“Nawra, mengapa kau tega
melakukan ini padaku? Mengapa kau khianati perasaan yang selama ini kusimpan
untukmu?” ucap seseorang yang tak kukenal wujudnya.
“Maksudnya apa, mengapa engkau menyalahkan aku seperti ini? Apa
kita pernah bertemu sebelumnya? Kapan, dimana?” pertanyaan itu terus bergerilya
dalam otakku, melayang-layang seperti anai diterbangkan tornado. “Sudahlah, aku
mending pergi saja. Toh tanpaknya kau sudah melupakanku.” “Hey, tunggu? Mengapa
engkau tidak menjawab pertanyaanku? Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” Orang
itu hanya tersenyum hambar lalu pergi meninggalkanku dengan ribuan tanya.
(Siapa dia, dari mana asalnya, mengapa ia mengenaliku, kapan aku melihatnya).
Aku tersentak ketika alarm Hp membangunkan. Kulirik jam dinding
tepat pukul 03.00 dini hari. “Apa artinya?” Sesaat lamanya, pikiranku masih
saja kosong, kurasa rohku belum sepenuhnya kembali. Tapi aku masih penasaran
dengan mimpi itu, mimpi aneh namun terlihat nyata. Sesegera mungkin kutepiskan
perasaan itu jauh-jauh, ku seret tubuhku hingga sampai di kamar mandi. Setelah
berwudhu’, aku pun mendirikan shalat qiyamul lail dua
raka’at disertai shalat witir. Pikirku melayang, aliran darahku meletup-letup
deras pun begitu dengan jantungku, berdetak hebat namun tak beraturan. Aku
masih saja dihantui oleh sosok makhluk yang tak ku tau asal-usulnya. “Siapa
dia?” Setelah semuanya selesai, aku pun kembali tidur, masih dua jam lagi waktu
shubuh. Perasaanku kembali tak karuan ketika mimpi itu datang lagi dan terus
berlanjut. “Aku hadir lagi bukan? Jangan takut, aku tak kan menelanmu
bulat-bulat. Aku hanya ingin mengingatkan saja. Jangan terlalu larut dalam
perasaan semu seperti ini, nanti kamu sakit hati dan takkan berhenti menangis.
Bukankah cinta hadir tanpa devenisi?
Jika aku tak memikirkan perasaanmu di sini, mana mungkin aku berani menegurmu,
Nawra.”
“Kamu siapa? Please kali ini jangan acuhkan diriku.” “Ah,
kamu ini masih terlalu dini untuk mengetahui siapa aku. Yang jelas, aku akan
datang bila engkau mulai bertingkah macam-macam. Sudahlah, jangan kau pikirkan
lagi orang-orang di luar sana, bukankah engkau sudah punya aku? Jika sudah tiba
waktunya kelak, akulah yang akan menjemputmu.” “Mengapa engkau menghantui
tidurku terus-menerus? Apa untungnya dirimu? Mengapa tak kau tunjukan saja
siapa kamu sebenarnya. Aku tak bisa melihat jelas wajahmu. Aku penasaran.”
“Sudah ku katakan, engkau masih terlalu polos Nawra, bila waktunya tiba, kau
akan mengetahui semua itu dengan sendirinya.” “Tapi aku ingin tau lebih banyak
lagi tentangmu?” “Engkau akan tau leih cepat, bila engkau lebih bersabar lagi.”
Deg... ada perasaan aneh yang menamparku keras. “Apa-apaan ini,
siapa sih dia? Mengapa seenaknya ngomong begitu? Apa haknya coba?”
Entah dari mana datangnya
hawa dingin menusuk sum-sum, yang jelas aku merasakan kehadiran seseorang yang
begitu lekat dan dekat.” “Aku pergi dulu ya, kapan-kapan aku akan datang lagi.”
Tak lama setelah itu, seburat cahaya terang di hadapku mulai memudar dan
menjauh.
Allaahu akbar.. allaahu akbar...
Allaahu akbar.. allaahu akbar...
Sayup-sayup aku mendengar azan shubuh mulai bergema. Begitu cepat
waktu berlalu. Ku lihat Mery, sepupuku masih terlelap dengan mimpi indahnya, aku
pun tak berniat membangunkan, sebab ia lagi ma’dhurah.
Shalat shubuh jadi lebih ringan dan menyenangkan dari sebelumnya,
kurasakan, bacaan al-matsurat juga tak luput dari lalapanku pagi itu. Senang,
aku seperti telah menemukan semangat baru. Hatiku selalu saja mendesak dan
mendorongku untuk melakukan lagi dan lagi. Aku bersyukur.
