Tuesday, September 2, 2014

“MERDEKA!!! AKU RINDU”

Terkadang apa yang kita harapkan tidaklah sesuai dengan apa yang kita dapat. Kepengen kaya malah dapat penghasilan pas-pasan, kepengen keluarga sempurna malah terlahir sebatang kara, yah.. seperti aku ini. TAKDIR? “Apa kau mempercayainya?”
Tahun 1948 adalah bukti bisu kelahiranku. PALESTINE, orangtuaku menamainya begitu. Punya paras yang cantik jelita, bahkan hampir menyaingi kecantikan Zulaikha, istri Yusuf as.”Kau tau? Bahkan dunia pun mengakui kecantikanku. Entahlah, kupikir aku biasa saja. Dua mata, dua telinga, dua tangan, dua kaki dan satu mulut, bagiku itulah CANTIK. Sebab cantik itu sendiri tidak harus dinilai hanya dengan sebuah pujian, bukan?” sayangnya, ceritaku tidaklah sebahagia Cinderella yang bertemu dengan pangeran Eric berkuda putih, atau cerita Putri Salju dengan 7 Kurcaci. Tidak, hidupku memang sulit namun tidak seambigu Buah Simalakama. ARAB, orang bilang itu ayahku. Mungkin benar, mungkin juga TIDAK karna sa’at ku terlahir, aku sudah sendiri dan mereka memanggilku dengan sebutan “YATIM” tak apa, aku terima. Sejak sa’at itu, aku tumbuh menjadi seorang gadis yang sehat, lucu dan menggemaskan. Mereka lagi-lagi cemburu, mereka lagi-lagi meninggalkanku, mereka dengan enteng malah membuang namaku jauh-jauh. Kubilang tak punya hati, mungkin saja benar. Tapi aku tidak sekejam itu. Mereka tetap saudara-saudaraku, walau hanya saudara tiri. Kata ibu mereka seluruhnya 21 orang, tapi hingga kini aku tak pernah menjumpai satupun di antara mereka. Jangankan menjengukku, kabar saja mereka tak bertanya.
Aku anak terakir dari tiga bersaudara. Abangku si anak tunggul pergi meninggalkanku pada 2003 lalu, dia ku panggil IRAK. Di sa’at aku masih ingin bermanja-manja dengan mereka, di sa’at itu pula aku harus kehilangan. Selang 8 tahun kemudian, Tuhan malah memanggil kakakku, SURIAH. Semakin sendiri aku, semakin sepi hatiku. Tapi aku tidak mengeluh, aku mencoba bangkit dengan sisa-sisa airmata yang masih bersisa. Aku, Palestine tak pernah mau kalah pada keadaan.
Meski aku tinggal sendiri, aku tetap menantang langit dengan tegak, walau terseok-seok aku tetap berjalan. Hingga Tuhan memberitahukan alamat seseorang yang kelak bisa membimbingku di jalan-Nya. Yah, aku menikah juga. Dan aku bisa menatap pelangi dari jauh walau jalanan masih menanggal basah. Tak lama setelah itu, aku melahirkan seorang putri, REVOLUSI namanya. Lengkaplah sudah kebahagiaan keluarga kecil kami. Walau tanpa makan, kami tetap bisa tersenyum sebab Allah menitipkan kunci kebahagiaan di tengah-tengah kami. Si buah hati.
Suatu hari, kami benar-benar sekarat. Anakku, Revolusi mulai sakit-sakitan. Ternyata kunci yang dititipkan itu tidak lah bertahan lama, entah karna kami kurang bersyukur atau karna kami jarang merawat kunci itu, hingga ia berkarat. Suamiku datang menemui ayah tiriku, AMERIKA. Meski dengan bermodalkan muka tembok, dia tetap bersikukuh untuk sekedar meminta beberapa recehan. “Taukah engkau?” di sana suamiku tak mendapat apa-apa selain pukulan dan hinaan. Mereka menghina suamiku lantaran menikah, hanya bermodalkan nekat, tanpa penghasilan. Mereka bahkan dengan tega membunuh suamiku yang tak bersalah dan mengirimkan jasadnya di hadapanku.
Innalillahi wa inna ilaihi raji’un…                               
Itulah mereka, ayah tiri dan anak-anaknya yang tak punya hati nurani. Sejak kepergian suami, mau tak mau aku harus berperan ganda. Menjadi ibu sekaligus tulang punggung buat puriku, Revolusi. Aku masih belum menyerah. Kukumpulkan lagi harapan yang masih tersisa, lalu kucoba bangun semangat baru dengan susah payah. Tapi, itu tidak bertahan lama. Sebab keluarga tiriku kini mulai turun ke desa-desa. Saudara-saudaraku dengan nekat melancarkan aksinya melalui pengeboman besar-besaran. Teriakan demi teriakan mulai membahana tempat tinggalku, GAZA. Tak jarang, jika aku juga saudara-saudara yang bernasib sama denganku semakin tersiksa. Mereka terus membabi buta tanpa henti, hingga anak-anak tak berdosa kerap kali menjadi korban kekejaman.

Allahu akbar… aku sudah tak kuat lagi, jika engkau memanggilku kini, aku sudah ikhlas, tapi kumohon, wujudkanlah keinginan terbesarku untuk MERDEKA.

