Monday, July 28, 2014

Curhat Ramadhan Vs Lebaran I'ed

Allahu Akbar... Allahu Akbar... Allahu Akbar...
Laa ila haillallaahu Allaahu Akbar, Allahu Akbar walillahilhamdu.
            Alhamdulillah, ramadhan sudah berlalu. Ada banyak cerita yang tak pernah terlupa di sana. Bahkan di sa’at-sa’at terakir perjumpaan dengan ramadhan, ada rasa kehilangan yang amat sangat menyayat. Mudah-mudahan Allah Swt. Mempertemukan lagi dengannya tahun depan. Amien...
***
            Aku menulis ini tepat setelah bersilaturrahmi ke rumah nenek, siang senin. Rasanya sangat hambar bila moment berharga seperti ini tidak diabadikan. Karna saya tak punya camera L-300 (baca: C-60) maka saya abadikan moment ini dalam sebuah tulisan. Apakah tulisan ini layak dikonsumsi  atau tidak, entahlah. Kalian yang akan menilai.
Bisa dibilang ramadhan kali ini, aku sangat beruntung. Sebab aku bisa melakukan apa saja yang tidak aku lakukan di tahun-tahun sebelumnya. “PUTRI TEBU” adalah gelar yang kusemat sendiri, bukan karna aku semanis tebu atau selangsing pucuknya. Tidak, itu sama sekali bohong. Tapi, aku menyebut putri tebu karna aku adalah anak perempuan si penjual tebu. Menarik bukan? Yah, aku tak pernah malu mengatakan sebenarnya. Sebab aku bangga dengan pekerjaan itu. selama masih halal dan tayyib mudah-mudahan Allah ridha. Setiap harinya aku selalu duduk menemani ayah menjual air tebu, walau terkadang mamak juga sering nangkring menggantikan posisiku. Tapi yang jelas, kalau aku tidak menjual air tebu hari itu bukan karna aku MALU, namun lebih tepatnya aku gantiin posisi mamak di dapur. Hehe...
Begitulah hari-hariku selama ramadhan, di samping itu, aku juga melaksanakan kewajiban-kewajiban lainnya. Seperti target di pohon ramadhan yang sudah aku tanam sejak awal bulan lalu. Alhamdulillah, sedikit banyak aku sudah memanen beberapa buah segar, meski masih ada beberapa yang kecut, lantaran aku masih sering lalai dan lupa.
Tepat malam minggu, akhirnya takbir itu pun memecah kesunyian malam. Sayangnya hanya sesa’at. Bahkan di sebagian pelosok desa, masih banyak yang melaksanakan shalat teraweh. Kebimbangan dan keraguan mulai mengguluti perasaan anak adam satu-satu, tak bisa dipungkiri, bahwa sebagian mereka mulai kecewa lantaran dapat informasi lebaran di tunda senin pagi. Begitu juga dengan kami sekeluarga. Aku, adik-adik juga kedua orangtuaku masih melaksanakan sahur pukul 04.00, yah, kami masih beranggapan bahwa lebaran benar-benar ditunda. Hingga sa’at shubuh keadaan kembali berubah.  Mamak memutar chanel entah dimana, lalu ia melihat rapat nisbat akan keputusan penetapan lebaran. Wal hasil, kami kembali tersenyum, sebab di daerah kami lebaran pun kembali dirayakan. Alhamdulillah...
Pagi-pagi buta, setelah shalat shubuh, kami meluncur ke sungai untuk membersihkan badan sekaligus niat mandi lebaran. Bukan karna musim kemarau panjang tiba, tapi lebih karna sumber air bersihnya meledak. Jadi kami memanfa’atkan sungai sebagai sumber air untuk kebutuhan sehari-hari. Sudah beberapa minggu lalu aku dan keluarga mandi alakadarnya. Bahkan tak jarang kami selalu menunda semua kegiatan yang bisa menguras banyak air  hingga 2-3 hari, namun untuk MAKAN itu NOMOR 1 :D
Pulang dari sungai, takbir pun kembali bergema. Setelah semua siap, kami sekeluarga berangkat ke masjid lebih cepat dari biasanya dan kami sekeluarga beruntung sebab mendapatkan shaff paling depan dan paling nyaman. Dari sepanjang tahun ini, ramadhan dan lebaran 2014 lah yang paling berkesan. Aku bisa berbagi, meski itu hanya sedikit...


