Friday, August 1, 2014

(Bukan) Cerita Perpisahan

Bolehkah aku menangis sebentar?
Ah… untuk apa meminta izin padamu! Bukan kah Tuhan-ku menciptakan airmata ini geratis? Bahkan tak perlu meminta izin bila ingin menumpahkannya sesuka hati.
Baiklah, kalau begitu, aku akan menangis. Tak peduli seberapa banyak airmata yang kukeluarkan nantinya. Tak peduli seberapa banyak ingus berceceran pula. Tidak, aku tidak peduli. Yang terpenting hanyalah AKU INGIN MENANGIS, TITIK.
Apa kamu yakin ingin mengetahui penyebab aku menangis?
Tentu saja jawabannya IBU… IBU…IBU… dan AYAH-ku.
Jum’at tepat tanggal 1 agustus 2014. Aku tak kuasa menahan titik kristal itu tumpah, bukan karna ada mendung. Namun titik itu, justru mengenai tepat di wajahku pada pukul 12 siang. Panas sekaligus terik bercampur jadi satu. Semua dikarenakan aku melihat sendiri bagaimana pengorbanan ibu.
Setelah sebulan penuh bergulat dengan kulit tebu dan kulit buah pala. Aku ingin sekali membantunya, tapi entah kenapa. Aku hanya bisa mematung menatap punggung beliau yang mulai agak bungkuk.
Pernah ketika beliau mengupas kulit-kulit tebu, jari kelingking sebelah kirinya hampir saja putus. Allahu akbar, darah segar mengalir dan mengenai baju oblong lusuh yang beliau kenakan. Aku masih saja diam, tapi sebisa mungkin ku seret tubuh ini tuk gantikan tugasnya.
“Nyan sek teube beuget-get neuk, bek sempat putoh jaro lage mak.” (Kupas tebunya hati-hati nakk, jangan sampai putus jemari seperti mamak). Kurasakan air mukaku berubah panas, aku hanya mengangguk tanpa suara.
Sejak air pet tidak pernah mengalir ke rumah hampir sebulan lamanya, kami sekeluarga memutuskan untuk “seumeurah bak krung”[1]. Pun begitu siang ini, ibu membawa pakaian-pakaian adik yang sudah dicuci sebelumnya, di “Lhung”[2] tepatnya di daerah desa Geunteng , memasuki jalan Rimeh, yang terletak di lorong sebelah kanan dari rumahku sekitar ±3 Km bila mengendarai motor.
Aku pun membantu membawakan pakaian-pakaian yang sudah dibilas bersih itu ke rumah dengan mengendarai Mio metik. Meski 3x bolak-balik dari Lhung, tak membuat aku lelah dan gerah. Justru sebaliknya, aku ingin terus dan terus melakukannya, lagi-lagi.
Meskipun begitu, ibu yang biasa ku panggil dengan sebutan mamak itu tak pernah mengatakan “Ah, BOSAN!!!” atau “Gak Kuat Lagi” atau “Cape dehhhh!!!” tidak, itu hanya kata-kata yang justru aku dan adik-adikku pakai sehari-hari. “Mak, bentar lagi lah! Lagi seru nih pilemnya.” Allahu akbar. Inikah dunia?
Tapi, lagi-lagi aku salut pada mamak. Walau tubuh mulai remuk redam tersengat matahari, rambut beruban hampir di seluruh kepala, beliau masih sanggup berteriak hingga ketinggian 4 octaf dengan ketajaman suara hingga mencapai 40 rumah warga kiri-kanan, depan-belakang.
Beruntung sekali bila mamak seperti itu tiap bulan ramadhan, sehingga panitia masjid tidak perlu repot-repot membangunkan warga untuk segera bersahur. Ngitung-ngitung nambah lading pahala. hehe
Mamak memang hebat. Tapi ayah juga hebat, kok.
Bagaimana tidak? Setiap harinya, beliau ke gunung untuk memetik buah pala yang masih mentah. Terkadang dapat 2 bambu beliau jual dan uangnya beliau pakai untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Jangan heran kalau anak-anaknya segedek gini, terutama si AKU. Percaya gak percaya, inilah faktanya.
Sementara siangnya, ba’da zuhur, beliau bersiap-siap untuk memerah air tebu dengan mesin penggiling yang beberapa waktu lalu beliau bawa pulang dari touke Cina, dan itu tetap Gak Gratis. Begitulah setiap harinya…
Hingga hari ini, hari dimana aku terakir bersama mereka. Menikmati teriakan-teriakan yang terkadang terdengar dari arah belakang, dari arah dapur dan tiba-tiba sudah muncul di balik pintu kamar lantai atas. “Nawraaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa” “paaaaaaapaaaaaaaaatttttttttttttt!!! Tron keuno, rah pingan dile.”[3] “Get mak!” sahut kami serentak.[4]
Itulah mamak dan ayahku. sa’at-sa’at seperti inilah, aku ingin sekali berlama-lama di rumah, mendengar omelan-omelan mereka yang sering bersahut-sahutan. Aku tak pernah membantah, walau sering juga merasa kuwalahan sendiri. Ini dan itu harus dilakukan sekaligus.
 Selama sebulan penuh, aku sudah hafal semua kata-kata yang mamak ucapkan bila aku tak melihat apa yang aku cari. “Geunging ngon mata bek ngen babah. Keupeu cit guna mata, meunyo hana teu pakek.”[5] Begiku itu adalah menu ternikmat di pagi hari setelah telor ceplok yang bikin eneuk.
Kini, sa’atnya aku kembali ke Banda Aceh. Melanjutkan mimpi yang sempat tertunda, berperang dengan final yang tinggal empat matakuliah lagi serta berkutat dengan anak-anak yang sudah lama tak pernah bersua. Aku rindu mereka. “Ummi rindu kalian, Nak!”.
Aku tak tau. Apakah setelah hari ini aku masih bisa mendengar celoteh-celoteh mamak yang membahana badai halilintar ala-ala syagheni atau… ah sudah lah. Tak ingin melanjutkan lagi. Semoga ramadhan tahun depan, Allah masih memberiku kesempatan untuk kembali mendengar nyanyian pengantar tidur itu.
Love Ayah & Mamak Banyak2
:* :* :*