Namun keanehan lain mulai merajai hariku beberapa minggu kemudian,
tepatnya ketika giliranku tak bisa shalat. Kau tau? Sejak itu juga aku mulai
menghabiskan waktu di tempat tidur. Bukan karna aku sakit, bukan karna bisulan,
bukan karna , bukan karna sebab-akibat. Tapi, aku merindui orang itu. Orang
aneh yang masih menanggalkan ribuan tanya dalam diri, orang yang selalu
mengingatkanku agar jangan terlarut dalam perasaan semu, orang yang gak mau
menjawab pertanyaanku hanya karna aku akan tau sendiri kelak. Orang yang...
begitu, aku rindukan. “Hey, kemana saja selama ini? Kok aku gak pernah melihat
sosok tiba-tibamu sepanjang minggu?.” “Kenapa emang? Bukankah aku gak terlalu
penting?” Oops, entah apa yang ada dibenakku saat ini, pernyataan itu meluncur
dengan lihainya, aku mulai gelisah, takut-takut ia menangkap rona kepiting
rebus di wajahku. “Iya, aku juga merindukanmu, bahkan sebelum engkau ada
sekalipun. Aku juga merindukan sosokmu juga sebelum engkau menjadi ibu buat
anak-anakku, aku juga merindukanmu bahkan ketika engkau niat untuk menutup
auratmu dari ujung rambut hingga ujung
kaki, iya aku juga merindukanmu menjadi guru buat anak-anak yang akan kau didik
kelak, aku juga merindukanmu sebagai seorang istri yang akan membahagiakan
suaminya, aku merindukanmu sebagai orang yang pantas dirindukan.” Hening.
Bahkan nyamuk pun enggan mengusik. Kata-kata itu jelas terekam dalam memory
jangka panjangku. Aku benar-benar luluh dibuatnya. “Tapi..” ia kembali
melanjutkan kalimatnya, setengah gantung. “Tapi apa?” tanyaku mengejar. “Mari
kita duduk di sana, sepertinya urat-urat ototku mulai putus satu-satu, aku
pegal.” Ia menujukkan sebuah bangku panjang yang bertengger rapi di bawah pohon
flamboyan. Aku hanya mengekor seperti anak ayam dengan induknya.
“Tapi apa?” aku kembali melemparkan tanya yang sebelumnya sudah
kutanyakan. “Tapi, apa aku bisa mengharapkanmu seperti itu? Apa engkau wanita
yang selama ini kutunggu? Apakah engkau juga yang akan melengkapi pasangan
rusukku? Aku sebenarnya masih bimbang dengan apa yang ada dibenakmu, tapi aku
tak kan bisa diam bila ku melihatmu..., ah sudah, jangan paksa aku lagi.
Sekarang bangunlah, baiknya jangan temui aku lagi bila engkau belum siap.”
Dia pergi lagi... hey seenaknya saja kau gantungkan ucapmu, kau
pikir aku pohon pinang. Kau pikir aku beringin atau justru kau berpikir aku ini
pohon karet. Seenaknya kau ambil getahnya dan ketika aku mulai tertempel,
engkau malah pergi. Aku gak terima, aku ingin kau datang langsung. Jangan jadi
pengecut. Aku benci orang-oranag pengecut, aku benci kamuuuuuuuu.” Sontak aku
terjaga dari malamku, matahari pun mulai beranjak setengah galah, apa ini. Apa
dia mempermainkanku lagi. Kembali kata-kata itu menari-nari dalam otakku.
Ribuan tanya terus bertambah, bertambah dan bertambah bergumpal seperti lilitan
benang yang mulai awut-awutan, sialnya tak satupun jawaban masuk akal yang
kudapat.
Aku memilih mengurung diri di kamar, mumpung gak kuliah, gak ngajar
dan gak nafsu jalan-jalan. Lagi-lagi kata ajaib itu mulai bisa ku hafal. “Apa
maksudnya?” lamunan tanpa ujung pun membawaku kembali ke alam bawah sadar.
“Aku tak ingin mengganggu hidupmu, tapi jujur. Aku tak ingin
melihatmu lagi. Aku mau ini yang terakir. Jangan pernah datang lagi.” (Setetes
bening tumpah). “Apa aku mulai tidak waras? Bagaimana mungkin aku jatuh hati
pada sosok yang tak ku tau bagaimana bentuknya. Bagaimana mungkin aku langsung
terpikat hanya karna ia sering datang dalam mimpiku. Bagaimana mungkin aku
mulai suka akan sikap misterinya yang datang dan pergi tiba-tiba. Bagaimana
mungkin aku masih dibilang waras ketika yang kualami justru berputar 180
derajat. “Apa yang harus kulakukan kini?”
Malam itu, aku tak ingin terlelap sama sekali. Kupaksakan kelereng
hitam itu tetap melek meski berulang kali menguap. Aku tak peduli. Aku terus
membaca apapun itu yang bisa menghentikan mata ini untuk tidak terlelap.