Friday, July 18, 2014

BILA HATI RINDU M*****H

“Nawra, mengapa kau tega melakukan ini padaku? Mengapa kau khianati perasaan yang selama ini kusimpan untukmu?” ucap seseorang yang tak kukenal wujudnya.
“Maksudnya apa, mengapa engkau menyalahkan aku seperti ini? Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Kapan, dimana?” pertanyaan itu terus bergerilya dalam otakku, melayang-layang seperti anai diterbangkan tornado. “Sudahlah, aku mending pergi saja. Toh tanpaknya kau sudah melupakanku.” “Hey, tunggu? Mengapa engkau tidak menjawab pertanyaanku? Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” Orang itu hanya tersenyum hambar lalu pergi meninggalkanku dengan ribuan tanya. (Siapa dia, dari mana asalnya, mengapa ia mengenaliku, kapan aku melihatnya).
Aku tersentak ketika alarm Hp membangunkan. Kulirik jam dinding tepat pukul 03.00 dini hari. “Apa artinya?” Sesaat lamanya, pikiranku masih saja kosong, kurasa rohku belum sepenuhnya kembali. Tapi aku masih penasaran dengan mimpi itu, mimpi aneh namun terlihat nyata. Sesegera mungkin kutepiskan perasaan itu jauh-jauh, ku seret tubuhku hingga sampai di kamar mandi. Setelah berwudhu’, aku pun mendirikan shalat qiyamul lail [1]dua raka’at disertai shalat witir. Pikirku melayang, aliran darahku meletup-letup deras pun begitu dengan jantungku, berdetak hebat namun tak beraturan. Aku masih saja dihantui oleh sosok makhluk yang tak ku tau asal-usulnya. “Siapa dia?” Setelah semuanya selesai, aku pun kembali tidur, masih dua jam lagi waktu shubuh. Perasaanku kembali tak karuan ketika mimpi itu datang lagi dan terus berlanjut. “Aku hadir lagi bukan? Jangan takut, aku tak kan menelanmu bulat-bulat. Aku hanya ingin mengingatkan saja. Jangan terlalu larut dalam perasaan semu seperti ini, nanti kamu sakit hati dan takkan berhenti menangis. Bukankah  cinta hadir tanpa devenisi? Jika aku tak memikirkan perasaanmu di sini, mana mungkin aku berani menegurmu, Nawra.”
“Kamu siapa? Please kali ini jangan acuhkan diriku.” “Ah, kamu ini masih terlalu dini untuk mengetahui siapa aku. Yang jelas, aku akan datang bila engkau mulai bertingkah macam-macam. Sudahlah, jangan kau pikirkan lagi orang-orang di luar sana, bukankah engkau sudah punya aku? Jika sudah tiba waktunya kelak, akulah yang akan menjemputmu.” “Mengapa engkau menghantui tidurku terus-menerus? Apa untungnya dirimu? Mengapa tak kau tunjukan saja siapa kamu sebenarnya. Aku tak bisa melihat jelas wajahmu. Aku penasaran.” “Sudah ku katakan, engkau masih terlalu polos Nawra, bila waktunya tiba, kau akan mengetahui semua itu dengan sendirinya.” “Tapi aku ingin tau lebih banyak lagi tentangmu?” “Engkau akan tau leih cepat, bila engkau lebih bersabar lagi.”
Deg... ada perasaan aneh yang menamparku keras. “Apa-apaan ini, siapa sih dia? Mengapa seenaknya ngomong begitu? Apa haknya coba?”
 Entah dari mana datangnya hawa dingin menusuk sum-sum, yang jelas aku merasakan kehadiran seseorang yang begitu lekat dan dekat.” “Aku pergi dulu ya, kapan-kapan aku akan datang lagi.” Tak lama setelah itu, seburat cahaya terang di hadapku mulai memudar dan menjauh.
Allaahu akbar.. allaahu akbar...
Allaahu akbar.. allaahu akbar...
Sayup-sayup aku mendengar azan shubuh mulai bergema. Begitu cepat waktu berlalu. Ku lihat Mery, sepupuku masih terlelap dengan mimpi indahnya, aku pun tak berniat membangunkan, sebab ia lagi ma’dhurah.[2]
Shalat shubuh jadi lebih ringan dan menyenangkan dari sebelumnya, kurasakan, bacaan al-matsurat juga tak luput dari lalapanku pagi itu. Senang, aku seperti telah menemukan semangat baru. Hatiku selalu saja mendesak dan mendorongku untuk melakukan lagi dan lagi. Aku bersyukur.
Namun keanehan lain mulai merajai hariku beberapa minggu kemudian, tepatnya ketika giliranku tak bisa shalat. Kau tau? Sejak itu juga aku mulai menghabiskan waktu di tempat tidur. Bukan karna aku sakit, bukan karna bisulan, bukan karna , bukan karna sebab-akibat. Tapi, aku merindui orang itu. Orang aneh yang masih menanggalkan ribuan tanya dalam diri, orang yang selalu mengingatkanku agar jangan terlarut dalam perasaan semu, orang yang gak mau menjawab pertanyaanku hanya karna aku akan tau sendiri kelak. Orang yang... begitu, aku rindukan. “Hey, kemana saja selama ini? Kok aku gak pernah melihat sosok tiba-tibamu sepanjang minggu?.” “Kenapa emang? Bukankah aku gak terlalu penting?” Oops, entah apa yang ada dibenakku saat ini, pernyataan itu meluncur dengan lihainya, aku mulai gelisah, takut-takut ia menangkap rona kepiting rebus di wajahku. “Iya, aku juga merindukanmu, bahkan sebelum engkau ada sekalipun. Aku juga merindukan sosokmu juga sebelum engkau menjadi ibu buat anak-anakku, aku juga merindukanmu bahkan ketika engkau niat untuk menutup auratmu dari ujung rambut hingga  ujung kaki, iya aku juga merindukanmu menjadi guru buat anak-anak yang akan kau didik kelak, aku juga merindukanmu sebagai seorang istri yang akan membahagiakan suaminya, aku merindukanmu sebagai orang yang pantas dirindukan.” Hening. Bahkan nyamuk pun enggan mengusik. Kata-kata itu jelas terekam dalam memory jangka panjangku. Aku benar-benar luluh dibuatnya. “Tapi..” ia kembali melanjutkan kalimatnya, setengah gantung. “Tapi apa?” tanyaku mengejar. “Mari kita duduk di sana, sepertinya urat-urat ototku mulai putus satu-satu, aku pegal.” Ia menujukkan sebuah bangku panjang yang bertengger rapi di bawah pohon flamboyan. Aku hanya mengekor seperti anak ayam dengan induknya. 

“Tapi apa?” aku kembali melemparkan tanya yang sebelumnya sudah kutanyakan. “Tapi, apa aku bisa mengharapkanmu seperti itu? Apa engkau wanita yang selama ini kutunggu? Apakah engkau juga yang akan melengkapi pasangan rusukku? Aku sebenarnya masih bimbang dengan apa yang ada dibenakmu, tapi aku tak kan bisa diam bila ku melihatmu..., ah sudah, jangan paksa aku lagi. Sekarang bangunlah, baiknya jangan temui aku lagi bila engkau belum siap.”
Dia pergi lagi... hey seenaknya saja kau gantungkan ucapmu, kau pikir aku pohon pinang. Kau pikir aku beringin atau justru kau berpikir aku ini pohon karet. Seenaknya kau ambil getahnya dan ketika aku mulai tertempel, engkau malah pergi. Aku gak terima, aku ingin kau datang langsung. Jangan jadi pengecut. Aku benci orang-oranag pengecut, aku benci kamuuuuuuuu.” Sontak aku terjaga dari malamku, matahari pun mulai beranjak setengah galah, apa ini. Apa dia mempermainkanku lagi. Kembali kata-kata itu menari-nari dalam otakku. Ribuan tanya terus bertambah, bertambah dan bertambah bergumpal seperti lilitan benang yang mulai awut-awutan, sialnya tak satupun jawaban masuk akal yang kudapat.
Aku memilih mengurung diri di kamar, mumpung gak kuliah, gak ngajar dan gak nafsu jalan-jalan. Lagi-lagi kata ajaib itu mulai bisa ku hafal. “Apa maksudnya?” lamunan tanpa ujung pun membawaku kembali ke alam bawah sadar.
“Aku tak ingin mengganggu hidupmu, tapi jujur. Aku tak ingin melihatmu lagi. Aku mau ini yang terakir. Jangan pernah datang lagi.” (Setetes bening tumpah). “Apa aku mulai tidak waras? Bagaimana mungkin aku jatuh hati pada sosok yang tak ku tau bagaimana bentuknya. Bagaimana mungkin aku langsung terpikat hanya karna ia sering datang dalam mimpiku. Bagaimana mungkin aku mulai suka akan sikap misterinya yang datang dan pergi tiba-tiba. Bagaimana mungkin aku masih dibilang waras ketika yang kualami justru berputar 180 derajat. “Apa yang harus kulakukan kini?”
Malam itu, aku tak ingin terlelap sama sekali. Kupaksakan kelereng hitam itu tetap melek meski berulang kali menguap. Aku tak peduli. Aku terus membaca apapun itu yang bisa menghentikan mata ini untuk tidak terlelap. Terkadang aku ikutan tertawa bila ada kata-kata yang menurutku lucu dan itu sedikit membantu mataku kembali terkuak. Akirnya, aku kalah. Kalah oleh rayuan tempat tidur yang siap melambungkan mimpi-mimpi itu kembali. Aku kalah, mata itu tetap saja terkatup mesti aku telah menanggalnya dengan linggis sekalipun. Pertahanan ku luluh, aku juga manusia yang butuh istirahat untuk kembali segar dan beraktivitas kembali esoknya. “Terserah, yang penting aku ingin tidur.”
Huam... huam... huam... aku terbang bersama mimpi itu lagi. “Jangan terlalu memaksakan diri, nanti sakit.” Tak ada respon. Hening. Kembali sunyi.”Iya aku mengaku salah, tapi aku tak sanggup bila engkau terus-terusan memaksa seperti ini.” Masih saja hening. “Oke-oke, baiklah. Aku akan ceritakan semua. Tapi engkau harus berjanji padaku. Agar engkau tetap beristiqamah.” “Maksudnya?” hanya itu yang terdengar balik dari mulutku. “Begini Nawra, selama kita belum mahram. Baiknya kita menjaga jarak dulu. Jangan kawatiri aku. Aku tidak akan pergi kok.” “Aku gak ngerti kamu bilang apa?” “Sebenarnya aku tau apa yang ada dipikiranmu kini, aku tau kau juga sedang menyukai seseorang, sedang memendam rindu yang menggebu dan aku juga tau di mana ia kini.” 
Deg, jantung itu terus berpacu lebih kuat. Aku ingin terjaga lebih cepat, tak ingin mendengar kata-kata selanjutnya. Bangun, ku mohon bangunlah. Terbukalah mata, terjagalah, aku tak ingin mendengarnya. Atau lebih baik aku tuli saja sekalian. Kumohon. Aku tak ingin mendengarnya. “jangan dilanjutkan lagi, aku sudah tau.” “Bukankah kemaren engkau selalu mendesakku, bukankah kau juga mengacuhkanku hanya karna aku slalu menggantungkan kata-kata, bukankah kau juga tak ingin menemuiku lagi hanya karna kau punya rasa terhadapku.” “Cukup-cukup, aku tak ingin mendengarnya lagi.” “Baiklah, aku akan menjawabnya kini, menjawab semua tanya yang slama ini mengganggumu. Aku akan jawab semuanya tanpa terkecuali, sekaligus ini pertemuan terakir kita seperti inginmu.”
Setitik gerimis mulai berjatuhan...
“Nawra, aku tak ingin mengulanginya kedua kali. Jadi dengarlah baik-baik.”
Malam...
Jika engkau sanggup memulihkan dukanya, maka aku akan berterimakasih.
Langit jika engkau sanggup menutupi sendunya maka aku akan berterimakasih.
Bulan jika engkau bisa mengelabui tangisnya maka aku akan berterimakasih.
Bintang jika engkau mau menghiburnya maka aku akan berterimakasih.
Bukan...bukan aku pengecut atau tak peduli.
Tidak... itu tidak benar.

