, melayang-layang seperti anai diterbangkan tornado. “Sudahlah, aku mending pergi saja. Toh tanpaknya kau sudah melupakanku.” “Hey, tunggu? Mengapa engkau tidak menjawab pertanyaanku? Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” Orang itu hanya tersenyum hambar lalu pergi meninggalkanku dengan ribuan tanya. (Siapa dia, dari mana asalnya, mengapa ia mengenaliku, kapan aku melihatnya).
Aku tersentak ketika alarm Hp membangunkan. Kulirik jam dinding tepat pukul 03.00 dini hari. “Apa artinya?” Sesaat lamanya, pikiranku masih saja kosong, kurasa rohku belum sepenuhnya kembali. Tapi aku masih penasaran dengan mimpi itu, mimpi aneh namun terlihat nyata. Sesegera mungkin kutepiskan perasaan itu jauh-jauh, ku seret tubuhku hingga sampai di kamar mandi. Setelah berwudhu’, aku pun mendirikan shalat qiyamul lail [1]dua raka’at disertai shalat witir. Pikirku melayang, aliran darahku meletup-letup deras pun begitu dengan jantungku, berdetak hebat namun tak beraturan. Aku masih saja dihantui oleh sosok makhluk yang tak ku tau asal-usulnya. “Siapa dia?” Setelah semuanya selesai, aku pun kembali tidur, masih dua jam lagi waktu shubuh. Perasaanku kembali tak karuan ketika mimpi itu datang lagi dan terus berlanjut. “Aku hadir lagi bukan? Jangan takut, aku tak kan menelanmu bulat-bulat. Aku hanya ingin mengingatkan saja. Jangan terlalu larut dalam perasaan semu seperti ini, nanti kamu sakit hati dan takkan berhenti menangis. Bukankah  cinta hadir tanpa devenisi? Jika aku tak memikirkan perasaanmu di sini, mana mungkin aku berani menegurmu, Nawra.”
“Kamu siapa? Please kali ini jangan acuhkan diriku.” “Ah, kamu ini masih terlalu dini untuk mengetahui siapa aku. Yang jelas, aku akan datang bila engkau mulai bertingkah macam-macam. Sudahlah, jangan kau pikirkan lagi orang-orang di luar sana, bukankah engkau sudah punya aku? Jika sudah tiba waktunya kelak, akulah yang akan menjemputmu.” “Mengapa engkau menghantui tidurku terus-menerus? Apa untungnya dirimu? Mengapa tak kau tunjukan saja siapa kamu sebenarnya. Aku tak bisa melihat jelas wajahmu. Aku penasaran.” “Sudah ku katakan, engkau masih terlalu polos Nawra, bila waktunya tiba, kau akan mengetahui semua itu dengan sendirinya.” “Tapi aku ingin tau lebih banyak lagi tentangmu?” “Engkau akan tau leih cepat, bila engkau lebih bersabar lagi.”
Deg... ada perasaan aneh yang menamparku keras. “Apa-apaan ini, siapa sih dia? Mengapa seenaknya ngomong begitu? Apa haknya coba?”
 Entah dari mana datangnya hawa dingin menusuk sum-sum, yang jelas aku merasakan kehadiran seseorang yang begitu lekat dan dekat.” “Aku pergi dulu ya, kapan-kapan aku akan datang lagi.” Tak lama setelah itu, seburat cahaya terang di hadapku mulai memudar dan menjauh.
Allaahu akbar.. allaahu akbar...
Allaahu akbar.. allaahu akbar...
Sayup-sayup aku mendengar azan shubuh mulai bergema. Begitu cepat waktu berlalu. Ku lihat Mery, sepupuku masih terlelap dengan mimpi indahnya, aku pun tak berniat membangunkan, sebab ia lagi ma’dhurah.[2]
Shalat shubuh jadi lebih ringan dan menyenangkan dari sebelumnya, kurasakan, bacaan al-matsurat juga tak luput dari lalapanku pagi itu. Senang, aku seperti telah menemukan semangat baru. Hatiku selalu saja mendesak dan mendorongku untuk melakukan lagi dan lagi. Aku bersyukur.
Namun keanehan lain mulai merajai hariku beberapa minggu kemudian, tepatnya ketika giliranku tak bisa shalat. Kau tau? Sejak itu juga aku mulai menghabiskan waktu di tempat tidur. Bukan karna aku sakit, bukan karna bisulan, bukan karna , bukan karna sebab-akibat. Tapi, aku merindui orang itu. Orang aneh yang masih menanggalkan ribuan tanya dalam diri, orang yang selalu mengingatkanku agar jangan terlarut dalam perasaan semu, orang yang gak mau menjawab pertanyaanku hanya karna aku akan tau sendiri kelak. Orang yang... begitu, aku rindukan. “Hey, kemana saja selama ini? Kok aku gak pernah melihat sosok tiba-tibamu sepanjang minggu?.” “Kenapa emang? Bukankah aku gak terlalu penting?” Oops, entah apa yang ada dibenakku saat ini, pernyataan itu meluncur dengan lihainya, aku mulai gelisah, takut-takut ia menangkap rona kepiting rebus di wajahku. “Iya, aku juga merindukanmu, bahkan sebelum engkau ada sekalipun. Aku juga merindukan sosokmu juga sebelum engkau menjadi ibu buat anak-anakku, aku juga merindukanmu bahkan ketika engkau niat untuk menutup auratmu dari ujung rambut hingga  ujung kaki, iya aku juga merindukanmu menjadi guru buat anak-anak yang akan kau didik kelak, aku juga merindukanmu sebagai seorang istri yang akan membahagiakan suaminya, aku merindukanmu sebagai orang yang pantas dirindukan.” Hening. Bahkan nyamuk pun enggan mengusik. Kata-kata itu jelas terekam dalam memory jangka panjangku. Aku benar-benar luluh dibuatnya. “Tapi..” ia kembali melanjutkan kalimatnya, setengah gantung. “Tapi apa?” tanyaku mengejar. “Mari kita duduk di sana, sepertinya urat-urat ototku mulai putus satu-satu, aku pegal.” Ia menujukkan sebuah bangku panjang yang bertengger rapi di bawah pohon flamboyan. Aku hanya mengekor seperti anak ayam dengan induknya. 