Terkadang aku ikutan tertawa bila ada kata-kata yang menurutku lucu dan itu
sedikit membantu mataku kembali terkuak. Akirnya, aku kalah. Kalah oleh rayuan
tempat tidur yang siap melambungkan mimpi-mimpi itu kembali. Aku kalah, mata
itu tetap saja terkatup mesti aku telah menanggalnya dengan linggis sekalipun.
Pertahanan ku luluh, aku juga manusia yang butuh istirahat untuk kembali segar
dan beraktivitas kembali esoknya. “Terserah, yang penting aku ingin tidur.”
Huam... huam... huam... aku terbang bersama mimpi itu lagi. “Jangan
terlalu memaksakan diri, nanti sakit.” Tak ada respon. Hening. Kembali
sunyi.”Iya aku mengaku salah, tapi aku tak sanggup bila engkau terus-terusan
memaksa seperti ini.” Masih saja hening. “Oke-oke, baiklah. Aku akan ceritakan
semua. Tapi engkau harus berjanji padaku. Agar engkau tetap beristiqamah.”
“Maksudnya?” hanya itu yang terdengar balik dari mulutku. “Begini Nawra, selama
kita belum mahram. Baiknya kita menjaga jarak dulu. Jangan kawatiri aku. Aku
tidak akan pergi kok.” “Aku gak ngerti kamu bilang apa?” “Sebenarnya aku tau
apa yang ada dipikiranmu kini, aku tau kau juga sedang menyukai seseorang,
sedang memendam rindu yang menggebu dan aku juga tau di mana ia kini.”
Deg, jantung itu terus berpacu lebih kuat. Aku ingin terjaga lebih
cepat, tak ingin mendengar kata-kata selanjutnya. Bangun, ku mohon bangunlah.
Terbukalah mata, terjagalah, aku tak ingin mendengarnya. Atau lebih baik aku
tuli saja sekalian. Kumohon. Aku tak ingin mendengarnya. “jangan dilanjutkan
lagi, aku sudah tau.” “Bukankah kemaren engkau selalu mendesakku, bukankah kau
juga mengacuhkanku hanya karna aku slalu menggantungkan kata-kata, bukankah kau
juga tak ingin menemuiku lagi hanya karna kau punya rasa terhadapku.”
“Cukup-cukup, aku tak ingin mendengarnya lagi.” “Baiklah, aku akan menjawabnya
kini, menjawab semua tanya yang slama ini mengganggumu. Aku akan jawab semuanya
tanpa terkecuali, sekaligus ini pertemuan terakir kita seperti inginmu.”
Setitik gerimis mulai berjatuhan...
“Nawra, aku tak ingin mengulanginya kedua kali. Jadi dengarlah
baik-baik.”
Malam...
Jika engkau sanggup memulihkan dukanya, maka aku akan
berterimakasih.
Langit jika engkau sanggup menutupi sendunya maka aku akan
berterimakasih.
Bulan jika engkau bisa mengelabui tangisnya maka aku akan
berterimakasih.
Bintang jika engkau mau menghiburnya maka aku akan berterimakasih.
Bukan...bukan aku pengecut atau tak peduli.
Tidak... itu tidak benar.
Aku tau aku masihlah bodoh soal itu.
Aku bukan malaikat yang berhati suci, bukan peri dalam dongeng-dongeng
sebelum tidur.
Aku bisa saja mengusap airmatanya ketika berlinang dan terjatuh,
bisa saja ku mendekapnya ketika ia membutuhkan kehangatan, bisa saja
menenangkan ia ketika ia terluka.
Bisa... aku bisa melakukannya.
Tapi aku malu pada-Nya, aku malu pada Maha Raja langit dan bumi.
Bagaimana mungkin aku menyentuhnya sedang aku belum mengikatnya.
Bagaimana mungkin aku menggandengnya sedang ia masih terpagar.
Bagaimana mungkin aku memboncenginya sedang ia bukan mahramku.
Aku malu...
Aku sangat malu.
Tapi aku tak kuasa bila terus melihatnya sendu dan pilu.
Aku tau itu adalah kelemahanku, aku sadar kalau itu ujian imanku.
Tapi, aku... aku akan tetap
menjadi bayangannya...
Aku akan terus menjadi bias wajahnya...
Ku harap ia tak pernah berpaling lagi.
Aku telah berjanji pada-Nya, aku akan datang dalam nyata.
Aku akan menjemputnya dalam do’a, aku akan mengkhitbahnya dalam
usaha.
Meski aku jauh, meski aku belum berwujud, meski aku sendiri tak tau
dimana.
Aku akan datang, membawanya menjadi permaisuriku, membawanya
menjadi pelengkap kurangku, membawanya membangun masjid di jannah-Rabbku.
Bersabarlah...
|
One day in beuatiful day |