Aku tau aku masihlah bodoh soal itu.
Aku bukan malaikat yang berhati suci, bukan peri dalam dongeng-dongeng sebelum tidur.
Aku bisa saja mengusap airmatanya ketika berlinang dan terjatuh, bisa saja ku mendekapnya ketika ia membutuhkan kehangatan, bisa saja menenangkan ia ketika ia terluka.

Bisa... aku bisa melakukannya.
Tapi aku malu pada-Nya, aku malu pada Maha Raja langit dan bumi.
Bagaimana mungkin aku menyentuhnya sedang aku belum mengikatnya.
Bagaimana mungkin aku menggandengnya sedang ia masih terpagar.
Bagaimana mungkin aku memboncenginya sedang ia bukan mahramku.

Aku malu...
Aku sangat malu.
Tapi aku tak kuasa bila terus melihatnya sendu dan pilu.
Aku tau itu adalah kelemahanku, aku sadar kalau itu ujian imanku.
Tapi, aku... aku akan  tetap menjadi bayangannya...
Aku akan terus menjadi bias wajahnya...
Ku harap ia tak pernah berpaling lagi.

Aku telah berjanji pada-Nya, aku akan datang dalam nyata.
Aku akan menjemputnya dalam do’a, aku akan mengkhitbahnya dalam usaha.
Meski aku jauh, meski aku belum berwujud, meski aku sendiri tak tau dimana.
Aku akan datang, membawanya menjadi permaisuriku, membawanya menjadi pelengkap kurangku, membawanya membangun masjid di jannah-Rabbku.
Bersabarlah...
One day in beuatiful day



[1] Shalat tahajud.
[2] Datang bulan, ini dimiliki oleh setiap wanita, biasanya 1-7 hari/ bulan.

Gadis Misterius

Seorang gadis kecil duduk termenung di perempatan jalan. Wajah polosnya terlihat begitu menyedihkan. Ku hampiri gadis malang itu sambil merogohkan duit 50 ribuan untuk ku sodorkan kepadanya. Dia hanya menatapku nanar, sinis dan tidak bersahabat. “Tenang, jangan kawatir. Aku tidak akan menyakitimu,” jelasku. Dia hanya tersenyum kecut seolah mencibir. “Laki-laki atau perempuan kalau ada maunya sama saja. Orang buta, orang tuli bahkan orang bisu yang masih sanggup sekalipun tetap saja memilih meminta daripada memberi.” Sambung gadis tersebut lebih kepada diri sendiri. 

 Aku hanya bisa menelan ludah, mendengar ucap gadis balia itu. Sejujurnya, aku sangat prihatin dengan kondisi masyarakat yang menjunjung tinggi demokrasi. Katanya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Tapi nyatanya, toh masih banyak rakyat jelata yang berkekurangan, kelaparan, menderita bahkan harus mengabdikan diri sebagai pengemis dan gelandangan. Mana janji penguasa untuk mensejahtrakan rakyatnya? Semua pertanyaan itu hanya terbentur tembok tikus berdasi. Katanya Demokrasi, tapi kok yang kenyang penguasa, yang jaya justru orang di dalam parlemen itu sendiri. Alangkah sedihnya jika orang-orang seperti ini dipertahankan atau terus dikembangbiakkan di bumi pertiwi. Ku lirik gadis balia di sampingku itu sekali lagi, diam-diam aku mengagumi sosoknya.

“Dik, kenalkan nama kakak Arya. Adik mau gak ikut kakak bergabung dengan teman-teman seusia adik?” Aku mencoba untuk menguasai situasi. Hening... lalu dia menggeleng, dan mulai beranjak. Aku menarik lengannya hingga terduduk kembali. “Ceritakanlah, apa masalahmu. Kakak akan sangat senang jika bisa membantu!”. Lagi-lagi dia hanya menggeleng dan mengisyaratkan untuk tidak menghalangi langkahnya lagi. Aku pasrah, lalu membiarkannya begitu saja. 





