Tuesday, May 27, 2014

27 Mei 2014

Ketika mereka yang kita cinta percayakan kita..
Ketika sahabat yang kita sayang percayakan kita..
Ketika teman dekat yang kita kasih percayakan kita...
Bahkan ketika orang yang tak kita kenal percayakan kita..
Haruskah kita menolak?
Haruskah kita menyingkir?
Haruskah... haruskah...
Itulah yang kurasakan saat usia itu genap 20th. Aku sudah memikirkan semua akibatnya matang-matang, bahkan sebulan sebelum tanggal itu tiba. Aku bertekad, aku harus ini.. aku harus begitu... aku sudah ini.. aku sudah begitu. Begitu banyak ungkapan-ungkapan yang terlintas di kepala, meraung-raung dalam rongga, ingin segera muntah dan keluar saja.
Tapi apa...
Ketika aku sudah menghadapi ia, merasakan hadirnya, mendekapnya langsung dengan mata. Aku justru takut, aku malah kawatir, aku mulai gelisah tak alang keringat panas-dingin mulai tumpah satu-satu. Saat ucapan selamat dari semua teman, sahabat, keluarga dan kerabat lainnya terlontar.
Aku terlempar jauh... sangat jauh.
Bagaimana mungkin, beban yang ku tanggung selama ini sudah sangat berat. Tapi, sekarang jauh lebih berat lagi. Tanggungjawab yang ku lakoni dulunya berat, tapi kini jauh lebih berat dari berton-ton benda padat.
Kata orang dua puluh itu adalah angka keramat...
Dua puluh itu angka mujarab...
Dua puluh itu angka (ah bingung saya cari akhiran yang sama)
Tapi, kali ini dua puluh menamparku talak.
 “Kebaikan apa yang sudah kau bekalkan nanti?
Kemana saja kaki itu kau langahkan?
Dimana saja kau habiskan waktu selama ini?
Sudahkah kau tundukkan pandangan ketika adam memandang?
Sudahkah kau tutupi auratmu sempurna?
Berapa lama kau habiskan waktu untuk mengunjing saudaramu?
Seberapa sulitkah engkau memaafkan dosanya?
Mengapa engkau biarkan saudaramu terbuka dan tak merasa malu?
Apakah kau sudah menjaga hati?
Bagaimana kau menunduk sedang yang lain masih menengadah?
Apa kau sudah siap dengan kematian?
Sudahkah kau beribadah selama ini?
Berapa banyak ibadah yang belum kau penuhi?
Berapa jumlah uang saudaramu yang belum kau lunasi?
Apa yang akan kau lakukan ketika engkau dipanggil kini?

Hening...
Nyanyian ilalang menyibak sunyi..
Pertanyaan itu seolah cambuk yang terus menikam kelamku, menusuk malamku dan mengoyak senjaku.
Apa yang harus kulakukan dengan angka dua puluh?
Ia begitu dekat... dekat.. dan mengikatku erat.. kuat... lekat
Aku takut... aku tak kuat..
Aku takut.. aku terjerat..
Aku takut.. aku terperangkap.
Aku takut, aku sesat.

Dimana..
Dimanakah cahaya putih yang menunggumu selama ini?
Katakan aku akan siap menjemputmu tanpa aba-aba.
 
Add caption
Terimakasih buat mak, ayah, adik, keluarga, sahabat, teman, akhwat dan ikhwan yang sudah mengucapkan selamat atas hadirku. Tapi aku masih takut, kalau aku belum mampu memikul semuanya sekaligus. Bantu aku menuju dewasa yang hakiki.
:’(

Apa Yang Kau Tau???

Beri aku secercah ampunan sedang aku berkubang dosa
Beri aku segenggam harapan sedang aku bermandikan kecewa
Beri aku sepercik maaf sedang aku berlumur khilaf
Beri aku...
Beri aku...
Beri aku secuil kasih sedang aku bermandikan risih
Beri aku seutas cinta sedang aku bermandikan dusta
Beri aku setetes sayang sedang aku obralkan kelam.
Beri aku..
Beri aku...
Sudah cukup.. cukup itu yang dulu.
Ucapan-ucapan selamat terus mengalir atas hadirku. Dari mana saja tak terkecuali sosial media, individual media hingga group media. Mulai dari massage yang instan-instan sampai yang langsung ngetuk-ngetuk pintu hanya untuk sebuah ucapan (***). Senang? Siapa yang enggak! Bahkan ketika diumumkan engkau sukses menjadi salah satu kandidat seorang bayi yang akan lahir, semua juga pasti bahagia. Tapi aku tau, kamu tak pernah bahagia. Ketika tatapan-tatapan sendu itu menghujammu. Engkau malah menangis. Dunia saksi lahirmu, dunia pula yang kan menghakimimu kelak. Sadarlah...
Selasa, 00.00 malam. Kini usiaku genap sudah berkepala dua,  maju satu langkah dalam antrian tiket kematian, mengambil posisi untuk bersiap kembali. Saat semua mengucapkan do’a dan selamat. Saat semuanya tersenyum hangat dan semangat, menyalamiku, mendekapku layaknya rentetetan semut yang beriringan. Aku tak bisa apa-apa. Aku senang, tapi aku takut, senangku ini justru menjadi bola panas yang kan menghujam haluanku kelak. Semakin tinggi pohon menjulang, semakin kuat angin bertiup.

Apa yang sudah ku berikan pada-Nya?
Apa yang sudah ku paketkan pada-Nya?
Apa yang sudah ku kirim pada-Nya?
Kosong...
Kosong...
Kosong...
            Sejauh ini, aku hanya bisa menengadah dan memohon, meraung dan meminta...
Dia beri apa yang ku minta, namun aku lalai atas lipstik kepalsuan. Aku tak pernah sadar, bahkan dengan tega aku terus mengulangnya...mengulangnya hingga beberapa waktu.
Kemudian, Dia beri lagi apa yang ku ucap, Dia beri kembali apa yang ku lafadh. Tapi aku lupa, lupa akan diri, lupa akan hati, lupa akan naluri. Aku meminta lagi lagi lagi...
Tak kupikir bersyukur walau sekali. Aku terus menengadah.. meminta... memohon... Namun kini, tak kudapat apapun selain hina dan dosa. Aku ditegur atas angkuhku, ditegur atas riaku, ditegur atas hasut dan dengkiku.
Sakit, sulit, sempit.
Aku tersungkur lesu di ujung malam.

