Menatap
sosok lanjut, duduk di salah satu sudut toko
Kulihat
seutas senyum terlampir di sana
Tak
ada sedih, tak ada kata putus asa.
Tanpa
tangan, tanpa kaki, juga indra penglihatan
Ia
masih tetap tegar walau keadaan pilu mengikis waktu
Ku
lihat mulutnya berkomat-kamit melafadzkan asma Rabbi
Inilah
sebagian potret indonesiaku
Dimana...
Dimanakah
peran pemerintah yang meng agung-agungkan demokrasi?
Ah,
percuma saja membahasnya...
Toh semua
itu, hanya lipstik bagi penguasa berdasi
Padahal
kita tau, indonesia kaya.
Kaya
akan hasil alam yang melimpah ruah.
Paru-paru
kehidupan seluruh dunia.
Tapi
apa, kita mau saja dibodohi...
Mau
saja bertekuk di bawah perintah luar negri.
Indonesia
tlah merdeka 67 tahun silam.
Tangguh
melawan penjajah, namun rapuh menghadapi rakyat jelata.
Hidup
di bawah naungan Pancasila
Berbagai
suku bangsa dan budaya bersatu di dalamnya.
Tapi
apa yang kita lihat?
Tapi
apa yang kita dapat?
Kelaparan
dan kemiskinan justru merajalela di rumah sendiri.
Nah,
apakah indonesia patut berbangga diri?
Masih
sanggupkah indonesia tersenyum?
Sadarlah..
Mengapa
kita justru mempersulit hukum dengan penyelewengan?
Padahal
agama islam sendiri telah melampirkan aturan-aturan tersebut
Dengan
jelas dan terperinci dalam mushab Ustmani,
Jauh
sebelum undang-undang itu diciptakan
Lihatlah
bagaimana Umar Bin Khatab yang dijuluki singa padang pasir, berkuasa
Apa
tindakannya ketika melihat rakyat yang terluntang lantung tanpa belas kasih.
Tertawakah?
Banggakah?
Atau
justru sebaliknya.
Lihat
pula sosok Abu Bakar Ash-Siddiq dalam menegakkan hukum Allah.
Apa
ia tahan sogokan ketika ada yang melanggar syari’at?
Apa
beliau cuma duduk manis di bawah singgahsana nan megah itu
Sambil
goyang-goyang kaki menatap nasib anak kecil yang terabaikan?
Atau
justru sebaliknya.
Sesungguhnya
hukum yang baik takkan mampan di beli.
Keadilan
yang hakiki takkan sanggup di gadaikan
Tidak...
tidak akan.
Apalagi
hanya dengan beberapa lembar rupiah saja.
Wahai
penegak hukum.
Kemarilah...
Merapatlah...
Tegakkan
keadilan yang sebenarnya.
Berikanlah
hak-hak mereka yang slama ini terampas dan tergadaikan.
Jangan
sia-siakan lagi.
Cukup
ini yang terakir.
Yang
lalu biarlah berlalu