Di ujung jalan, seorang kakek tua melambai kearahku. Bukan, tepatnya ke arah gadis yang kutemui tadi. Gadis itu semakin mempercepat jalannya dan menghampiri sang kakek di ujung jalan. Kakek itu tersenyum dan membelai kepala cucunya yang tertutup kerudung. Aku hanya melihat adegan singkat itu dari kejauhan lalu menghilang tertelan deru jalanan.
Keesokan harinya, aku kembali ketempat semula. Berharap gadis yang kutemui kemaren kembali. 1 jam, 2 jam bahkan 3 jam berlalu begitu lamban. Sosok itu tetap tidak hadir. Aku pasrah. Ketika aku hendak beranjak, seseorang memukul pundakku lembut  dari belakang. Saat aku menoleh, tanpak wajah teduh sang kakek kemaren siang tersenyum ke arahku. “Ada yang bisa kakek bantu, anak muda?” tanya sang kakek lembut. Aku hanya tersenyum dan menggeleng. Seolah menangkap apa di pikiranku saat itu, sang kakek lalu menarik lenganku dan membawaku ke suatu tempat yang aku sendiri tak tau dimana. Namun aku seolah mendapatkan satu keanehan yang tak bisa ku deskripsikan. Tiba-tiba aku disodorkan sebuah amplop biru muda oleh sang kakek. Tanpa menunggu lebih lama, aku segera membuka isi amplop tersebut dan membacanya.
Assalamu’alaikum wr wb...
Untuk seseorang yang aku sendiri belum mengenalnya.
Em... biar aku tebak. Pasti engkau kini sedang dilanda kebingungan ya?
Kok aku bisa mengirimkanmu surat, padahal aku tak pernah menginginkan hadirmu sebelumnya.
Sejujurnya, aku telah mengenalmu, jauh sebelum tempo hari.
Kadang aku memang aneh...
Dan aku ingin engkau menikmati sebagian dari keanehanku itu
Kau tau! Selama ini, aku slalu memantau setiap gerakmu.
Bagaiamana, kapan, dimana dan untuk apa aku melakukannya?
Sebentar, jangan terburu-buru membombardirku dengan ribuan pertanyaan.
Aku hanya ingin memastikan saja.  
Apa benar, masih ada makhluk langka sepertimu di belahan bumi.
Dan mungkinkah engkau, orang yang slama ini kucari.
Entahlah...
Aku hanya sedikit penasaran, ya.. hanya sedikit.
Sejujurnya, pertama kali melihatmu aku sudah jatuh cinta.
Ya, cinta seorang penyelamat kegelapan jiwa yang kehausan.
Kau tau, sejak aku bisa berbicara, berpikir dan mulai mengenal dunia.
Sejak itu pula aku mulai mencari orang yang benar-benar ku percaya.
Banyak ragam yang ku jumpai, banyak karakter yang ku hadapi dan banyak tingkah yang telah ku jejali.
Semuanya membuatku ragu akan arti sebuah kepercayaan.
Ah... jangan berkerut dulu.
Sebenarnya aku telah lama hidup, hidup di sekelilingmu...
Hidup di hati orang-orang yang punya hati.
Disini  aku bisa merasakan saat-saat dimana kehausan kadang mengerogoti kehidupan
Kadang kebuasan nafsu mencakar naluri kemanusiaan.
Aku mafhum, karna aku hidup dihati orang-orang yang punya hati.
Terimakasih sudah menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumahku, semoga engkau tidak tersesat ketika pulangnya.
*Jadilah setitik cahaya, dalam kegelapan yang memekatkan.
Salam...
Sang pemilik hati.

Aku tersentak di sepertiga malam. Ku paksakan kaki dan beranjak ke arah saklar untuk menghidupkan lampu. Kulihat amplop biru yang sama seperti dalam mimpiku tergeletak tepat di samping tempat tidurku. Apa maksud semua ini...

Kisah Kasih Tak Berujung

Siapa sih yang tak ingin bahagia? Punya gedung bertingkat, mobil mengkilap, suami pejabat bahkan duit berlipat-lipat. Pasti jawabannya semua. Atau sebagian besar “Ya” semua ingin demikian. Namun manusia hanya mampu berkalam semata dan ber imaji sesuka hati. Toh yang menentukan segalanya, cuma satu. Allah Swt.
Sejak kecil, aku hampir tidak mengenal apa itu kebahagiaan, bagaimana bentuknya, apa saja di dalamnya. Tidak, aku tak pernah merasakannya sama sekali. Bagiku, bahagia hanyalah milik orang-orang berdasi, punya tahta dan jabatan. Duniaku tak jauh dari kata melarat dan menderita. Bayangkan, sejak kelas 4 SD. Aku sudah terbiasa tanpa kehangatan seorang ibu. 26 Desember 2004 telah menjadi saksi bisu atas kepergiannya. Hidup sebatang kara bertemankan sepi dan airmata, itu sudah lumrah. Mulai saat itu, aku yang masih kecil harus bertahan seorang diri di tengah-tengah kekurangan. Kemanakah sosok kepala keluarga yang disebut ayah, dimanakah sosok imam untuk anak dan istrinya. Sialnya pernyataan itu tak pernah terungkap keluar. Sejak kecil, aku sudah dibesarkan oleh seorang nelayan sekaligus tetangga jauhku yang baik hati. Ia mengasihiku dan menyayangiku seperti  anaknya sendiri, meski pada kenyataannya, ia sendiri belum berkeluarga. Harus ku akui, sejak saat itu pulalah ia tlah menggantikan status ayah kandungku. Namun setelah kepergian Ibu, aku tak berani lagi menyusahkannya, aku sudah besar dan harus bisa mandiri. Akupun mulai melepas  diri dari tanggungannya.
“Kasih, selamat ya. Dapat beasiswa! Ditunggu traktirannya.” Tatapan-tatapan itu seolah mencibirku. “Apa enaknya sih hidup bergantung pada beasiswa. Dimana-mana orang yang dapat beasiswa itu kolot, kuper dan ketinggalan zaman. bayangkan dunia yang ia tau hanya buku dan buku. Sekali-kali shopping donk, ke salon kek, atau sekedar cuci mata ke tempat-tempat terlarang.” “Nauzubillah.” Bagiku, dapat beasiswa jauh lebih bermartabat daripada memeras penghasilan rakyat yang tak berdosa. Sekali lagi kutegaskan.  Dunia yang demikian itu hanyalah milik orang-orang berdasi. Tidak untuk penjual sayuran , pedagang kaki lima, pengemis, juga anak yatim sepertiku.
Entah malam apa, laki-laki yang ku panggil ayah itu terseok-seok menghampiri ku malam-malam buta. Kulirik jam dinding yang kusam menunjukkan pukul 11 malam. Tampak seburat kelelahan dimatanya. “Kasih, ayah mendapati surat ini dari keluarga di Teunom. Katanya ia melihat ayah kandungmu di sana dan...” kata-kata selanjutnya, hening. “Dan apa ayah, cepat katakan.” Aku sudah tak sabar ingin mendengarnya.” Hamburku.
 Tiba-tiba, laki-laki yang ku panggil ayah itu memelukku dan menangis. “Kenapa ayah, kok menangis?” aku tau, ayah menangis karna takut  kehilanganku kan? Atau ayah mengira kalau aku akan melupakanmu?” Isak ayah semakin menjadi. Ayah berikan surat itu untukku, biar ku baca sendiri. Lemas, seolah ada ribuan jarum menusuk dan menghujam isi otakku. Sakit? Tidak. Itu belum seberapa, dibanding isi surat ini.
Assalamu’alaikum Wr Wb...
Bagaimana kabarmu dan keluarga? Kuharap kalian semua slalu dalam limpahan Rahmat dan MahabbahNya.
Langsung saja, beberapa hari lalu. Saya sudah menemukan ayah kandung Kasih. Diluar dugaan, saya justru bertemu dengannya di acara pernikahan ponaan saya di daerah Meulaboh, Aceh Jaya.  Kau tau, saya kaget bukan main. Awalnya saya lebih memilih untuk membungkam dan melupakan segala yang bersangkutan tentangnya. Tapi, saya tak ingin mengingkari janji yang pernah saya ikrarkan sebelumnya. Janji tetaplah janji. Dan janji adalah hutang yang harus ditepati.
 Waktu itu ingin sekali saya menghajarnya sampai babak belur. Tapi sekali lagi, saya tak ingin berjalan terlalu jauh. Maaf!
Semoga surat ini bisa memberi jawaban atas pencarianmu slama ini.
Wassalam
Cut Ngoh[1] di Teunom
            Setelah itu, aku tak pernah lagi mendengar kabar tentang ayah. Hingga  2012 lalu mengantarkanku menjadi salah satu mahasiswi Tarbiyah, jurusan Bahasa Inggris di UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Lembaran demi lembaran baru pun mulai ku buka. Aku percaya, roda kehidupan pastilah berputar. Sungguh Allah Maha Mengetahui nasib setiap hamba-hambaNya.


[1] Saudara perempuan yang tengah.