Thanks for 20-th
My Special Moment

Dari Teman Hayalan

Assalamu’alaikum Nawra..
Apa kabarmu hari ini?
Sehatkah?
Sendukah?

Ah aku tau, kau pasti sedang tak henti-hentinya ketiban ucapan selamat ulang tahun bukan?
Aku tak melupakan itu kok!
Sebagai kembaran tercantik dan terimoed aku juga ikut ngantri hanya untuk ngucapin mu selamat (jangan marah, ini kenyataannya)

Baik..
Aku memulainya dari mana yah?
Em...
Aku masih gugup.
Aku belum pernah menulis surat sebelumnya, bagaimana ini.
Em.. ah... oke.
Aku mulai dari sini saja

Hening... nyanyian ilalang bersahutan, memecah tabir senja yang kerontang.
aku terkesiap, tatkala lonceng hati berdering 12x
teng...teng..teng...
teng...teng...teng...
teng...teng..teng...
teng...teng...teng...
tiba sudah penantian itu.

Aku melihat sosok bayangan memasuki raga yang lelap, membisikkan mantra-mantra tanpa lafadh Lalu ia tersenyum dan meninggalkan kertas putih dengan sebatang bolpoint. Kulirik benda itu lekat-lekat, namun aku kaget bukan main. Tatkala aku menemukan sesuatu di sana.

“Jangan pernah tersenyum padaku, bila engkau tak bisa tersenyum pada lainnya
Jangan pernah menangisiku, bila yang kau tangisi bukanlah seharusnya
Bungkam... sumpal semuanya.
Bungkam.. sumpal seluruhnya..
Ini bahagiamu, tapi tak pernah kau berbagi pada-Nya
Ini senangmu namun tak kau ungkap dengan-Nya
Jangan, jangan...
Butakan saja mulutmu...
Bungkamkan matamu...
Bisukan telingamu...
Tulikan saja lisanmu.
Aku tau, Aku Maha Tau.


Wednesday, May 21, 2014

JJS (JUNGKIR-JUNGKIR ON THE STREET)



Tepat jam 16.00, aku sudah siap lengkap dengan tas ransel dan pakaian resmi ke kampus. Tiba-tiba, hp bergetar sesaat. Aku melihat layar kelap-kelip menandakan ada satu  pesan masuk. Segera ku buka, dan....
Agrhhh.. ingin sekali aku berteriak kencang, lebih kencang, paling kencang, paliiiiiinnnngggggggggggg kencang lagi.
”Salam.. Listening kita gak masuk ya.” J
From “Kiwil”(Nama samaran, tapi ada benarnya).
“Mak anakmu galau, masak udah capek solek santek-santek selama tiga jam, malah gak jadi masuk kuliah.” (WARNING! Jangan dibayangin gimana wajah ane saat itu yah). Meski kesal, aku tetap menebar senyum lho, kata ust, senyum itu sedeqah yang paling mudah. Jadilah semuanya ku ajak senyum. Tak terkecuali (guling, bantal, kasur, dinding, cermin, nyamuk, semut, laba-laba, kecoak, dll, dsb, dst, dan kawan-kawannya).
Bosan... aku mulai bosan senyam-senyum sendiri. Ku cari makhluk ajaib yang bisa berbicara langsung tanpa harus bertatap muka sekalipun. Dengan lihai ku ketik tombol-tombol yang tak berbentuk lagi. Aku tersenyum ketika seorang perempuan mengangkatnya. “syukurlah, lebih cepat dari yang kubayangkan.”
Your number calling is busy, please try again in the few minutes.(hey, ini bukan suara Nobita, tapi ini....!!!).
Hening....
Lima menit kemudian, aku kembali menekan nomor yang sama. Lagi-lagi yang mengangkatnya juga masih suara yang sama, bedanya kali ini suara itu terdengar disertai terjemahannya “Maaf, nomor yang anda tuju sedang sibuk. Cobalah beberapa saat lagi!” Dengan kesal kubanting hp yng tak berdosa itu di atas kasur. Tiba-tiba “prang!”  Terdengar suara piring pecah (loh...? Kok gak nyambung). Lalu kupungut lagi hp yang mulai terduduk lemas, aku masih saja ngotot dan belum ada kapok-kapoknya. Kini aku berinisiatif untuk mengirimnya sms “Nob, JJS yok!” (baca, Jungkir-Jungkir On the Street).
Satu menit... dua menit... lima menit...sepuluh menit...
“Dasar Nobita!” geramku.
Lalu aku mulai menekan kontak yang lain. “tut... tut... tut...”terhubung!
“Iim, kita ke Syiah Kuala ya. Gak mau tau, bentar lagi kakak jemput.” (kali ini pasang suara banteng, biar terdengar horor dikit). “Em, iya kak. Tapi...” (Hp mati).
Hehehee... di ujung Lingke, aku terkekeh sendiri, betapa nikmatnya hidup ini bila dilakukan sepenuh hati... (lirik tanpa lagu). Sekitar lima belas menit kemudian, aku sudah sampai di kost-an Nobita. (Gak ada expresi -_-) “Kemana kita?” tanyanya sok basa-basi (padahal jelas aku udah ngabisin pulsa buat telpond dia, tapi dengan tega justru dia selingkuh dan ngebiarin mbak-mbak yang tak ku tau identitasnya ngomong sendiri. Eh, pas dicek paketnya belum berkurang sama sekali. Ckckck). “Mau kemana kita?” Prok-prok-prok-prok... “Syiah Kuala” “Mau kemana kita?” prok-prok-prok-prok “Syiah Kuala”. “Mau kemana kita?” prok... “cukup-cukup, Nola d’explorel tayangnya sabtu-minggu. Sontak Nobita kabur dan bersemayam di kamar mandi “Pergilah kau, pergi dari hidupku...” “Sungguh teganya, teganya, teganya...” aku pun pergi, meninggalkan Nobita seorang diri, bukan apa-apa. Kalau aku lebih sabar lagi, maka aku akan siap masak seketika dia kembali menemuiku (It’s so long beb, i can’t waiting for more...).
Selamat dari Nobita, nyangkut di kost Iim. “Angkat donk, angkat donk... gue mau ngomong... angkat donk, angkat donk, gue, dang... ding... dong). Di situ lebih sedih lagi, udah nunggu lima menit, dikawal lagi sama nenek-nenek (ini tambahan penulis biar keliatan lebih exstream lagi). Sesaat, Iim yang ditunggu pun datang. “Akhirnya...” Fiuh, buang nafas.. fiuh.. buang lagi.. fiuh lagi...”Eh, kakak gak asma kan?” Sambil garuk-garuk aspal! “Asma sih enggak dek, tapi as... as... asma soho yahooo (iklan).
Misi kedua selesai. Aku mengantar Iim sampai ke kost Nobita lagi dan menemukannya dalam keadaan tergeletak. “Kenapa? Panggil ambulance” namun yang terjadi... jreng.. jreng... “Cayya.. cayya.. cayya.. cayya.. cayya... cayya.. cayya..cayya..cayya.. cayya”. (sontak kami ber-O ria).
Tepat pukul 17.30, kami berempat sudah berkumpul (Aku, Nobita, Iim dan terakir Anuk). Sebelum berangkat, berdo’a pun dimulai... (baca do’a sesuai kemampuan nafsi-nafsi, ckckck).
Beat mulai bergerak, meninggalkan Darussalam. Semilir angin sore ikut menghiasi jejak keempat pengkelana yang tak bisa diam. Tak lama kemudian, kami sudah sampai di lampu merah Lampriet. Mempercepat laju dan mengejar lampu hijau yang mulai bergerak merah. (Hap-hap, lalu ditangkap). Motor bebek merah vs putih itu bergerak ke arah Lam Dingin, melewati beberapa perumahan warga yang berjejer rapi di sepanjang jalan. Kemudian berbelok sebelah kanan dan lurus saja hingga menemukan ujung jalan ke arah Makam Syiah Kuala[1]. Tiba di sana, kami tak ingin membuang-buang waktu. Langsung saja (Jepret... jepret... ciieerrrssss...) “eh, tunggu, ane juga dunk” Teriakku. Adegan selfie-selfiean pun terus berlanjut. Hingga, semuanya harus diakiri ketika ada suara aneh yang terus menganggu pendengaran (kruukkk... krukkk) “Suara siapa itu?” tanya Nobita. (Suaraku, sahut sang mkhluk). “Dimana? Kok gak keliahatan?” (Aku diperutmu) wak wak wak...
TRIO KWEK-KWEK

