Siapa sih yang tak ingin bahagia? Punya gedung bertingkat, mobil
mengkilap, suami pejabat bahkan duit berlipat-lipat. Pasti jawabannya semua.
Atau sebagian besar “Ya” semua ingin demikian. Namun manusia hanya mampu
berkalam semata dan ber imaji sesuka hati. Toh yang menentukan segalanya, cuma
satu. Allah Swt.
Sejak kecil, aku hampir tidak mengenal apa itu kebahagiaan,
bagaimana bentuknya, apa saja di dalamnya. Tidak, aku tak pernah merasakannya
sama sekali. Bagiku, bahagia hanyalah milik orang-orang berdasi, punya tahta
dan jabatan. Duniaku tak jauh dari kata melarat dan menderita. Bayangkan, sejak
kelas 4 SD. Aku sudah terbiasa tanpa kehangatan seorang ibu. 26 Desember 2004
telah menjadi saksi bisu atas kepergiannya. Hidup sebatang kara bertemankan
sepi dan airmata, itu sudah lumrah. Mulai saat itu, aku yang masih kecil harus
bertahan seorang diri di tengah-tengah kekurangan. Kemanakah sosok kepala
keluarga yang disebut ayah, dimanakah sosok imam untuk anak dan istrinya. Sialnya
pernyataan itu tak pernah terungkap keluar. Sejak kecil, aku sudah dibesarkan
oleh seorang nelayan sekaligus tetangga jauhku yang baik hati. Ia mengasihiku
dan menyayangiku seperti anaknya
sendiri, meski pada kenyataannya, ia sendiri belum berkeluarga. Harus ku akui,
sejak saat itu pulalah ia tlah menggantikan status ayah kandungku. Namun
setelah kepergian Ibu, aku tak berani lagi menyusahkannya, aku sudah besar dan
harus bisa mandiri. Akupun mulai melepas diri dari tanggungannya.
“Kasih, selamat ya. Dapat beasiswa! Ditunggu traktirannya.”
Tatapan-tatapan itu seolah mencibirku. “Apa enaknya sih hidup bergantung pada
beasiswa. Dimana-mana orang yang dapat beasiswa itu kolot, kuper dan
ketinggalan zaman. bayangkan dunia yang ia tau hanya buku dan buku. Sekali-kali
shopping donk, ke salon kek, atau sekedar cuci mata ke tempat-tempat terlarang.”
“Nauzubillah.” Bagiku, dapat beasiswa jauh lebih bermartabat daripada memeras
penghasilan rakyat yang tak berdosa. Sekali lagi kutegaskan. Dunia yang demikian itu hanyalah milik
orang-orang berdasi. Tidak untuk penjual sayuran , pedagang kaki lima,
pengemis, juga anak yatim sepertiku.
Entah malam apa, laki-laki yang ku panggil ayah itu terseok-seok
menghampiri ku malam-malam buta. Kulirik jam dinding yang kusam menunjukkan
pukul 11 malam. Tampak seburat kelelahan dimatanya. “Kasih, ayah mendapati
surat ini dari keluarga di Teunom. Katanya ia melihat ayah kandungmu di sana
dan...” kata-kata selanjutnya, hening. “Dan apa ayah, cepat katakan.” Aku sudah
tak sabar ingin mendengarnya.” Hamburku.
Tiba-tiba, laki-laki yang ku
panggil ayah itu memelukku dan menangis. “Kenapa ayah, kok menangis?” aku tau, ayah
menangis karna takut kehilanganku kan? Atau
ayah mengira kalau aku akan melupakanmu?” Isak ayah semakin menjadi. Ayah berikan
surat itu untukku, biar ku baca sendiri. Lemas, seolah ada ribuan jarum menusuk
dan menghujam isi otakku. Sakit? Tidak. Itu belum seberapa, dibanding isi surat
ini.
Assalamu’alaikum Wr Wb...
Bagaimana kabarmu dan keluarga? Kuharap kalian semua slalu dalam
limpahan Rahmat dan MahabbahNya.
Langsung saja, beberapa hari lalu. Saya sudah menemukan ayah
kandung Kasih. Diluar dugaan, saya justru bertemu dengannya di acara pernikahan
ponaan saya di daerah Meulaboh, Aceh Jaya. Kau tau, saya kaget bukan main. Awalnya saya
lebih memilih untuk membungkam dan melupakan segala yang bersangkutan
tentangnya. Tapi, saya tak ingin mengingkari janji yang pernah saya ikrarkan sebelumnya.
Janji tetaplah janji. Dan janji adalah hutang yang harus ditepati.
Waktu itu ingin sekali saya
menghajarnya sampai babak belur. Tapi sekali lagi, saya tak ingin berjalan
terlalu jauh. Maaf!
Semoga surat ini bisa memberi jawaban atas pencarianmu slama ini.
Wassalam
Cut Ngoh[1]
di Teunom
Setelah itu, aku tak pernah lagi mendengar kabar tentang ayah. Hingga
2012 lalu mengantarkanku menjadi salah
satu mahasiswi Tarbiyah, jurusan Bahasa Inggris di UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
Lembaran demi lembaran baru pun mulai ku buka. Aku percaya, roda kehidupan
pastilah berputar. Sungguh Allah Maha Mengetahui nasib setiap hamba-hambaNya.
No comments:
Post a Comment