Monday, July 28, 2014

Curhat Ramadhan Vs Lebaran I'ed

Allahu Akbar... Allahu Akbar... Allahu Akbar...
Laa ila haillallaahu Allaahu Akbar, Allahu Akbar walillahilhamdu.
            Alhamdulillah, ramadhan sudah berlalu. Ada banyak cerita yang tak pernah terlupa di sana. Bahkan di sa’at-sa’at terakir perjumpaan dengan ramadhan, ada rasa kehilangan yang amat sangat menyayat. Mudah-mudahan Allah Swt. Mempertemukan lagi dengannya tahun depan. Amien...
***
            Aku menulis ini tepat setelah bersilaturrahmi ke rumah nenek, siang senin. Rasanya sangat hambar bila moment berharga seperti ini tidak diabadikan. Karna saya tak punya camera L-300 (baca: C-60) maka saya abadikan moment ini dalam sebuah tulisan. Apakah tulisan ini layak dikonsumsi  atau tidak, entahlah. Kalian yang akan menilai.
Bisa dibilang ramadhan kali ini, aku sangat beruntung. Sebab aku bisa melakukan apa saja yang tidak aku lakukan di tahun-tahun sebelumnya. “PUTRI TEBU” adalah gelar yang kusemat sendiri, bukan karna aku semanis tebu atau selangsing pucuknya. Tidak, itu sama sekali bohong. Tapi, aku menyebut putri tebu karna aku adalah anak perempuan si penjual tebu. Menarik bukan? Yah, aku tak pernah malu mengatakan sebenarnya. Sebab aku bangga dengan pekerjaan itu. selama masih halal dan tayyib mudah-mudahan Allah ridha. Setiap harinya aku selalu duduk menemani ayah menjual air tebu, walau terkadang mamak juga sering nangkring menggantikan posisiku. Tapi yang jelas, kalau aku tidak menjual air tebu hari itu bukan karna aku MALU, namun lebih tepatnya aku gantiin posisi mamak di dapur. Hehe...
Begitulah hari-hariku selama ramadhan, di samping itu, aku juga melaksanakan kewajiban-kewajiban lainnya. Seperti target di pohon ramadhan yang sudah aku tanam sejak awal bulan lalu. Alhamdulillah, sedikit banyak aku sudah memanen beberapa buah segar, meski masih ada beberapa yang kecut, lantaran aku masih sering lalai dan lupa.
Tepat malam minggu, akhirnya takbir itu pun memecah kesunyian malam. Sayangnya hanya sesa’at. Bahkan di sebagian pelosok desa, masih banyak yang melaksanakan shalat teraweh. Kebimbangan dan keraguan mulai mengguluti perasaan anak adam satu-satu, tak bisa dipungkiri, bahwa sebagian mereka mulai kecewa lantaran dapat informasi lebaran di tunda senin pagi. Begitu juga dengan kami sekeluarga. Aku, adik-adik juga kedua orangtuaku masih melaksanakan sahur pukul 04.00, yah, kami masih beranggapan bahwa lebaran benar-benar ditunda. Hingga sa’at shubuh keadaan kembali berubah.  Mamak memutar chanel entah dimana, lalu ia melihat rapat nisbat akan keputusan penetapan lebaran. Wal hasil, kami kembali tersenyum, sebab di daerah kami lebaran pun kembali dirayakan. Alhamdulillah...
Pagi-pagi buta, setelah shalat shubuh, kami meluncur ke sungai untuk membersihkan badan sekaligus niat mandi lebaran. Bukan karna musim kemarau panjang tiba, tapi lebih karna sumber air bersihnya meledak. Jadi kami memanfa’atkan sungai sebagai sumber air untuk kebutuhan sehari-hari. Sudah beberapa minggu lalu aku dan keluarga mandi alakadarnya. Bahkan tak jarang kami selalu menunda semua kegiatan yang bisa menguras banyak air  hingga 2-3 hari, namun untuk MAKAN itu NOMOR 1 :D
Pulang dari sungai, takbir pun kembali bergema. Setelah semua siap, kami sekeluarga berangkat ke masjid lebih cepat dari biasanya dan kami sekeluarga beruntung sebab mendapatkan shaff paling depan dan paling nyaman. Dari sepanjang tahun ini, ramadhan dan lebaran 2014 lah yang paling berkesan. Aku bisa berbagi, meski itu hanya sedikit...