Sontak kami tertawa, ketika menyadari makhluk di perut Nobitalah yang teriak minta dikasihani. Tak jauh dari situ, kami melihat ada bapak penjual bakso goreng, baunya saja sudah tercium hingga jarak 10 meter. Tanpa menunggu aba-aba lagi, kami berempat segera berhambur dan menyerbu gerobak milik beliau. Rp. 15.000,- kami habiskan buat membeli bakso-bakso itu, ternyata tidak hanya perut Nobita yang minta dikasihani, perut-perut yang lain jugak tak mau kalah bersahut-sahutan. setelah membayar lunas (Gak pake ngutang), langsung saja, kami mencari tenpat yang strategis namun tetap exis berkodak ria. Kami berempat memutuskan untuk menaiki tambul-tambul di sepanjang pantai Syiah Kuala. Menyantap bakso goreng merupakan andalan kami ketika bepergian seperti ini, sesekali kerlap-kerlip camera L-300 (baca, L-60) ikut mengabadikan jejak-jejak kami yang tersapu keringat. (huaaaaahhhhhhh, pedasnye).
Lagi nungguin bakso bakar...
MAKNYUUUUUSSSSS!!

Sebelumnya SELFIE dulu
^_^
Senja mulai menghimpit, orang-orang mulai berdatangan memenuhi lokasi Makam Syiah Kuala, kebetulan sore itu ada zikir akbar digelar di sana. Namun, kami memutuskan untuk pulang lebih awal dan melaksanakan shalat magrib di mesjid Oman.
 
Senja di Syiah Kuala Beach


[1] Lokasi tempat objek wisata spiritual yang berupa Makam Syiah Kuala ini terletak di daerah pinggir Pantai, atau lebih tepatnya muara Sungai Aceh, yang terletak Desa Deyah Raya, Kecamatan Syiah Kuala, kota Banda Aceh, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Lokasi objek wisata Makam Syiah Kuala ini sangat mudah di temukan karena tidak begitu jauh jaraknya dari pusat kota, di sekitaran kawasan Kreung Aceh, mungkin hanya sekitar 3 kilometer saja. Anda bisa menggunakan kendaraan pribadi anda, atau anda juga bisa memilih naik angkutan umum yang ada. (sumber: http://jalan2.com/city/banda-aceh/makam-syiah-kuala/)

Saturday, May 10, 2014

Masihkah Aku Sahabatmu???

Assalamu’alaikum Wr Wb...


Maaf, mengganggumu lagi-lagi dengan tulisan ini..
Aku tak berharap banyak...
Aku hanya ingin engkau membacanya, meski hanya sekali seumur hidup.

Sahabat...
Maaf memanggilmu dengan sebutan yang paling kau benci.
Aku tau aku salah...
Mungkin juga tak akan pernah termaafkan lagi...
Tapi ku mohon, jangan terlalu lama membisukanku seperti ini.
Aku tak sanggup...
Aku masih menganggapmu ada..
Jangan lakukan ini terus-menerus terhadapku...
Selama  ini aku hanya berpura-pura...
Mencoba melupakanmu, dan menghapus segala tentangmu diam-diam
Ternyata itu terlalu beresiko.

