Jauh kau menggoda inginku akan setiap bayang
mengelabu
Kau nyelinap masuk dari pintu mana saja, hingga
memaksa aku tuk menurut
Sepotong bolpoint dan selembar kertas putih menjadi
saksi harapanmu kala itu
Bukan semu. Dengan tertatih aku mulai menyusun sajak
apa saja hingga engkau ada dalam nyata.
Pertama kalinya, ya pertama kalinya aku menikmati
hadirmu, setelah ribuan abad kau mengusik, berbisik, menggelitik otakku.
Kau berhasil, melumpuhkan lengahku, walau tidak
sepenuhnya.
Jujur, dari dulu aku tak tega melihatmu gentayangan
sepanjang siang-malam
Berharap aku
memberi kebebasanmu bersua.
Aku malu, aku takut jika aku berhasil menjamu,
engkau malah tersisihkan diantara pesaing-pesaingmu yang lain.
Mereka hebat, mereka kuat…
Mereka adalah penyair-penyair dunia berbakat.
Sedang aku???
Aku hanyalah hawa,
yang nekat menggoncang dunia dengan menggadaikan sabdamu
Mustahil aku
bisa, jelas aku gagal, karna ku tak mampu.
Aku malu, aku
ragu, sebab aku dungu.
Aku bukan
penyair, tak layak aku dikatakan penyair.
“Mereka yang kau sebut penyair dunia juga berasal
dari engkau-engkau yang pemula” ini katamu.
Kau tersenyum,
seraya melanjutkan “Ini bukan persoalan
mampu atau tidak, namun ini persoalan mau atau tidak”
Kau menatapku,
aku balas menatap.
Lalu, kau
mengangguk, mantap, sambil mengacungkau dua jempol untukku.
Sejak itu, aku
mulai menerimamu, bukan karna terpaksa,
Namun, karna aku
mulai menyukaimu.
@Laskar Syuara 227_FLP Cab. Banda Aceh
1 comment:
Cieee :)
Tulisannya harum semerbak, aroma cinta menyeruak! So sweet :)
Post a Comment