Friday, July 18, 2014

BILA HATI RINDU M*****H

“Nawra, mengapa kau tega melakukan ini padaku? Mengapa kau khianati perasaan yang selama ini kusimpan untukmu?” ucap seseorang yang tak kukenal wujudnya.
“Maksudnya apa, mengapa engkau menyalahkan aku seperti ini? Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Kapan, dimana?” pertanyaan itu terus bergerilya dalam otakku, melayang-layang seperti anai diterbangkan tornado. “Sudahlah, aku mending pergi saja. Toh tanpaknya kau sudah melupakanku.” “Hey, tunggu? Mengapa engkau tidak menjawab pertanyaanku? Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” Orang itu hanya tersenyum hambar lalu pergi meninggalkanku dengan ribuan tanya. (Siapa dia, dari mana asalnya, mengapa ia mengenaliku, kapan aku melihatnya).
Aku tersentak ketika alarm Hp membangunkan. Kulirik jam dinding tepat pukul 03.00 dini hari. “Apa artinya?” Sesaat lamanya, pikiranku masih saja kosong, kurasa rohku belum sepenuhnya kembali. Tapi aku masih penasaran dengan mimpi itu, mimpi aneh namun terlihat nyata. Sesegera mungkin kutepiskan perasaan itu jauh-jauh, ku seret tubuhku hingga sampai di kamar mandi. Setelah berwudhu’, aku pun mendirikan shalat qiyamul lail [1]dua raka’at disertai shalat witir. Pikirku melayang, aliran darahku meletup-letup deras pun begitu dengan jantungku, berdetak hebat namun tak beraturan. Aku masih saja dihantui oleh sosok makhluk yang tak ku tau asal-usulnya. “Siapa dia?” Setelah semuanya selesai, aku pun kembali tidur, masih dua jam lagi waktu shubuh. Perasaanku kembali tak karuan ketika mimpi itu datang lagi dan terus berlanjut. “Aku hadir lagi bukan? Jangan takut, aku tak kan menelanmu bulat-bulat. Aku hanya ingin mengingatkan saja. Jangan terlalu larut dalam perasaan semu seperti ini, nanti kamu sakit hati dan takkan berhenti menangis. Bukankah  cinta hadir tanpa devenisi? Jika aku tak memikirkan perasaanmu di sini, mana mungkin aku berani menegurmu, Nawra.”
“Kamu siapa? Please kali ini jangan acuhkan diriku.” “Ah, kamu ini masih terlalu dini untuk mengetahui siapa aku. Yang jelas, aku akan datang bila engkau mulai bertingkah macam-macam. Sudahlah, jangan kau pikirkan lagi orang-orang di luar sana, bukankah engkau sudah punya aku? Jika sudah tiba waktunya kelak, akulah yang akan menjemputmu.” “Mengapa engkau menghantui tidurku terus-menerus? Apa untungnya dirimu? Mengapa tak kau tunjukan saja siapa kamu sebenarnya. Aku tak bisa melihat jelas wajahmu. Aku penasaran.” “Sudah ku katakan, engkau masih terlalu polos Nawra, bila waktunya tiba, kau akan mengetahui semua itu dengan sendirinya.” “Tapi aku ingin tau lebih banyak lagi tentangmu?” “Engkau akan tau leih cepat, bila engkau lebih bersabar lagi.”
Deg... ada perasaan aneh yang menamparku keras. “Apa-apaan ini, siapa sih dia? Mengapa seenaknya ngomong begitu? Apa haknya coba?”
 Entah dari mana datangnya hawa dingin menusuk sum-sum, yang jelas aku merasakan kehadiran seseorang yang begitu lekat dan dekat.” “Aku pergi dulu ya, kapan-kapan aku akan datang lagi.” Tak lama setelah itu, seburat cahaya terang di hadapku mulai memudar dan menjauh.
Allaahu akbar.. allaahu akbar...
Allaahu akbar.. allaahu akbar...
Sayup-sayup aku mendengar azan shubuh mulai bergema. Begitu cepat waktu berlalu. Ku lihat Mery, sepupuku masih terlelap dengan mimpi indahnya, aku pun tak berniat membangunkan, sebab ia lagi ma’dhurah.[2]
Shalat shubuh jadi lebih ringan dan menyenangkan dari sebelumnya, kurasakan, bacaan al-matsurat juga tak luput dari lalapanku pagi itu. Senang, aku seperti telah menemukan semangat baru. Hatiku selalu saja mendesak dan mendorongku untuk melakukan lagi dan lagi. Aku bersyukur.
Namun keanehan lain mulai merajai hariku beberapa minggu kemudian, tepatnya ketika giliranku tak bisa shalat. Kau tau? Sejak itu juga aku mulai menghabiskan waktu di tempat tidur. Bukan karna aku sakit, bukan karna bisulan, bukan karna , bukan karna sebab-akibat. Tapi, aku merindui orang itu. Orang aneh yang masih menanggalkan ribuan tanya dalam diri, orang yang selalu mengingatkanku agar jangan terlarut dalam perasaan semu, orang yang gak mau menjawab pertanyaanku hanya karna aku akan tau sendiri kelak. Orang yang... begitu, aku rindukan. “Hey, kemana saja selama ini? Kok aku gak pernah melihat sosok tiba-tibamu sepanjang minggu?.” “Kenapa emang? Bukankah aku gak terlalu penting?” Oops, entah apa yang ada dibenakku saat ini, pernyataan itu meluncur dengan lihainya, aku mulai gelisah, takut-takut ia menangkap rona kepiting rebus di wajahku. “Iya, aku juga merindukanmu, bahkan sebelum engkau ada sekalipun. Aku juga merindukan sosokmu juga sebelum engkau menjadi ibu buat anak-anakku, aku juga merindukanmu bahkan ketika engkau niat untuk menutup auratmu dari ujung rambut hingga  ujung kaki, iya aku juga merindukanmu menjadi guru buat anak-anak yang akan kau didik kelak, aku juga merindukanmu sebagai seorang istri yang akan membahagiakan suaminya, aku merindukanmu sebagai orang yang pantas dirindukan.” Hening. Bahkan nyamuk pun enggan mengusik. Kata-kata itu jelas terekam dalam memory jangka panjangku. Aku benar-benar luluh dibuatnya. “Tapi..” ia kembali melanjutkan kalimatnya, setengah gantung. “Tapi apa?” tanyaku mengejar. “Mari kita duduk di sana, sepertinya urat-urat ototku mulai putus satu-satu, aku pegal.” Ia menujukkan sebuah bangku panjang yang bertengger rapi di bawah pohon flamboyan. Aku hanya mengekor seperti anak ayam dengan induknya. 

“Tapi apa?” aku kembali melemparkan tanya yang sebelumnya sudah kutanyakan. “Tapi, apa aku bisa mengharapkanmu seperti itu? Apa engkau wanita yang selama ini kutunggu? Apakah engkau juga yang akan melengkapi pasangan rusukku? Aku sebenarnya masih bimbang dengan apa yang ada dibenakmu, tapi aku tak kan bisa diam bila ku melihatmu..., ah sudah, jangan paksa aku lagi. Sekarang bangunlah, baiknya jangan temui aku lagi bila engkau belum siap.”
Dia pergi lagi... hey seenaknya saja kau gantungkan ucapmu, kau pikir aku pohon pinang. Kau pikir aku beringin atau justru kau berpikir aku ini pohon karet. Seenaknya kau ambil getahnya dan ketika aku mulai tertempel, engkau malah pergi. Aku gak terima, aku ingin kau datang langsung. Jangan jadi pengecut. Aku benci orang-oranag pengecut, aku benci kamuuuuuuuu.” Sontak aku terjaga dari malamku, matahari pun mulai beranjak setengah galah, apa ini. Apa dia mempermainkanku lagi. Kembali kata-kata itu menari-nari dalam otakku. Ribuan tanya terus bertambah, bertambah dan bertambah bergumpal seperti lilitan benang yang mulai awut-awutan, sialnya tak satupun jawaban masuk akal yang kudapat.
Aku memilih mengurung diri di kamar, mumpung gak kuliah, gak ngajar dan gak nafsu jalan-jalan. Lagi-lagi kata ajaib itu mulai bisa ku hafal. “Apa maksudnya?” lamunan tanpa ujung pun membawaku kembali ke alam bawah sadar.
“Aku tak ingin mengganggu hidupmu, tapi jujur. Aku tak ingin melihatmu lagi. Aku mau ini yang terakir. Jangan pernah datang lagi.” (Setetes bening tumpah). “Apa aku mulai tidak waras? Bagaimana mungkin aku jatuh hati pada sosok yang tak ku tau bagaimana bentuknya. Bagaimana mungkin aku langsung terpikat hanya karna ia sering datang dalam mimpiku. Bagaimana mungkin aku mulai suka akan sikap misterinya yang datang dan pergi tiba-tiba. Bagaimana mungkin aku masih dibilang waras ketika yang kualami justru berputar 180 derajat. “Apa yang harus kulakukan kini?”
Malam itu, aku tak ingin terlelap sama sekali. Kupaksakan kelereng hitam itu tetap melek meski berulang kali menguap. Aku tak peduli. Aku terus membaca apapun itu yang bisa menghentikan mata ini untuk tidak terlelap. Terkadang aku ikutan tertawa bila ada kata-kata yang menurutku lucu dan itu sedikit membantu mataku kembali terkuak. Akirnya, aku kalah. Kalah oleh rayuan tempat tidur yang siap melambungkan mimpi-mimpi itu kembali. Aku kalah, mata itu tetap saja terkatup mesti aku telah menanggalnya dengan linggis sekalipun. Pertahanan ku luluh, aku juga manusia yang butuh istirahat untuk kembali segar dan beraktivitas kembali esoknya. “Terserah, yang penting aku ingin tidur.”
Huam... huam... huam... aku terbang bersama mimpi itu lagi. “Jangan terlalu memaksakan diri, nanti sakit.” Tak ada respon. Hening. Kembali sunyi.”Iya aku mengaku salah, tapi aku tak sanggup bila engkau terus-terusan memaksa seperti ini.” Masih saja hening. “Oke-oke, baiklah. Aku akan ceritakan semua. Tapi engkau harus berjanji padaku. Agar engkau tetap beristiqamah.” “Maksudnya?” hanya itu yang terdengar balik dari mulutku. “Begini Nawra, selama kita belum mahram. Baiknya kita menjaga jarak dulu. Jangan kawatiri aku. Aku tidak akan pergi kok.” “Aku gak ngerti kamu bilang apa?” “Sebenarnya aku tau apa yang ada dipikiranmu kini, aku tau kau juga sedang menyukai seseorang, sedang memendam rindu yang menggebu dan aku juga tau di mana ia kini.” 
Deg, jantung itu terus berpacu lebih kuat. Aku ingin terjaga lebih cepat, tak ingin mendengar kata-kata selanjutnya. Bangun, ku mohon bangunlah. Terbukalah mata, terjagalah, aku tak ingin mendengarnya. Atau lebih baik aku tuli saja sekalian. Kumohon. Aku tak ingin mendengarnya. “jangan dilanjutkan lagi, aku sudah tau.” “Bukankah kemaren engkau selalu mendesakku, bukankah kau juga mengacuhkanku hanya karna aku slalu menggantungkan kata-kata, bukankah kau juga tak ingin menemuiku lagi hanya karna kau punya rasa terhadapku.” “Cukup-cukup, aku tak ingin mendengarnya lagi.” “Baiklah, aku akan menjawabnya kini, menjawab semua tanya yang slama ini mengganggumu. Aku akan jawab semuanya tanpa terkecuali, sekaligus ini pertemuan terakir kita seperti inginmu.”
Setitik gerimis mulai berjatuhan...
“Nawra, aku tak ingin mengulanginya kedua kali. Jadi dengarlah baik-baik.”
Malam...
Jika engkau sanggup memulihkan dukanya, maka aku akan berterimakasih.
Langit jika engkau sanggup menutupi sendunya maka aku akan berterimakasih.
Bulan jika engkau bisa mengelabui tangisnya maka aku akan berterimakasih.
Bintang jika engkau mau menghiburnya maka aku akan berterimakasih.
Bukan...bukan aku pengecut atau tak peduli.
Tidak... itu tidak benar.