Sahabat...
Kau tau...
Sejak engkau memutuskan untuk pergi dan menjauh..
Aku tak pernah lagi merasakan hangatnya mentari...
Tak pernah lagi melihat pelangi,  yang dulu selalu
Mengabarkan keindahan tentang kita

Sahabat...
Jujurku...
Slama ini aku hanya bisa memakai topeng kebohongan
Untuk menutupi segala bentuk mendung yang bergelantungan

Sahabat...
Aku tak tau, sampai kapan aku masih bisa bertahan.
Kurasa aku sudah tidak kuat lagi...
Aku ingin pergi...
Pergi sejauh mungkin...
Menanggalkan sajak-sajak masa lalu yang masih berbekas
Aku tak ingin melihat roman itu lagi
Aku tak kuat...
Sedang aku hanya mampu bermandikan butir-butir riam sepanjang hayat

Sahabat...
Aku tak meminta lebih...
Aku hanya ingin satu kesempatan darimu
Tetaplah menjadi sahabatku
Sekarang dan selamanya.

Bukan Puisi Cinta

Aku tersadar... disinilah arti keikhlasan kutangkap.
Aku tersadar... disinilah arti ketulusan kudekap.
Di tempat ini...
Di tempat ku berdiri...
Bukan yang lain.

Meski ribuan sajak ku ukir...
Meski jutaan sya’ir ku rangkai...
Tak mampu...
Takkan pernah bisa...
Mewakili arti kasihmu padaku.
Begiru besar, takkan terdata.

Kau tak pernah meminta untuk kusayangi...
Tak meminta untuk kucintai...
Bahkan engkau malah menolak tatkala aku memberi...
Engkau enggan menerima, meski yang ku sodor segudang intan permata.

Aku tak mengerti...
Aku hanya terbengong akan semua ulahmu.

Lalu kau datang, tersenyum... dan berkata.
“Ketahuilah, jika aku menerima semua itu darimu...
Aku takut, aku takkan menerima apa-apa dari Tuhanku kelak”
Benarkah???

Apakah ia sedang menasehatiku...
Apa ia sedang menegurku...
Atau ia sedang mengasihiku...

Ah, otakku lagi-lagi tumpul dan berkarat.
Terlalu lambat untuk diajak berpikir jernih.

Namun, esoknya engkau datang lagi...
Tersenyum lagi...
Dan berkata lagi...
“Ambillah ukhti...
 Semoga ini bisa mengingatkan kita akan lupa..
Menyadarkan kita akan khilaf...
Menguatkan kita akan lemah”.

Aku mengambilnya...
Menggenggamnya erat dalam tetes ratap....
Yah, Al-Matsurat biru itu kini tlah bertukar tuan..
Selamanya...
Selama-lamanya...

W/ Ukhti Imar

Perjalanan Nanti

Raqib dan atid tak akan terpesona dengan keelokan parasmmu
Mungkar dan Nagkir tak pernah tergoda oleh mulusnya kulitmu
Malik dan Ridhwan tak pernah lena dengan balutan tubuhmu
Tangan-tangan sang Maha Raja tak akan bergurau!
Memuja.... Menyembah tak bisa dihalau.
“Kun Fayakuun!!!”
Maka segalanya menjadi MUNGKIN

Malaikat-malaikatNya tak pernah melihat seberapa besar  ototmu
Tak melihat seberapa encer otakmu
Tak melihat seberapa terkenal kelicikanmu

KuasaNya lebih hebat daripada kebohongan yang engkau perankan
Berlaripun tak kan bisa menghindarinya.

Itulah potret perjalanan nanti.....
Tak ada gelak tawa bersama secangkir air hina
Tak kan ada nyanyian-nyanyian setan yang meneriakan keangkuhan diri

Semua jiwa merana menelan bara.
Sang Maha Raja memerankan kuasaNya.
Mampukah kita bertahan ?
sumber : Google Image

Thursday, May 8, 2014

LALU...

Apakah engkau masih mengingatku?
Gadis kecil dengan mata sipit yang slalu  kau ganggu.
Ingatkah engkau?
Kini ia tidaklah selugu dulu..
Keadaan tlah banyak mengubah fisik dan idenya
Mungkin engkau tak mengenalinya lagi jika ia tak memulai menyapa.

Ah...
Ingatanmu terlalu payah dan lamban
Tapi aku tetap suka.
Apapun bentukmu.
Aku tetap suka,.
Dari dulu hingga dulu lagi.

Fatma & Yoga

Monday, May 5, 2014

Sebuah Penantian

7 warna terukir indah di ujung pelangi
Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu
Merekah tatkala rinai menyapa
Sesekali terdengar riak bergetar
Tertimpa oleh gurindam yang ikutan malu-malu

Aku terduduk di tepian dermaga nan bening
 Terpaku, menatap pasi bias diri
Berharap, aku dapat melihat bayangan wajahnya yang terlintas.

Tapi, sia-sia sudah usahaku.
Disana tak kutemukan siapa-siapa
Selain potret aku dengan kesendirian

Kekosongan pun mulai mengisi jiwaku yang kering kerontong
Merana dalam kevakuman asa tiada berujung.

Kini ku mulai rindu...
Rindu cara ia, membelai wajahku manja
Rindu akan sentuhan-sentuhan hangat
Ayat-ayat cinta yang pernah dilafadzkan untukku

Rembulanku!
Dimanakah kau kini?
Aku tlah lama berkelana mencari jejakmu yang hilang

Permata hatiku!
Katakanlah, kemana lagi kaki ini harus ku langkah.
Agar aku bisa mendekapmu seperti dulu
Menembus batas tabir, yang mencoba memisahkan kita
Ku mohon, katakanlah!

Lambat laun 7 warna itu tenggelam di peraduan...
Mengabdi pada titah sang penguasa langit

Namun aku percaya, suatu saat nanti
Pelangi itu kan datang kembali
Mempertemukan samudra hati yang tlah lama terpisah raga
Menyatu dan saling memadu kasih, dalam mahligai cinta yang hakiki.

