Friday, July 18, 2014

Kisah Kasih Tak Berujung

Siapa sih yang tak ingin bahagia? Punya gedung bertingkat, mobil mengkilap, suami pejabat bahkan duit berlipat-lipat. Pasti jawabannya semua. Atau sebagian besar “Ya” semua ingin demikian. Namun manusia hanya mampu berkalam semata dan ber imaji sesuka hati. Toh yang menentukan segalanya, cuma satu. Allah Swt.
Sejak kecil, aku hampir tidak mengenal apa itu kebahagiaan, bagaimana bentuknya, apa saja di dalamnya. Tidak, aku tak pernah merasakannya sama sekali. Bagiku, bahagia hanyalah milik orang-orang berdasi, punya tahta dan jabatan. Duniaku tak jauh dari kata melarat dan menderita. Bayangkan, sejak kelas 4 SD. Aku sudah terbiasa tanpa kehangatan seorang ibu. 26 Desember 2004 telah menjadi saksi bisu atas kepergiannya. Hidup sebatang kara bertemankan sepi dan airmata, itu sudah lumrah. Mulai saat itu, aku yang masih kecil harus bertahan seorang diri di tengah-tengah kekurangan. Kemanakah sosok kepala keluarga yang disebut ayah, dimanakah sosok imam untuk anak dan istrinya. Sialnya pernyataan itu tak pernah terungkap keluar. Sejak kecil, aku sudah dibesarkan oleh seorang nelayan sekaligus tetangga jauhku yang baik hati. Ia mengasihiku dan menyayangiku seperti  anaknya sendiri, meski pada kenyataannya, ia sendiri belum berkeluarga. Harus ku akui, sejak saat itu pulalah ia tlah menggantikan status ayah kandungku. Namun setelah kepergian Ibu, aku tak berani lagi menyusahkannya, aku sudah besar dan harus bisa mandiri. Akupun mulai melepas  diri dari tanggungannya.
“Kasih, selamat ya. Dapat beasiswa! Ditunggu traktirannya.” Tatapan-tatapan itu seolah mencibirku. “Apa enaknya sih hidup bergantung pada beasiswa. Dimana-mana orang yang dapat beasiswa itu kolot, kuper dan ketinggalan zaman. bayangkan dunia yang ia tau hanya buku dan buku. Sekali-kali shopping donk, ke salon kek, atau sekedar cuci mata ke tempat-tempat terlarang.” “Nauzubillah.” Bagiku, dapat beasiswa jauh lebih bermartabat daripada memeras penghasilan rakyat yang tak berdosa. Sekali lagi kutegaskan.  Dunia yang demikian itu hanyalah milik orang-orang berdasi. Tidak untuk penjual sayuran , pedagang kaki lima, pengemis, juga anak yatim sepertiku.
Entah malam apa, laki-laki yang ku panggil ayah itu terseok-seok menghampiri ku malam-malam buta. Kulirik jam dinding yang kusam menunjukkan pukul 11 malam. Tampak seburat kelelahan dimatanya. “Kasih, ayah mendapati surat ini dari keluarga di Teunom. Katanya ia melihat ayah kandungmu di sana dan...” kata-kata selanjutnya, hening. “Dan apa ayah, cepat katakan.” Aku sudah tak sabar ingin mendengarnya.” Hamburku.
 Tiba-tiba, laki-laki yang ku panggil ayah itu memelukku dan menangis. “Kenapa ayah, kok menangis?” aku tau, ayah menangis karna takut  kehilanganku kan? Atau ayah mengira kalau aku akan melupakanmu?” Isak ayah semakin menjadi. Ayah berikan surat itu untukku, biar ku baca sendiri. Lemas, seolah ada ribuan jarum menusuk dan menghujam isi otakku. Sakit? Tidak. Itu belum seberapa, dibanding isi surat ini.
Assalamu’alaikum Wr Wb...
Bagaimana kabarmu dan keluarga? Kuharap kalian semua slalu dalam limpahan Rahmat dan MahabbahNya.
Langsung saja, beberapa hari lalu. Saya sudah menemukan ayah kandung Kasih. Diluar dugaan, saya justru bertemu dengannya di acara pernikahan ponaan saya di daerah Meulaboh, Aceh Jaya.  Kau tau, saya kaget bukan main. Awalnya saya lebih memilih untuk membungkam dan melupakan segala yang bersangkutan tentangnya. Tapi, saya tak ingin mengingkari janji yang pernah saya ikrarkan sebelumnya. Janji tetaplah janji. Dan janji adalah hutang yang harus ditepati.
 Waktu itu ingin sekali saya menghajarnya sampai babak belur. Tapi sekali lagi, saya tak ingin berjalan terlalu jauh. Maaf!
Semoga surat ini bisa memberi jawaban atas pencarianmu slama ini.
Wassalam
Cut Ngoh[1] di Teunom
            Setelah itu, aku tak pernah lagi mendengar kabar tentang ayah. Hingga  2012 lalu mengantarkanku menjadi salah satu mahasiswi Tarbiyah, jurusan Bahasa Inggris di UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Lembaran demi lembaran baru pun mulai ku buka. Aku percaya, roda kehidupan pastilah berputar. Sungguh Allah Maha Mengetahui nasib setiap hamba-hambaNya.


[1] Saudara perempuan yang tengah.