Aku tau aku masihlah bodoh soal itu.
Aku bukan malaikat yang berhati suci, bukan peri dalam dongeng-dongeng sebelum tidur.
Aku bisa saja mengusap airmatanya ketika berlinang dan terjatuh, bisa saja ku mendekapnya ketika ia membutuhkan kehangatan, bisa saja menenangkan ia ketika ia terluka.

Bisa... aku bisa melakukannya.
Tapi aku malu pada-Nya, aku malu pada Maha Raja langit dan bumi.
Bagaimana mungkin aku menyentuhnya sedang aku belum mengikatnya.
Bagaimana mungkin aku menggandengnya sedang ia masih terpagar.
Bagaimana mungkin aku memboncenginya sedang ia bukan mahramku.

Aku malu...
Aku sangat malu.
Tapi aku tak kuasa bila terus melihatnya sendu dan pilu.
Aku tau itu adalah kelemahanku, aku sadar kalau itu ujian imanku.
Tapi, aku... aku akan  tetap menjadi bayangannya...
Aku akan terus menjadi bias wajahnya...
Ku harap ia tak pernah berpaling lagi.

Aku telah berjanji pada-Nya, aku akan datang dalam nyata.
Aku akan menjemputnya dalam do’a, aku akan mengkhitbahnya dalam usaha.
Meski aku jauh, meski aku belum berwujud, meski aku sendiri tak tau dimana.
Aku akan datang, membawanya menjadi permaisuriku, membawanya menjadi pelengkap kurangku, membawanya membangun masjid di jannah-Rabbku.
Bersabarlah...
One day in beuatiful day



[1] Shalat tahajud.
[2] Datang bulan, ini dimiliki oleh setiap wanita, biasanya 1-7 hari/ bulan.

Gadis Misterius

Seorang gadis kecil duduk termenung di perempatan jalan. Wajah polosnya terlihat begitu menyedihkan. Ku hampiri gadis malang itu sambil merogohkan duit 50 ribuan untuk ku sodorkan kepadanya. Dia hanya menatapku nanar, sinis dan tidak bersahabat. “Tenang, jangan kawatir. Aku tidak akan menyakitimu,” jelasku. Dia hanya tersenyum kecut seolah mencibir. “Laki-laki atau perempuan kalau ada maunya sama saja. Orang buta, orang tuli bahkan orang bisu yang masih sanggup sekalipun tetap saja memilih meminta daripada memberi.” Sambung gadis tersebut lebih kepada diri sendiri. 

 Aku hanya bisa menelan ludah, mendengar ucap gadis balia itu. Sejujurnya, aku sangat prihatin dengan kondisi masyarakat yang menjunjung tinggi demokrasi. Katanya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Tapi nyatanya, toh masih banyak rakyat jelata yang berkekurangan, kelaparan, menderita bahkan harus mengabdikan diri sebagai pengemis dan gelandangan. Mana janji penguasa untuk mensejahtrakan rakyatnya? Semua pertanyaan itu hanya terbentur tembok tikus berdasi. Katanya Demokrasi, tapi kok yang kenyang penguasa, yang jaya justru orang di dalam parlemen itu sendiri. Alangkah sedihnya jika orang-orang seperti ini dipertahankan atau terus dikembangbiakkan di bumi pertiwi. Ku lirik gadis balia di sampingku itu sekali lagi, diam-diam aku mengagumi sosoknya.

“Dik, kenalkan nama kakak Arya. Adik mau gak ikut kakak bergabung dengan teman-teman seusia adik?” Aku mencoba untuk menguasai situasi. Hening... lalu dia menggeleng, dan mulai beranjak. Aku menarik lengannya hingga terduduk kembali. “Ceritakanlah, apa masalahmu. Kakak akan sangat senang jika bisa membantu!”. Lagi-lagi dia hanya menggeleng dan mengisyaratkan untuk tidak menghalangi langkahnya lagi. Aku pasrah, lalu membiarkannya begitu saja. 