Me

Tuesday, May 27, 2014

27 Mei 2014

Ketika mereka yang kita cinta percayakan kita..
Ketika sahabat yang kita sayang percayakan kita..
Ketika teman dekat yang kita kasih percayakan kita...
Bahkan ketika orang yang tak kita kenal percayakan kita..
Haruskah kita menolak?
Haruskah kita menyingkir?
Haruskah... haruskah...
Itulah yang kurasakan saat usia itu genap 20th. Aku sudah memikirkan semua akibatnya matang-matang, bahkan sebulan sebelum tanggal itu tiba. Aku bertekad, aku harus ini.. aku harus begitu... aku sudah ini.. aku sudah begitu. Begitu banyak ungkapan-ungkapan yang terlintas di kepala, meraung-raung dalam rongga, ingin segera muntah dan keluar saja.
Tapi apa...
Ketika aku sudah menghadapi ia, merasakan hadirnya, mendekapnya langsung dengan mata. Aku justru takut, aku malah kawatir, aku mulai gelisah tak alang keringat panas-dingin mulai tumpah satu-satu. Saat ucapan selamat dari semua teman, sahabat, keluarga dan kerabat lainnya terlontar.
Aku terlempar jauh... sangat jauh.
Bagaimana mungkin, beban yang ku tanggung selama ini sudah sangat berat. Tapi, sekarang jauh lebih berat lagi. Tanggungjawab yang ku lakoni dulunya berat, tapi kini jauh lebih berat dari berton-ton benda padat.
Kata orang dua puluh itu adalah angka keramat...
Dua puluh itu angka mujarab...
Dua puluh itu angka (ah bingung saya cari akhiran yang sama)
Tapi, kali ini dua puluh menamparku talak.
 “Kebaikan apa yang sudah kau bekalkan nanti?
Kemana saja kaki itu kau langahkan?
Dimana saja kau habiskan waktu selama ini?
Sudahkah kau tundukkan pandangan ketika adam memandang?
Sudahkah kau tutupi auratmu sempurna?
Berapa lama kau habiskan waktu untuk mengunjing saudaramu?
Seberapa sulitkah engkau memaafkan dosanya?
Mengapa engkau biarkan saudaramu terbuka dan tak merasa malu?
Apakah kau sudah menjaga hati?
Bagaimana kau menunduk sedang yang lain masih menengadah?
Apa kau sudah siap dengan kematian?
Sudahkah kau beribadah selama ini?
Berapa banyak ibadah yang belum kau penuhi?
Berapa jumlah uang saudaramu yang belum kau lunasi?
Apa yang akan kau lakukan ketika engkau dipanggil kini?

Hening...
Nyanyian ilalang menyibak sunyi..
Pertanyaan itu seolah cambuk yang terus menikam kelamku, menusuk malamku dan mengoyak senjaku.
Apa yang harus kulakukan dengan angka dua puluh?
Ia begitu dekat... dekat.. dan mengikatku erat.. kuat... lekat
Aku takut... aku tak kuat..
Aku takut.. aku terjerat..
Aku takut.. aku terperangkap.
Aku takut, aku sesat.

Dimana..
Dimanakah cahaya putih yang menunggumu selama ini?
Katakan aku akan siap menjemputmu tanpa aba-aba.
 
Add caption
Terimakasih buat mak, ayah, adik, keluarga, sahabat, teman, akhwat dan ikhwan yang sudah mengucapkan selamat atas hadirku. Tapi aku masih takut, kalau aku belum mampu memikul semuanya sekaligus. Bantu aku menuju dewasa yang hakiki.
:’(

Apa Yang Kau Tau???

Beri aku secercah ampunan sedang aku berkubang dosa
Beri aku segenggam harapan sedang aku bermandikan kecewa
Beri aku sepercik maaf sedang aku berlumur khilaf
Beri aku...
Beri aku...
Beri aku secuil kasih sedang aku bermandikan risih
Beri aku seutas cinta sedang aku bermandikan dusta
Beri aku setetes sayang sedang aku obralkan kelam.
Beri aku..
Beri aku...
Sudah cukup.. cukup itu yang dulu.
Ucapan-ucapan selamat terus mengalir atas hadirku. Dari mana saja tak terkecuali sosial media, individual media hingga group media. Mulai dari massage yang instan-instan sampai yang langsung ngetuk-ngetuk pintu hanya untuk sebuah ucapan (***). Senang? Siapa yang enggak! Bahkan ketika diumumkan engkau sukses menjadi salah satu kandidat seorang bayi yang akan lahir, semua juga pasti bahagia. Tapi aku tau, kamu tak pernah bahagia. Ketika tatapan-tatapan sendu itu menghujammu. Engkau malah menangis. Dunia saksi lahirmu, dunia pula yang kan menghakimimu kelak. Sadarlah...
Selasa, 00.00 malam. Kini usiaku genap sudah berkepala dua,  maju satu langkah dalam antrian tiket kematian, mengambil posisi untuk bersiap kembali. Saat semua mengucapkan do’a dan selamat. Saat semuanya tersenyum hangat dan semangat, menyalamiku, mendekapku layaknya rentetetan semut yang beriringan. Aku tak bisa apa-apa. Aku senang, tapi aku takut, senangku ini justru menjadi bola panas yang kan menghujam haluanku kelak. Semakin tinggi pohon menjulang, semakin kuat angin bertiup.

Apa yang sudah ku berikan pada-Nya?
Apa yang sudah ku paketkan pada-Nya?
Apa yang sudah ku kirim pada-Nya?
Kosong...
Kosong...
Kosong...
            Sejauh ini, aku hanya bisa menengadah dan memohon, meraung dan meminta...
Dia beri apa yang ku minta, namun aku lalai atas lipstik kepalsuan. Aku tak pernah sadar, bahkan dengan tega aku terus mengulangnya...mengulangnya hingga beberapa waktu.
Kemudian, Dia beri lagi apa yang ku ucap, Dia beri kembali apa yang ku lafadh. Tapi aku lupa, lupa akan diri, lupa akan hati, lupa akan naluri. Aku meminta lagi lagi lagi...
Tak kupikir bersyukur walau sekali. Aku terus menengadah.. meminta... memohon... Namun kini, tak kudapat apapun selain hina dan dosa. Aku ditegur atas angkuhku, ditegur atas riaku, ditegur atas hasut dan dengkiku.
Sakit, sulit, sempit.
Aku tersungkur lesu di ujung malam.