“Tapi apa?” aku kembali melemparkan tanya yang sebelumnya sudah kutanyakan. “Tapi, apa aku bisa mengharapkanmu seperti itu? Apa engkau wanita yang selama ini kutunggu? Apakah engkau juga yang akan melengkapi pasangan rusukku? Aku sebenarnya masih bimbang dengan apa yang ada dibenakmu, tapi aku tak kan bisa diam bila ku melihatmu..., ah sudah, jangan paksa aku lagi. Sekarang bangunlah, baiknya jangan temui aku lagi bila engkau belum siap.”
Dia pergi lagi... hey seenaknya saja kau gantungkan ucapmu, kau pikir aku pohon pinang. Kau pikir aku beringin atau justru kau berpikir aku ini pohon karet. Seenaknya kau ambil getahnya dan ketika aku mulai tertempel, engkau malah pergi. Aku gak terima, aku ingin kau datang langsung. Jangan jadi pengecut. Aku benci orang-oranag pengecut, aku benci kamuuuuuuuu.” Sontak aku terjaga dari malamku, matahari pun mulai beranjak setengah galah, apa ini. Apa dia mempermainkanku lagi. Kembali kata-kata itu menari-nari dalam otakku. Ribuan tanya terus bertambah, bertambah dan bertambah bergumpal seperti lilitan benang yang mulai awut-awutan, sialnya tak satupun jawaban masuk akal yang kudapat.
Aku memilih mengurung diri di kamar, mumpung gak kuliah, gak ngajar dan gak nafsu jalan-jalan. Lagi-lagi kata ajaib itu mulai bisa ku hafal. “Apa maksudnya?” lamunan tanpa ujung pun membawaku kembali ke alam bawah sadar.
“Aku tak ingin mengganggu hidupmu, tapi jujur. Aku tak ingin melihatmu lagi. Aku mau ini yang terakir. Jangan pernah datang lagi.” (Setetes bening tumpah). “Apa aku mulai tidak waras? Bagaimana mungkin aku jatuh hati pada sosok yang tak ku tau bagaimana bentuknya. Bagaimana mungkin aku langsung terpikat hanya karna ia sering datang dalam mimpiku. Bagaimana mungkin aku mulai suka akan sikap misterinya yang datang dan pergi tiba-tiba. Bagaimana mungkin aku masih dibilang waras ketika yang kualami justru berputar 180 derajat. “Apa yang harus kulakukan kini?”
Malam itu, aku tak ingin terlelap sama sekali. Kupaksakan kelereng hitam itu tetap melek meski berulang kali menguap. Aku tak peduli. Aku terus membaca apapun itu yang bisa menghentikan mata ini untuk tidak terlelap. Terkadang aku ikutan tertawa bila ada kata-kata yang menurutku lucu dan itu sedikit membantu mataku kembali terkuak. Akirnya, aku kalah. Kalah oleh rayuan tempat tidur yang siap melambungkan mimpi-mimpi itu kembali. Aku kalah, mata itu tetap saja terkatup mesti aku telah menanggalnya dengan linggis sekalipun. Pertahanan ku luluh, aku juga manusia yang butuh istirahat untuk kembali segar dan beraktivitas kembali esoknya. “Terserah, yang penting aku ingin tidur.”
Huam... huam... huam... aku terbang bersama mimpi itu lagi. “Jangan terlalu memaksakan diri, nanti sakit.” Tak ada respon. Hening. Kembali sunyi.”Iya aku mengaku salah, tapi aku tak sanggup bila engkau terus-terusan memaksa seperti ini.” Masih saja hening. “Oke-oke, baiklah. Aku akan ceritakan semua. Tapi engkau harus berjanji padaku. Agar engkau tetap beristiqamah.” “Maksudnya?” hanya itu yang terdengar balik dari mulutku. “Begini Nawra, selama kita belum mahram. Baiknya kita menjaga jarak dulu. Jangan kawatiri aku. Aku tidak akan pergi kok.” “Aku gak ngerti kamu bilang apa?” “Sebenarnya aku tau apa yang ada dipikiranmu kini, aku tau kau juga sedang menyukai seseorang, sedang memendam rindu yang menggebu dan aku juga tau di mana ia kini.” 
Deg, jantung itu terus berpacu lebih kuat. Aku ingin terjaga lebih cepat, tak ingin mendengar kata-kata selanjutnya. Bangun, ku mohon bangunlah. Terbukalah mata, terjagalah, aku tak ingin mendengarnya. Atau lebih baik aku tuli saja sekalian. Kumohon. Aku tak ingin mendengarnya. “jangan dilanjutkan lagi, aku sudah tau.” “Bukankah kemaren engkau selalu mendesakku, bukankah kau juga mengacuhkanku hanya karna aku slalu menggantungkan kata-kata, bukankah kau juga tak ingin menemuiku lagi hanya karna kau punya rasa terhadapku.” “Cukup-cukup, aku tak ingin mendengarnya lagi.” “Baiklah, aku akan menjawabnya kini, menjawab semua tanya yang slama ini mengganggumu. Aku akan jawab semuanya tanpa terkecuali, sekaligus ini pertemuan terakir kita seperti inginmu.”
Setitik gerimis mulai berjatuhan...
“Nawra, aku tak ingin mengulanginya kedua kali. Jadi dengarlah baik-baik.”
Malam...
Jika engkau sanggup memulihkan dukanya, maka aku akan berterimakasih.
Langit jika engkau sanggup menutupi sendunya maka aku akan berterimakasih.
Bulan jika engkau bisa mengelabui tangisnya maka aku akan berterimakasih.
Bintang jika engkau mau menghiburnya maka aku akan berterimakasih.
Bukan...bukan aku pengecut atau tak peduli.
Tidak... itu tidak benar.