Di ujung jalan, seorang kakek tua melambai kearahku. Bukan, tepatnya ke arah gadis yang kutemui tadi. Gadis itu semakin mempercepat jalannya dan menghampiri sang kakek di ujung jalan. Kakek itu tersenyum dan membelai kepala cucunya yang tertutup kerudung. Aku hanya melihat adegan singkat itu dari kejauhan lalu menghilang tertelan deru jalanan.
Keesokan harinya, aku kembali ketempat semula. Berharap gadis yang kutemui kemaren kembali. 1 jam, 2 jam bahkan 3 jam berlalu begitu lamban. Sosok itu tetap tidak hadir. Aku pasrah. Ketika aku hendak beranjak, seseorang memukul pundakku lembut  dari belakang. Saat aku menoleh, tanpak wajah teduh sang kakek kemaren siang tersenyum ke arahku. “Ada yang bisa kakek bantu, anak muda?” tanya sang kakek lembut. Aku hanya tersenyum dan menggeleng. Seolah menangkap apa di pikiranku saat itu, sang kakek lalu menarik lenganku dan membawaku ke suatu tempat yang aku sendiri tak tau dimana. Namun aku seolah mendapatkan satu keanehan yang tak bisa ku deskripsikan. Tiba-tiba aku disodorkan sebuah amplop biru muda oleh sang kakek. Tanpa menunggu lebih lama, aku segera membuka isi amplop tersebut dan membacanya.
Assalamu’alaikum wr wb...
Untuk seseorang yang aku sendiri belum mengenalnya.
Em... biar aku tebak. Pasti engkau kini sedang dilanda kebingungan ya?
Kok aku bisa mengirimkanmu surat, padahal aku tak pernah menginginkan hadirmu sebelumnya.
Sejujurnya, aku telah mengenalmu, jauh sebelum tempo hari.
Kadang aku memang aneh...
Dan aku ingin engkau menikmati sebagian dari keanehanku itu
Kau tau! Selama ini, aku slalu memantau setiap gerakmu.
Bagaiamana, kapan, dimana dan untuk apa aku melakukannya?
Sebentar, jangan terburu-buru membombardirku dengan ribuan pertanyaan.
Aku hanya ingin memastikan saja.  
Apa benar, masih ada makhluk langka sepertimu di belahan bumi.
Dan mungkinkah engkau, orang yang slama ini kucari.
Entahlah...
Aku hanya sedikit penasaran, ya.. hanya sedikit.
Sejujurnya, pertama kali melihatmu aku sudah jatuh cinta.
Ya, cinta seorang penyelamat kegelapan jiwa yang kehausan.
Kau tau, sejak aku bisa berbicara, berpikir dan mulai mengenal dunia.
Sejak itu pula aku mulai mencari orang yang benar-benar ku percaya.
Banyak ragam yang ku jumpai, banyak karakter yang ku hadapi dan banyak tingkah yang telah ku jejali.
Semuanya membuatku ragu akan arti sebuah kepercayaan.
Ah... jangan berkerut dulu.
Sebenarnya aku telah lama hidup, hidup di sekelilingmu...
Hidup di hati orang-orang yang punya hati.
Disini  aku bisa merasakan saat-saat dimana kehausan kadang mengerogoti kehidupan
Kadang kebuasan nafsu mencakar naluri kemanusiaan.
Aku mafhum, karna aku hidup dihati orang-orang yang punya hati.
Terimakasih sudah menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumahku, semoga engkau tidak tersesat ketika pulangnya.
*Jadilah setitik cahaya, dalam kegelapan yang memekatkan.
Salam...
Sang pemilik hati.

Aku tersentak di sepertiga malam. Ku paksakan kaki dan beranjak ke arah saklar untuk menghidupkan lampu. Kulihat amplop biru yang sama seperti dalam mimpiku tergeletak tepat di samping tempat tidurku. Apa maksud semua ini...

Kisah Kasih Tak Berujung

Siapa sih yang tak ingin bahagia? Punya gedung bertingkat, mobil mengkilap, suami pejabat bahkan duit berlipat-lipat. Pasti jawabannya semua. Atau sebagian besar “Ya” semua ingin demikian. Namun manusia hanya mampu berkalam semata dan ber imaji sesuka hati. Toh yang menentukan segalanya, cuma satu. Allah Swt.
Sejak kecil, aku hampir tidak mengenal apa itu kebahagiaan, bagaimana bentuknya, apa saja di dalamnya. Tidak, aku tak pernah merasakannya sama sekali. Bagiku, bahagia hanyalah milik orang-orang berdasi, punya tahta dan jabatan. Duniaku tak jauh dari kata melarat dan menderita. Bayangkan, sejak kelas 4 SD. Aku sudah terbiasa tanpa kehangatan seorang ibu. 26 Desember 2004 telah menjadi saksi bisu atas kepergiannya. Hidup sebatang kara bertemankan sepi dan airmata, itu sudah lumrah. Mulai saat itu, aku yang masih kecil harus bertahan seorang diri di tengah-tengah kekurangan. Kemanakah sosok kepala keluarga yang disebut ayah, dimanakah sosok imam untuk anak dan istrinya. Sialnya pernyataan itu tak pernah terungkap keluar. Sejak kecil, aku sudah dibesarkan oleh seorang nelayan sekaligus tetangga jauhku yang baik hati. Ia mengasihiku dan menyayangiku seperti  anaknya sendiri, meski pada kenyataannya, ia sendiri belum berkeluarga. Harus ku akui, sejak saat itu pulalah ia tlah menggantikan status ayah kandungku. Namun setelah kepergian Ibu, aku tak berani lagi menyusahkannya, aku sudah besar dan harus bisa mandiri. Akupun mulai melepas  diri dari tanggungannya.
“Kasih, selamat ya. Dapat beasiswa! Ditunggu traktirannya.” Tatapan-tatapan itu seolah mencibirku. “Apa enaknya sih hidup bergantung pada beasiswa. Dimana-mana orang yang dapat beasiswa itu kolot, kuper dan ketinggalan zaman. bayangkan dunia yang ia tau hanya buku dan buku. Sekali-kali shopping donk, ke salon kek, atau sekedar cuci mata ke tempat-tempat terlarang.” “Nauzubillah.” Bagiku, dapat beasiswa jauh lebih bermartabat daripada memeras penghasilan rakyat yang tak berdosa. Sekali lagi kutegaskan.  Dunia yang demikian itu hanyalah milik orang-orang berdasi. Tidak untuk penjual sayuran , pedagang kaki lima, pengemis, juga anak yatim sepertiku.
Entah malam apa, laki-laki yang ku panggil ayah itu terseok-seok menghampiri ku malam-malam buta. Kulirik jam dinding yang kusam menunjukkan pukul 11 malam. Tampak seburat kelelahan dimatanya. “Kasih, ayah mendapati surat ini dari keluarga di Teunom. Katanya ia melihat ayah kandungmu di sana dan...” kata-kata selanjutnya, hening. “Dan apa ayah, cepat katakan.” Aku sudah tak sabar ingin mendengarnya.” Hamburku.
 Tiba-tiba, laki-laki yang ku panggil ayah itu memelukku dan menangis. “Kenapa ayah, kok menangis?” aku tau, ayah menangis karna takut  kehilanganku kan? Atau ayah mengira kalau aku akan melupakanmu?” Isak ayah semakin menjadi. Ayah berikan surat itu untukku, biar ku baca sendiri. Lemas, seolah ada ribuan jarum menusuk dan menghujam isi otakku. Sakit? Tidak. Itu belum seberapa, dibanding isi surat ini.
Assalamu’alaikum Wr Wb...
Bagaimana kabarmu dan keluarga? Kuharap kalian semua slalu dalam limpahan Rahmat dan MahabbahNya.
Langsung saja, beberapa hari lalu. Saya sudah menemukan ayah kandung Kasih. Diluar dugaan, saya justru bertemu dengannya di acara pernikahan ponaan saya di daerah Meulaboh, Aceh Jaya.  Kau tau, saya kaget bukan main. Awalnya saya lebih memilih untuk membungkam dan melupakan segala yang bersangkutan tentangnya. Tapi, saya tak ingin mengingkari janji yang pernah saya ikrarkan sebelumnya. Janji tetaplah janji. Dan janji adalah hutang yang harus ditepati.
 Waktu itu ingin sekali saya menghajarnya sampai babak belur. Tapi sekali lagi, saya tak ingin berjalan terlalu jauh. Maaf!
Semoga surat ini bisa memberi jawaban atas pencarianmu slama ini.
Wassalam
Cut Ngoh[1] di Teunom
            Setelah itu, aku tak pernah lagi mendengar kabar tentang ayah. Hingga  2012 lalu mengantarkanku menjadi salah satu mahasiswi Tarbiyah, jurusan Bahasa Inggris di UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Lembaran demi lembaran baru pun mulai ku buka. Aku percaya, roda kehidupan pastilah berputar. Sungguh Allah Maha Mengetahui nasib setiap hamba-hambaNya.


[1] Saudara perempuan yang tengah.