Thanks for 20-th
My Special Moment

Dari Teman Hayalan

Assalamu’alaikum Nawra..
Apa kabarmu hari ini?
Sehatkah?
Sendukah?

Ah aku tau, kau pasti sedang tak henti-hentinya ketiban ucapan selamat ulang tahun bukan?
Aku tak melupakan itu kok!
Sebagai kembaran tercantik dan terimoed aku juga ikut ngantri hanya untuk ngucapin mu selamat (jangan marah, ini kenyataannya)

Baik..
Aku memulainya dari mana yah?
Em...
Aku masih gugup.
Aku belum pernah menulis surat sebelumnya, bagaimana ini.
Em.. ah... oke.
Aku mulai dari sini saja

Hening... nyanyian ilalang bersahutan, memecah tabir senja yang kerontang.
aku terkesiap, tatkala lonceng hati berdering 12x
teng...teng..teng...
teng...teng...teng...
teng...teng..teng...
teng...teng...teng...
tiba sudah penantian itu.

Aku melihat sosok bayangan memasuki raga yang lelap, membisikkan mantra-mantra tanpa lafadh Lalu ia tersenyum dan meninggalkan kertas putih dengan sebatang bolpoint. Kulirik benda itu lekat-lekat, namun aku kaget bukan main. Tatkala aku menemukan sesuatu di sana.

“Jangan pernah tersenyum padaku, bila engkau tak bisa tersenyum pada lainnya
Jangan pernah menangisiku, bila yang kau tangisi bukanlah seharusnya
Bungkam... sumpal semuanya.
Bungkam.. sumpal seluruhnya..
Ini bahagiamu, tapi tak pernah kau berbagi pada-Nya
Ini senangmu namun tak kau ungkap dengan-Nya
Jangan, jangan...
Butakan saja mulutmu...
Bungkamkan matamu...
Bisukan telingamu...
Tulikan saja lisanmu.
Aku tau, Aku Maha Tau.


Wednesday, May 21, 2014

JJS (JUNGKIR-JUNGKIR ON THE STREET)



Tepat jam 16.00, aku sudah siap lengkap dengan tas ransel dan pakaian resmi ke kampus. Tiba-tiba, hp bergetar sesaat. Aku melihat layar kelap-kelip menandakan ada satu  pesan masuk. Segera ku buka, dan....
Agrhhh.. ingin sekali aku berteriak kencang, lebih kencang, paling kencang, paliiiiiinnnngggggggggggg kencang lagi.
”Salam.. Listening kita gak masuk ya.” J
From “Kiwil”(Nama samaran, tapi ada benarnya).
“Mak anakmu galau, masak udah capek solek santek-santek selama tiga jam, malah gak jadi masuk kuliah.” (WARNING! Jangan dibayangin gimana wajah ane saat itu yah). Meski kesal, aku tetap menebar senyum lho, kata ust, senyum itu sedeqah yang paling mudah. Jadilah semuanya ku ajak senyum. Tak terkecuali (guling, bantal, kasur, dinding, cermin, nyamuk, semut, laba-laba, kecoak, dll, dsb, dst, dan kawan-kawannya).
Bosan... aku mulai bosan senyam-senyum sendiri. Ku cari makhluk ajaib yang bisa berbicara langsung tanpa harus bertatap muka sekalipun. Dengan lihai ku ketik tombol-tombol yang tak berbentuk lagi. Aku tersenyum ketika seorang perempuan mengangkatnya. “syukurlah, lebih cepat dari yang kubayangkan.”
Your number calling is busy, please try again in the few minutes.(hey, ini bukan suara Nobita, tapi ini....!!!).
Hening....
Lima menit kemudian, aku kembali menekan nomor yang sama. Lagi-lagi yang mengangkatnya juga masih suara yang sama, bedanya kali ini suara itu terdengar disertai terjemahannya “Maaf, nomor yang anda tuju sedang sibuk. Cobalah beberapa saat lagi!” Dengan kesal kubanting hp yng tak berdosa itu di atas kasur. Tiba-tiba “prang!”  Terdengar suara piring pecah (loh...? Kok gak nyambung). Lalu kupungut lagi hp yang mulai terduduk lemas, aku masih saja ngotot dan belum ada kapok-kapoknya. Kini aku berinisiatif untuk mengirimnya sms “Nob, JJS yok!” (baca, Jungkir-Jungkir On the Street).
Satu menit... dua menit... lima menit...sepuluh menit...
“Dasar Nobita!” geramku.
Lalu aku mulai menekan kontak yang lain. “tut... tut... tut...”terhubung!
“Iim, kita ke Syiah Kuala ya. Gak mau tau, bentar lagi kakak jemput.” (kali ini pasang suara banteng, biar terdengar horor dikit). “Em, iya kak. Tapi...” (Hp mati).
Hehehee... di ujung Lingke, aku terkekeh sendiri, betapa nikmatnya hidup ini bila dilakukan sepenuh hati... (lirik tanpa lagu). Sekitar lima belas menit kemudian, aku sudah sampai di kost-an Nobita. (Gak ada expresi -_-) “Kemana kita?” tanyanya sok basa-basi (padahal jelas aku udah ngabisin pulsa buat telpond dia, tapi dengan tega justru dia selingkuh dan ngebiarin mbak-mbak yang tak ku tau identitasnya ngomong sendiri. Eh, pas dicek paketnya belum berkurang sama sekali. Ckckck). “Mau kemana kita?” Prok-prok-prok-prok... “Syiah Kuala” “Mau kemana kita?” prok-prok-prok-prok “Syiah Kuala”. “Mau kemana kita?” prok... “cukup-cukup, Nola d’explorel tayangnya sabtu-minggu. Sontak Nobita kabur dan bersemayam di kamar mandi “Pergilah kau, pergi dari hidupku...” “Sungguh teganya, teganya, teganya...” aku pun pergi, meninggalkan Nobita seorang diri, bukan apa-apa. Kalau aku lebih sabar lagi, maka aku akan siap masak seketika dia kembali menemuiku (It’s so long beb, i can’t waiting for more...).
Selamat dari Nobita, nyangkut di kost Iim. “Angkat donk, angkat donk... gue mau ngomong... angkat donk, angkat donk, gue, dang... ding... dong). Di situ lebih sedih lagi, udah nunggu lima menit, dikawal lagi sama nenek-nenek (ini tambahan penulis biar keliatan lebih exstream lagi). Sesaat, Iim yang ditunggu pun datang. “Akhirnya...” Fiuh, buang nafas.. fiuh.. buang lagi.. fiuh lagi...”Eh, kakak gak asma kan?” Sambil garuk-garuk aspal! “Asma sih enggak dek, tapi as... as... asma soho yahooo (iklan).
Misi kedua selesai. Aku mengantar Iim sampai ke kost Nobita lagi dan menemukannya dalam keadaan tergeletak. “Kenapa? Panggil ambulance” namun yang terjadi... jreng.. jreng... “Cayya.. cayya.. cayya.. cayya.. cayya... cayya.. cayya..cayya..cayya.. cayya”. (sontak kami ber-O ria).
Tepat pukul 17.30, kami berempat sudah berkumpul (Aku, Nobita, Iim dan terakir Anuk). Sebelum berangkat, berdo’a pun dimulai... (baca do’a sesuai kemampuan nafsi-nafsi, ckckck).
Beat mulai bergerak, meninggalkan Darussalam. Semilir angin sore ikut menghiasi jejak keempat pengkelana yang tak bisa diam. Tak lama kemudian, kami sudah sampai di lampu merah Lampriet. Mempercepat laju dan mengejar lampu hijau yang mulai bergerak merah. (Hap-hap, lalu ditangkap). Motor bebek merah vs putih itu bergerak ke arah Lam Dingin, melewati beberapa perumahan warga yang berjejer rapi di sepanjang jalan. Kemudian berbelok sebelah kanan dan lurus saja hingga menemukan ujung jalan ke arah Makam Syiah Kuala[1]. Tiba di sana, kami tak ingin membuang-buang waktu. Langsung saja (Jepret... jepret... ciieerrrssss...) “eh, tunggu, ane juga dunk” Teriakku. Adegan selfie-selfiean pun terus berlanjut. Hingga, semuanya harus diakiri ketika ada suara aneh yang terus menganggu pendengaran (kruukkk... krukkk) “Suara siapa itu?” tanya Nobita. (Suaraku, sahut sang mkhluk). “Dimana? Kok gak keliahatan?” (Aku diperutmu) wak wak wak...
TRIO KWEK-KWEK