No comments:

Friday, July 18, 2014

Kisah Kasih Tak Berujung

Siapa sih yang tak ingin bahagia? Punya gedung bertingkat, mobil mengkilap, suami pejabat bahkan duit berlipat-lipat. Pasti jawabannya semua. Atau sebagian besar “Ya” semua ingin demikian. Namun manusia hanya mampu berkalam semata dan ber imaji sesuka hati. Toh yang menentukan segalanya, cuma satu. Allah Swt.
Sejak kecil, aku hampir tidak mengenal apa itu kebahagiaan, bagaimana bentuknya, apa saja di dalamnya. Tidak, aku tak pernah merasakannya sama sekali. Bagiku, bahagia hanyalah milik orang-orang berdasi, punya tahta dan jabatan. Duniaku tak jauh dari kata melarat dan menderita. Bayangkan, sejak kelas 4 SD. Aku sudah terbiasa tanpa kehangatan seorang ibu. 26 Desember 2004 telah menjadi saksi bisu atas kepergiannya. Hidup sebatang kara bertemankan sepi dan airmata, itu sudah lumrah. Mulai saat itu, aku yang masih kecil harus bertahan seorang diri di tengah-tengah kekurangan. Kemanakah sosok kepala keluarga yang disebut ayah, dimanakah sosok imam untuk anak dan istrinya. Sialnya pernyataan itu tak pernah terungkap keluar. Sejak kecil, aku sudah dibesarkan oleh seorang nelayan sekaligus tetangga jauhku yang baik hati. Ia mengasihiku dan menyayangiku seperti  anaknya sendiri, meski pada kenyataannya, ia sendiri belum berkeluarga. Harus ku akui, sejak saat itu pulalah ia tlah menggantikan status ayah kandungku. Namun setelah kepergian Ibu, aku tak berani lagi menyusahkannya, aku sudah besar dan harus bisa mandiri. Akupun mulai melepas  diri dari tanggungannya.
“Kasih, selamat ya. Dapat beasiswa! Ditunggu traktirannya.” Tatapan-tatapan itu seolah mencibirku. “Apa enaknya sih hidup bergantung pada beasiswa. Dimana-mana orang yang dapat beasiswa itu kolot, kuper dan ketinggalan zaman. bayangkan dunia yang ia tau hanya buku dan buku. Sekali-kali shopping donk, ke salon kek, atau sekedar cuci mata ke tempat-tempat terlarang.” “Nauzubillah.” Bagiku, dapat beasiswa jauh lebih bermartabat daripada memeras penghasilan rakyat yang tak berdosa. Sekali lagi kutegaskan.  Dunia yang demikian itu hanyalah milik orang-orang berdasi. Tidak untuk penjual sayuran , pedagang kaki lima, pengemis, juga anak yatim sepertiku.
Entah malam apa, laki-laki yang ku panggil ayah itu terseok-seok menghampiri ku malam-malam buta. Kulirik jam dinding yang kusam menunjukkan pukul 11 malam. Tampak seburat kelelahan dimatanya. “Kasih, ayah mendapati surat ini dari keluarga di Teunom. Katanya ia melihat ayah kandungmu di sana dan...” kata-kata selanjutnya, hening. “Dan apa ayah, cepat katakan.” Aku sudah tak sabar ingin mendengarnya.” Hamburku.
 Tiba-tiba, laki-laki yang ku panggil ayah itu memelukku dan menangis. “Kenapa ayah, kok menangis?” aku tau, ayah menangis karna takut  kehilanganku kan? Atau ayah mengira kalau aku akan melupakanmu?” Isak ayah semakin menjadi. Ayah berikan surat itu untukku, biar ku baca sendiri. Lemas, seolah ada ribuan jarum menusuk dan menghujam isi otakku. Sakit? Tidak. Itu belum seberapa, dibanding isi surat ini.
Assalamu’alaikum Wr Wb...
Bagaimana kabarmu dan keluarga? Kuharap kalian semua slalu dalam limpahan Rahmat dan MahabbahNya.
Langsung saja, beberapa hari lalu. Saya sudah menemukan ayah kandung Kasih. Diluar dugaan, saya justru bertemu dengannya di acara pernikahan ponaan saya di daerah Meulaboh, Aceh Jaya.  Kau tau, saya kaget bukan main. Awalnya saya lebih memilih untuk membungkam dan melupakan segala yang bersangkutan tentangnya. Tapi, saya tak ingin mengingkari janji yang pernah saya ikrarkan sebelumnya. Janji tetaplah janji. Dan janji adalah hutang yang harus ditepati.
 Waktu itu ingin sekali saya menghajarnya sampai babak belur. Tapi sekali lagi, saya tak ingin berjalan terlalu jauh. Maaf!
Semoga surat ini bisa memberi jawaban atas pencarianmu slama ini.
Wassalam
Cut Ngoh[1] di Teunom
            Setelah itu, aku tak pernah lagi mendengar kabar tentang ayah. Hingga  2012 lalu mengantarkanku menjadi salah satu mahasiswi Tarbiyah, jurusan Bahasa Inggris di UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Lembaran demi lembaran baru pun mulai ku buka. Aku percaya, roda kehidupan pastilah berputar. Sungguh Allah Maha Mengetahui nasib setiap hamba-hambaNya.


[1] Saudara perempuan yang tengah.

No comments: