Hujan
bulan desember kembali menderu, mengepakkan sayap basah di sepanjang jalanan
kota Banda Aceh. Antrian kendaraan dengan klakson yang bersahutan menjadi menu
wajib bagi para pengendara beroda. Sesekali terlihat anak kuliahan duduk di
haltle dengan mendekap buku di dada, sambil menanti salah satu labi-labi
menjemput atau sebagian yang lain justru memilih berjalan kaki. Dan aku
termasuk dari golongan yang berjalan kaki saat ini, sebab selain menghemat uang
jajan, juga menyegarkan pendengaran dari suara bising tombol yang terdengar
dari kendaraan yang berlalu lalang, tiiiittttt…tiiiittttt, poopppp..poooppp. Ah, sesekali ikut berjalan sehat, kenapa tidak.
Lagian jarak antara kost ke kampus hanya 10 menit bila berjalan kaki.
Tiba-tiba,
mataku menangkap sosok anak perempuan yang duduk manis di salah satu toko
kelontong depan mesjid Fathun Qarib[1]. Saat
ingin mendatanginya, azan pun berkumandang. Ini adalah panggilan Rabbku, Tuhan
seru sekalian alam. Kuacuhkan pikiran tentang
anak perempuan itu beberapa saat, dan bersegera mendirikan shalat zuhur
berjama’ah. 15 menit berlalu, kembali kuarahkan pandang ke seberang jalan, anak
itu masih di situ, mungkin orangtua belum datang menjemput. Tak perlu lama, aku
sudah di depannya. Aneh, aku tak menemukan gelagat ingin menghindar sama
sekali, dia masih tetap di tempat semula tanpa merasa kalau di depannya ada
orang lain yang sedang memperhatikannya. Apakah
anak ini buta? Pertanyaan tak terkontrol muncul di kepalaku, tanpa menanya
lebih dulu, ku goyangkan tangan kananku di depan matanya, dia melihat, tapi
anak matanya seolah tak menimbulkan reaksi.
“Assalamu’alaikum,
adik manis. Apa kakak boleh gabung?” tanyaku pelan, namun pasti. Kulihat dia
sedikit bergeser ke kanan, terlihat wajahnya agak menegang, sangking kagetnya.
“Wa’alaikum salam, kakak siapa?” dia justru berbalik tanya. “Pangil kakak,
Tunis!” kutuntun tangan mungilnya memegang wajahku, berniat tuk cairkan beku di
dirinya. “Kakak berjenggot ya? Wah, pasti kakak ganteng. Kenalkan, kak, saya Muara!”
tangan itu pun berpindah di hadapan, dia menyalamiku, layaknya guru besar yang
sudah lama tak jumpa. Entah kenapa, melihat kepolosannya, aku kembali teringat
dengan adik perempuanku yang telah tiada 10 tahun lalu, tangannya terlepas
tepat ketika tsunami menghantam tubuh kami seketika. Dia hanyut terbawa air
pekat, sedang aku tersangkut di atas ranting pohong. Bahkan hingga kini, aku
tidak menemukan jasadnya, kupercaya, Allah telah memilihkan adikku sebagai
salah satu calon bidadari surga kelak. Amien.
“Kakak
melamun yah? Kok kakak nangis?” kurasakan lagi, tangan kecil itu memegang
wajahku, dia mengusap air mata yang menetes seperti seorang ibu yang
menenangkan bayi kecilnya. “Ah, kakak sangat senang kenal dengan Maura, lucu,
baik, cantik lagi.” Aku sengaja tak menanggapi pertanyaan itu, sebab tak ingin
suasana hujan mendukung sensasi untuk bergalau ria. Kulihat dia tersipu, rona
merah muda terpampang jelas di kedua lesung pipinya. Sangat mirip dengan
Dindaku. “Pulang kemana dik? Ini ada payung, Maura boleh bawa pulang sementara
waktu.” Dia tak berkutik, lagi, tak memberi respon. Lama kami terdiam, hingga
akirnya dia bersuara.