Sontak kami tertawa, ketika menyadari makhluk di perut Nobitalah yang teriak minta dikasihani. Tak jauh dari situ, kami melihat ada bapak penjual bakso goreng, baunya saja sudah tercium hingga jarak 10 meter. Tanpa menunggu aba-aba lagi, kami berempat segera berhambur dan menyerbu gerobak milik beliau. Rp. 15.000,- kami habiskan buat membeli bakso-bakso itu, ternyata tidak hanya perut Nobita yang minta dikasihani, perut-perut yang lain jugak tak mau kalah bersahut-sahutan. setelah membayar lunas (Gak pake ngutang), langsung saja, kami mencari tenpat yang strategis namun tetap exis berkodak ria. Kami berempat memutuskan untuk menaiki tambul-tambul di sepanjang pantai Syiah Kuala. Menyantap bakso goreng merupakan andalan kami ketika bepergian seperti ini, sesekali kerlap-kerlip camera L-300 (baca, L-60) ikut mengabadikan jejak-jejak kami yang tersapu keringat. (huaaaaahhhhhhh, pedasnye).
Lagi nungguin bakso bakar...
MAKNYUUUUUSSSSS!!

Sebelumnya SELFIE dulu
^_^
Senja mulai menghimpit, orang-orang mulai berdatangan memenuhi lokasi Makam Syiah Kuala, kebetulan sore itu ada zikir akbar digelar di sana. Namun, kami memutuskan untuk pulang lebih awal dan melaksanakan shalat magrib di mesjid Oman.
 
Senja di Syiah Kuala Beach


[1] Lokasi tempat objek wisata spiritual yang berupa Makam Syiah Kuala ini terletak di daerah pinggir Pantai, atau lebih tepatnya muara Sungai Aceh, yang terletak Desa Deyah Raya, Kecamatan Syiah Kuala, kota Banda Aceh, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Lokasi objek wisata Makam Syiah Kuala ini sangat mudah di temukan karena tidak begitu jauh jaraknya dari pusat kota, di sekitaran kawasan Kreung Aceh, mungkin hanya sekitar 3 kilometer saja. Anda bisa menggunakan kendaraan pribadi anda, atau anda juga bisa memilih naik angkutan umum yang ada. (sumber: http://jalan2.com/city/banda-aceh/makam-syiah-kuala/)

Saturday, May 10, 2014

Masihkah Aku Sahabatmu???

Assalamu’alaikum Wr Wb...


Maaf, mengganggumu lagi-lagi dengan tulisan ini..
Aku tak berharap banyak...
Aku hanya ingin engkau membacanya, meski hanya sekali seumur hidup.

Sahabat...
Maaf memanggilmu dengan sebutan yang paling kau benci.
Aku tau aku salah...
Mungkin juga tak akan pernah termaafkan lagi...
Tapi ku mohon, jangan terlalu lama membisukanku seperti ini.
Aku tak sanggup...
Aku masih menganggapmu ada..
Jangan lakukan ini terus-menerus terhadapku...
Selama  ini aku hanya berpura-pura...
Mencoba melupakanmu, dan menghapus segala tentangmu diam-diam
Ternyata itu terlalu beresiko.

Sahabat...
Kau tau...
Sejak engkau memutuskan untuk pergi dan menjauh..
Aku tak pernah lagi merasakan hangatnya mentari...
Tak pernah lagi melihat pelangi,  yang dulu selalu
Mengabarkan keindahan tentang kita

Sahabat...
Jujurku...
Slama ini aku hanya bisa memakai topeng kebohongan
Untuk menutupi segala bentuk mendung yang bergelantungan

Sahabat...
Aku tak tau, sampai kapan aku masih bisa bertahan.
Kurasa aku sudah tidak kuat lagi...
Aku ingin pergi...
Pergi sejauh mungkin...
Menanggalkan sajak-sajak masa lalu yang masih berbekas
Aku tak ingin melihat roman itu lagi
Aku tak kuat...
Sedang aku hanya mampu bermandikan butir-butir riam sepanjang hayat

Sahabat...
Aku tak meminta lebih...
Aku hanya ingin satu kesempatan darimu
Tetaplah menjadi sahabatku
Sekarang dan selamanya.

Bukan Puisi Cinta

Aku tersadar... disinilah arti keikhlasan kutangkap.
Aku tersadar... disinilah arti ketulusan kudekap.
Di tempat ini...
Di tempat ku berdiri...
Bukan yang lain.

Meski ribuan sajak ku ukir...
Meski jutaan sya’ir ku rangkai...
Tak mampu...
Takkan pernah bisa...
Mewakili arti kasihmu padaku.
Begiru besar, takkan terdata.

Kau tak pernah meminta untuk kusayangi...
Tak meminta untuk kucintai...
Bahkan engkau malah menolak tatkala aku memberi...
Engkau enggan menerima, meski yang ku sodor segudang intan permata.

Aku tak mengerti...
Aku hanya terbengong akan semua ulahmu.

Lalu kau datang, tersenyum... dan berkata.
“Ketahuilah, jika aku menerima semua itu darimu...
Aku takut, aku takkan menerima apa-apa dari Tuhanku kelak”
Benarkah???

Apakah ia sedang menasehatiku...
Apa ia sedang menegurku...
Atau ia sedang mengasihiku...

Ah, otakku lagi-lagi tumpul dan berkarat.
Terlalu lambat untuk diajak berpikir jernih.

Namun, esoknya engkau datang lagi...
Tersenyum lagi...
Dan berkata lagi...
“Ambillah ukhti...
 Semoga ini bisa mengingatkan kita akan lupa..
Menyadarkan kita akan khilaf...
Menguatkan kita akan lemah”.

Aku mengambilnya...
Menggenggamnya erat dalam tetes ratap....
Yah, Al-Matsurat biru itu kini tlah bertukar tuan..
Selamanya...
Selama-lamanya...

W/ Ukhti Imar

Perjalanan Nanti

Raqib dan atid tak akan terpesona dengan keelokan parasmmu
Mungkar dan Nagkir tak pernah tergoda oleh mulusnya kulitmu
Malik dan Ridhwan tak pernah lena dengan balutan tubuhmu
Tangan-tangan sang Maha Raja tak akan bergurau!
Memuja.... Menyembah tak bisa dihalau.
“Kun Fayakuun!!!”
Maka segalanya menjadi MUNGKIN

Malaikat-malaikatNya tak pernah melihat seberapa besar  ototmu
Tak melihat seberapa encer otakmu
Tak melihat seberapa terkenal kelicikanmu

KuasaNya lebih hebat daripada kebohongan yang engkau perankan
Berlaripun tak kan bisa menghindarinya.

Itulah potret perjalanan nanti.....
Tak ada gelak tawa bersama secangkir air hina
Tak kan ada nyanyian-nyanyian setan yang meneriakan keangkuhan diri

Semua jiwa merana menelan bara.
Sang Maha Raja memerankan kuasaNya.
Mampukah kita bertahan ?
sumber : Google Image

Thursday, May 8, 2014

LALU...

Apakah engkau masih mengingatku?
Gadis kecil dengan mata sipit yang slalu  kau ganggu.
Ingatkah engkau?
Kini ia tidaklah selugu dulu..
Keadaan tlah banyak mengubah fisik dan idenya
Mungkin engkau tak mengenalinya lagi jika ia tak memulai menyapa.

Ah...
Ingatanmu terlalu payah dan lamban
Tapi aku tetap suka.
Apapun bentukmu.
Aku tetap suka,.
Dari dulu hingga dulu lagi.

Fatma & Yoga

Monday, May 5, 2014

Sebuah Penantian

7 warna terukir indah di ujung pelangi
Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu
Merekah tatkala rinai menyapa
Sesekali terdengar riak bergetar
Tertimpa oleh gurindam yang ikutan malu-malu

Aku terduduk di tepian dermaga nan bening
 Terpaku, menatap pasi bias diri
Berharap, aku dapat melihat bayangan wajahnya yang terlintas.

Tapi, sia-sia sudah usahaku.
Disana tak kutemukan siapa-siapa
Selain potret aku dengan kesendirian

Kekosongan pun mulai mengisi jiwaku yang kering kerontong
Merana dalam kevakuman asa tiada berujung.

Kini ku mulai rindu...
Rindu cara ia, membelai wajahku manja
Rindu akan sentuhan-sentuhan hangat
Ayat-ayat cinta yang pernah dilafadzkan untukku

Rembulanku!
Dimanakah kau kini?
Aku tlah lama berkelana mencari jejakmu yang hilang

Permata hatiku!
Katakanlah, kemana lagi kaki ini harus ku langkah.
Agar aku bisa mendekapmu seperti dulu
Menembus batas tabir, yang mencoba memisahkan kita
Ku mohon, katakanlah!

Lambat laun 7 warna itu tenggelam di peraduan...
Mengabdi pada titah sang penguasa langit

Namun aku percaya, suatu saat nanti
Pelangi itu kan datang kembali
Mempertemukan samudra hati yang tlah lama terpisah raga
Menyatu dan saling memadu kasih, dalam mahligai cinta yang hakiki.

Me