“Mak, kakak dan adik sayang mamak.”
“ Yah… kakak dan adik juga sayang ayah.”
“Semoga tahun depan, Rha masih bisa menjadi putri tebu.”





[1] Nyuci di sungai
[2] Parit kecil di sepanjang jalan pedesaan Geunteng terbuat dari semen dengan aliran air dari gunung.
[3] Nawra, fafat, turun ke bawah sini, cuci piring dulu.
[4] Baik mak.
[5] Lihat tuh pakai mata, jangan pakai mulut. Untuk apa punya mata kalau gak digunakan.

Friday, August 1, 2014

(Bukan) Cerita Perpisahan

Bolehkah aku menangis sebentar?
Ah… untuk apa meminta izin padamu! Bukan kah Tuhan-ku menciptakan airmata ini geratis? Bahkan tak perlu meminta izin bila ingin menumpahkannya sesuka hati.
Baiklah, kalau begitu, aku akan menangis. Tak peduli seberapa banyak airmata yang kukeluarkan nantinya. Tak peduli seberapa banyak ingus berceceran pula. Tidak, aku tidak peduli. Yang terpenting hanyalah AKU INGIN MENANGIS, TITIK.
Apa kamu yakin ingin mengetahui penyebab aku menangis?
Tentu saja jawabannya IBU… IBU…IBU… dan AYAH-ku.
Jum’at tepat tanggal 1 agustus 2014. Aku tak kuasa menahan titik kristal itu tumpah, bukan karna ada mendung. Namun titik itu, justru mengenai tepat di wajahku pada pukul 12 siang. Panas sekaligus terik bercampur jadi satu. Semua dikarenakan aku melihat sendiri bagaimana pengorbanan ibu.
Setelah sebulan penuh bergulat dengan kulit tebu dan kulit buah pala. Aku ingin sekali membantunya, tapi entah kenapa. Aku hanya bisa mematung menatap punggung beliau yang mulai agak bungkuk.
Pernah ketika beliau mengupas kulit-kulit tebu, jari kelingking sebelah kirinya hampir saja putus. Allahu akbar, darah segar mengalir dan mengenai baju oblong lusuh yang beliau kenakan. Aku masih saja diam, tapi sebisa mungkin ku seret tubuh ini tuk gantikan tugasnya.
“Nyan sek teube beuget-get neuk, bek sempat putoh jaro lage mak.” (Kupas tebunya hati-hati nakk, jangan sampai putus jemari seperti mamak). Kurasakan air mukaku berubah panas, aku hanya mengangguk tanpa suara.
Sejak air pet tidak pernah mengalir ke rumah hampir sebulan lamanya, kami sekeluarga memutuskan untuk “seumeurah bak krung”[1]. Pun begitu siang ini, ibu membawa pakaian-pakaian adik yang sudah dicuci sebelumnya, di “Lhung”[2] tepatnya di daerah desa Geunteng , memasuki jalan Rimeh, yang terletak di lorong sebelah kanan dari rumahku sekitar ±3 Km bila mengendarai motor.
Aku pun membantu membawakan pakaian-pakaian yang sudah dibilas bersih itu ke rumah dengan mengendarai Mio metik. Meski 3x bolak-balik dari Lhung, tak membuat aku lelah dan gerah. Justru sebaliknya, aku ingin terus dan terus melakukannya, lagi-lagi.
Meskipun begitu, ibu yang biasa ku panggil dengan sebutan mamak itu tak pernah mengatakan “Ah, BOSAN!!!” atau “Gak Kuat Lagi” atau “Cape dehhhh!!!” tidak, itu hanya kata-kata yang justru aku dan adik-adikku pakai sehari-hari. “Mak, bentar lagi lah! Lagi seru nih pilemnya.” Allahu akbar. Inikah dunia?
Tapi, lagi-lagi aku salut pada mamak. Walau tubuh mulai remuk redam tersengat matahari, rambut beruban hampir di seluruh kepala, beliau masih sanggup berteriak hingga ketinggian 4 octaf dengan ketajaman suara hingga mencapai 40 rumah warga kiri-kanan, depan-belakang.
Beruntung sekali bila mamak seperti itu tiap bulan ramadhan, sehingga panitia masjid tidak perlu repot-repot membangunkan warga untuk segera bersahur. Ngitung-ngitung nambah lading pahala. hehe
Mamak memang hebat. Tapi ayah juga hebat, kok.
Bagaimana tidak? Setiap harinya, beliau ke gunung untuk memetik buah pala yang masih mentah. Terkadang dapat 2 bambu beliau jual dan uangnya beliau pakai untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Jangan heran kalau anak-anaknya segedek gini, terutama si AKU. Percaya gak percaya, inilah faktanya.
Sementara siangnya, ba’da zuhur, beliau bersiap-siap untuk memerah air tebu dengan mesin penggiling yang beberapa waktu lalu beliau bawa pulang dari touke Cina, dan itu tetap Gak Gratis. Begitulah setiap harinya…
Hingga hari ini, hari dimana aku terakir bersama mereka. Menikmati teriakan-teriakan yang terkadang terdengar dari arah belakang, dari arah dapur dan tiba-tiba sudah muncul di balik pintu kamar lantai atas. “Nawraaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa” “paaaaaaapaaaaaaaaatttttttttttttt!!! Tron keuno, rah pingan dile.”[3] “Get mak!” sahut kami serentak.[4]
Itulah mamak dan ayahku. sa’at-sa’at seperti inilah, aku ingin sekali berlama-lama di rumah, mendengar omelan-omelan mereka yang sering bersahut-sahutan. Aku tak pernah membantah, walau sering juga merasa kuwalahan sendiri. Ini dan itu harus dilakukan sekaligus.
 Selama sebulan penuh, aku sudah hafal semua kata-kata yang mamak ucapkan bila aku tak melihat apa yang aku cari. “Geunging ngon mata bek ngen babah. Keupeu cit guna mata, meunyo hana teu pakek.”[5] Begiku itu adalah menu ternikmat di pagi hari setelah telor ceplok yang bikin eneuk.
Kini, sa’atnya aku kembali ke Banda Aceh. Melanjutkan mimpi yang sempat tertunda, berperang dengan final yang tinggal empat matakuliah lagi serta berkutat dengan anak-anak yang sudah lama tak pernah bersua. Aku rindu mereka. “Ummi rindu kalian, Nak!”.
Aku tak tau. Apakah setelah hari ini aku masih bisa mendengar celoteh-celoteh mamak yang membahana badai halilintar ala-ala syagheni atau… ah sudah lah. Tak ingin melanjutkan lagi. Semoga ramadhan tahun depan, Allah masih memberiku kesempatan untuk kembali mendengar nyanyian pengantar tidur itu.
Love Ayah & Mamak Banyak2
:* :* :*

“Mak, kakak dan adik sayang mamak.”
“ Yah… kakak dan adik juga sayang ayah.”
“Semoga tahun depan, Rha masih bisa menjadi putri tebu.”





[1] Nyuci di sungai
[2] Parit kecil di sepanjang jalan pedesaan Geunteng terbuat dari semen dengan aliran air dari gunung.
[3] Nawra, fafat, turun ke bawah sini, cuci piring dulu.
[4] Baik mak.
[5] Lihat tuh pakai mata, jangan pakai mulut. Untuk apa punya mata kalau gak digunakan.