Sumber : Firdaus Maulana photos

Tuesday, September 2, 2014

“MERDEKA!!! AKU RINDU”

Terkadang apa yang kita harapkan tidaklah sesuai dengan apa yang kita dapat. Kepengen kaya malah dapat penghasilan pas-pasan, kepengen keluarga sempurna malah terlahir sebatang kara, yah.. seperti aku ini. TAKDIR? “Apa kau mempercayainya?”
Tahun 1948 adalah bukti bisu kelahiranku. PALESTINE, orangtuaku menamainya begitu. Punya paras yang cantik jelita, bahkan hampir menyaingi kecantikan Zulaikha, istri Yusuf as.”Kau tau? Bahkan dunia pun mengakui kecantikanku. Entahlah, kupikir aku biasa saja. Dua mata, dua telinga, dua tangan, dua kaki dan satu mulut, bagiku itulah CANTIK. Sebab cantik itu sendiri tidak harus dinilai hanya dengan sebuah pujian, bukan?” sayangnya, ceritaku tidaklah sebahagia Cinderella yang bertemu dengan pangeran Eric berkuda putih, atau cerita Putri Salju dengan 7 Kurcaci. Tidak, hidupku memang sulit namun tidak seambigu Buah Simalakama. ARAB, orang bilang itu ayahku. Mungkin benar, mungkin juga TIDAK karna sa’at ku terlahir, aku sudah sendiri dan mereka memanggilku dengan sebutan “YATIM” tak apa, aku terima. Sejak sa’at itu, aku tumbuh menjadi seorang gadis yang sehat, lucu dan menggemaskan. Mereka lagi-lagi cemburu, mereka lagi-lagi meninggalkanku, mereka dengan enteng malah membuang namaku jauh-jauh. Kubilang tak punya hati, mungkin saja benar. Tapi aku tidak sekejam itu. Mereka tetap saudara-saudaraku, walau hanya saudara tiri. Kata ibu mereka seluruhnya 21 orang, tapi hingga kini aku tak pernah menjumpai satupun di antara mereka. Jangankan menjengukku, kabar saja mereka tak bertanya.
Aku anak terakir dari tiga bersaudara. Abangku si anak tunggul pergi meninggalkanku pada 2003 lalu, dia ku panggil IRAK. Di sa’at aku masih ingin bermanja-manja dengan mereka, di sa’at itu pula aku harus kehilangan. Selang 8 tahun kemudian, Tuhan malah memanggil kakakku, SURIAH. Semakin sendiri aku, semakin sepi hatiku. Tapi aku tidak mengeluh, aku mencoba bangkit dengan sisa-sisa airmata yang masih bersisa. Aku, Palestine tak pernah mau kalah pada keadaan.
Meski aku tinggal sendiri, aku tetap menantang langit dengan tegak, walau terseok-seok aku tetap berjalan. Hingga Tuhan memberitahukan alamat seseorang yang kelak bisa membimbingku di jalan-Nya. Yah, aku menikah juga. Dan aku bisa menatap pelangi dari jauh walau jalanan masih menanggal basah. Tak lama setelah itu, aku melahirkan seorang putri, REVOLUSI namanya. Lengkaplah sudah kebahagiaan keluarga kecil kami. Walau tanpa makan, kami tetap bisa tersenyum sebab Allah menitipkan kunci kebahagiaan di tengah-tengah kami. Si buah hati.
Suatu hari, kami benar-benar sekarat. Anakku, Revolusi mulai sakit-sakitan. Ternyata kunci yang dititipkan itu tidak lah bertahan lama, entah karna kami kurang bersyukur atau karna kami jarang merawat kunci itu, hingga ia berkarat. Suamiku datang menemui ayah tiriku, AMERIKA. Meski dengan bermodalkan muka tembok, dia tetap bersikukuh untuk sekedar meminta beberapa recehan. “Taukah engkau?” di sana suamiku tak mendapat apa-apa selain pukulan dan hinaan. Mereka menghina suamiku lantaran menikah, hanya bermodalkan nekat, tanpa penghasilan. Mereka bahkan dengan tega membunuh suamiku yang tak bersalah dan mengirimkan jasadnya di hadapanku.
Innalillahi wa inna ilaihi raji’un…                               
Itulah mereka, ayah tiri dan anak-anaknya yang tak punya hati nurani. Sejak kepergian suami, mau tak mau aku harus berperan ganda. Menjadi ibu sekaligus tulang punggung buat puriku, Revolusi. Aku masih belum menyerah. Kukumpulkan lagi harapan yang masih tersisa, lalu kucoba bangun semangat baru dengan susah payah. Tapi, itu tidak bertahan lama. Sebab keluarga tiriku kini mulai turun ke desa-desa. Saudara-saudaraku dengan nekat melancarkan aksinya melalui pengeboman besar-besaran. Teriakan demi teriakan mulai membahana tempat tinggalku, GAZA. Tak jarang, jika aku juga saudara-saudara yang bernasib sama denganku semakin tersiksa. Mereka terus membabi buta tanpa henti, hingga anak-anak tak berdosa kerap kali menjadi korban kekejaman.

Allahu akbar… aku sudah tak kuat lagi, jika engkau memanggilku kini, aku sudah ikhlas, tapi kumohon, wujudkanlah keinginan terbesarku untuk MERDEKA.

Sumber : Firdaus Maulana photos