Aku tau aku masihlah bodoh soal itu.
Aku bukan malaikat yang berhati suci, bukan peri dalam dongeng-dongeng sebelum tidur.
Aku bisa saja mengusap airmatanya ketika berlinang dan terjatuh, bisa saja ku mendekapnya ketika ia membutuhkan kehangatan, bisa saja menenangkan ia ketika ia terluka.

Bisa... aku bisa melakukannya.
Tapi aku malu pada-Nya, aku malu pada Maha Raja langit dan bumi.
Bagaimana mungkin aku menyentuhnya sedang aku belum mengikatnya.
Bagaimana mungkin aku menggandengnya sedang ia masih terpagar.
Bagaimana mungkin aku memboncenginya sedang ia bukan mahramku.

Aku malu...
Aku sangat malu.
Tapi aku tak kuasa bila terus melihatnya sendu dan pilu.
Aku tau itu adalah kelemahanku, aku sadar kalau itu ujian imanku.
Tapi, aku... aku akan  tetap menjadi bayangannya...
Aku akan terus menjadi bias wajahnya...
Ku harap ia tak pernah berpaling lagi.

Aku telah berjanji pada-Nya, aku akan datang dalam nyata.
Aku akan menjemputnya dalam do’a, aku akan mengkhitbahnya dalam usaha.
Meski aku jauh, meski aku belum berwujud, meski aku sendiri tak tau dimana.
Aku akan datang, membawanya menjadi permaisuriku, membawanya menjadi pelengkap kurangku, membawanya membangun masjid di jannah-Rabbku.
Bersabarlah...
One day in beuatiful day



[1] Shalat tahajud.
[2] Datang bulan, ini dimiliki oleh setiap wanita, biasanya 1-7 hari/ bulan.