Terkadang
apa yang kita harapkan tidaklah sesuai dengan apa yang kita dapat. Kepengen
kaya malah dapat penghasilan pas-pasan, kepengen keluarga sempurna malah
terlahir sebatang kara, yah.. seperti
aku ini. TAKDIR? “Apa kau mempercayainya?”
Tahun 1948 adalah bukti bisu kelahiranku. PALESTINE, orangtuaku menamainya
begitu. Punya paras yang cantik jelita, bahkan hampir menyaingi kecantikan
Zulaikha, istri Yusuf as.”Kau tau? Bahkan dunia pun mengakui kecantikanku.
Entahlah, kupikir aku biasa saja. Dua mata, dua telinga, dua tangan, dua kaki
dan satu mulut, bagiku itulah CANTIK. Sebab cantik itu sendiri tidak harus
dinilai hanya dengan sebuah pujian, bukan?” sayangnya, ceritaku tidaklah
sebahagia Cinderella yang bertemu dengan pangeran Eric berkuda putih, atau
cerita Putri Salju dengan 7 Kurcaci. Tidak, hidupku memang sulit namun tidak
seambigu Buah Simalakama. ARAB,
orang bilang itu ayahku. Mungkin benar, mungkin juga TIDAK karna sa’at ku terlahir,
aku sudah sendiri dan mereka memanggilku dengan sebutan “YATIM” tak apa, aku
terima. Sejak sa’at itu, aku tumbuh menjadi seorang gadis yang sehat, lucu dan
menggemaskan. Mereka lagi-lagi cemburu, mereka lagi-lagi meninggalkanku, mereka
dengan enteng malah membuang namaku jauh-jauh. Kubilang tak punya hati, mungkin
saja benar. Tapi aku tidak sekejam itu. Mereka tetap saudara-saudaraku, walau
hanya saudara tiri. Kata ibu mereka seluruhnya 21 orang, tapi hingga kini aku tak pernah menjumpai satupun di
antara mereka. Jangankan menjengukku, kabar saja mereka tak bertanya.
Aku
anak terakir dari tiga bersaudara. Abangku si anak tunggul pergi meninggalkanku
pada 2003 lalu, dia ku panggil IRAK. Di sa’at aku masih ingin
bermanja-manja dengan mereka, di sa’at itu pula aku harus kehilangan. Selang 8
tahun kemudian, Tuhan malah memanggil kakakku, SURIAH. Semakin sendiri aku, semakin sepi hatiku. Tapi aku tidak
mengeluh, aku mencoba bangkit dengan sisa-sisa airmata yang masih bersisa. Aku,
Palestine tak pernah mau kalah pada keadaan.
Meski
aku tinggal sendiri, aku tetap menantang langit dengan tegak, walau
terseok-seok aku tetap berjalan. Hingga Tuhan memberitahukan alamat seseorang
yang kelak bisa membimbingku di jalan-Nya. Yah, aku menikah juga. Dan aku bisa
menatap pelangi dari jauh walau jalanan masih menanggal basah. Tak lama setelah
itu, aku melahirkan seorang putri, REVOLUSI
namanya. Lengkaplah sudah kebahagiaan keluarga kecil kami. Walau tanpa makan,
kami tetap bisa tersenyum sebab Allah menitipkan kunci kebahagiaan di
tengah-tengah kami. Si buah hati.
Suatu
hari, kami benar-benar sekarat. Anakku, Revolusi mulai sakit-sakitan. Ternyata
kunci yang dititipkan itu tidak lah bertahan lama, entah karna kami kurang
bersyukur atau karna kami jarang merawat kunci itu, hingga ia berkarat. Suamiku
datang menemui ayah tiriku, AMERIKA.
Meski dengan bermodalkan muka tembok, dia tetap bersikukuh untuk sekedar
meminta beberapa recehan. “Taukah engkau?” di sana suamiku tak mendapat apa-apa
selain pukulan dan hinaan. Mereka menghina suamiku lantaran menikah, hanya
bermodalkan nekat, tanpa penghasilan. Mereka bahkan dengan tega membunuh
suamiku yang tak bersalah dan mengirimkan jasadnya di hadapanku.
Innalillahi
wa inna ilaihi raji’un…
Itulah
mereka, ayah tiri dan anak-anaknya yang tak punya hati nurani. Sejak kepergian
suami, mau tak mau aku harus berperan ganda. Menjadi ibu sekaligus tulang
punggung buat puriku, Revolusi. Aku masih belum menyerah. Kukumpulkan lagi
harapan yang masih tersisa, lalu kucoba bangun semangat baru dengan susah
payah. Tapi, itu tidak bertahan lama. Sebab keluarga tiriku kini mulai turun ke
desa-desa. Saudara-saudaraku dengan nekat melancarkan aksinya melalui
pengeboman besar-besaran. Teriakan demi teriakan mulai membahana tempat
tinggalku, GAZA. Tak jarang, jika aku juga saudara-saudara yang bernasib sama
denganku semakin tersiksa. Mereka terus membabi buta tanpa henti, hingga
anak-anak tak berdosa kerap kali menjadi korban kekejaman.
Allahu
akbar… aku sudah tak kuat lagi, jika engkau memanggilku kini, aku sudah ikhlas,
tapi kumohon, wujudkanlah keinginan terbesarku untuk MERDEKA.
Sumber : Firdaus Maulana photos |