“Maura tinggal di Lingke kak, tapi Maura gak bisa melihat
jalan, Maura buta.” Setitik airmata menetes di kerudung putihnya. “Tadi, mamak
nelpon, katanya gak bisa jemput Maura, sore ini, mamak ada rapat mendadak di
kantor.” Kembali hening. “Ya sudah, jangan nangis, kakak akan mengantarkan
Maura pulang ke rumah.” Kutinggalkan dia sesaat, agak menjauh, kurogoh Hp tet
tot peninggalan Cina dan menghubungi salah satu kontak di dalamnya. “Akh Ryan,
ada di kost gak? Ane di dekat kost ente nih, bisa ketemu tidak? Ok, ok, ane ke
sana sekarang.” Tut…tut…tut… obrolan terputus. Setelah permisi ke Maura kecil,
segera kutemui Ryan dan memintanya meminjamkan motor barang 15 menit. Beruntung
dia tidak ada kuliah siang ini, jadi aku bisa membawanya saat itu juga.
“Syukran akh, secepatnya akan ane kembalikan.” Lawan bicaranya hanya tersenyum
seraya menepuk pundakku “Sampailah dengan selamat, itu yang terpenting.” Aku
membalas senyumnya, setelah memberi salam dan berpamitan, aku segera menemui
gadis cilik yang masih menunggu dengan sabarnya.
“Sudah siap? Kita pulang!” gadis itu memegang pinggangku erat, seolah akan jatuh dan terseret dalam luapan becek bila sedikit saja merenggang. Hujan kini tinggal titik-titik. Sampai di sana, kami tak mengobrol, selain ucapan terimakasih dari anak perempuan yang kutaksir umurnya sekitar 10 tahun. Dia meminta izin ke belakang sebentar, sebelum kembali dengan sebuah kotak kecil di tangannya. “Kak, Maura Cuma punya ini, tolong diambil dan dijaga, kelak jika Maura sudah bisa melihat lagi, dan kalau Allah masih mengizinkan kita ketemu, tampakkan ini padaku.” Aku menerimanya, meski ada banyak anya yang mulai bersarang di benakku. “Terimakasih adik manis, insya allah kita akan ketemu lagi kok.” Aku segera pamit dan berlalu membelah jalanan Jeulingke, kembali ke Darussalam.
***
5
tahun berlalu, sehari sebelum kematian memisahkan raga. “Kak Tunis….!!!” Panggil
suara perempuan berparas indah layaknya model di tivi. Aku menoleh, mencari
asal suara. “Kakak…. Kakak!” kini perempuan itu memanggilku lebih keras
disertai dengan gerakan melambai. Aku membalas dengan seutas senyum. Kuhampiri akhwat
berjilbab kuning bunga-bunga kecil di sekelilingnya. Apakah itu dia?. Seperti mendengar suara hatiku, perempuan cantik
itu kembali bersuara, benar kak, ini aku, Maura. Gadis buta yang kakak antar
hingga tiba di rumah dengan selamat, 5 tahun lalu. Kaukah itu, Maura? Gadis kecilku? Pujaan yang hampir tiap detik
menghantui kelamku? Kemana saja kau selama ini? Mengapa kau biarkan aku
berlarut dalam duka yang berkepanjangan?. Si gadis hanya tersenyum, tanpak
di wajahnya kini lebih dewasa, namun lesung pipi itu semakin merekah jika
senyum itu sesekali tersungging di ronanya. “Apa kabar kakak? Bagaimana penampilanku
kini?” Maura semakin menciutkan hatiku, tanpa kuberitahukan pun dia bisa
menilainya sendiri. Waktu kecil saja kamu
sudah secantik bintang kejora, dik Maura, apalagi sekarang. Bulan dan mentari
saja pada tutup muka pake panci karna kurang PD sama kamu, dik. Harus seperti
apalagi kakak gambarkan keelokan ciptaan Tuhan ‘azza wajalla. Namun yang
terlihat aku hanya mengangguk. “Ternyata benar, mimpi itu tidak salah lagi.” “Mimpi
apa, dik?” tanyaku penasaran. Dia kembali tersenyum, kali ini menampilkan deret
gigi putihnya. “Mimpi melihat secercah cahaya yang amat terang terpampang di
balik wajah seseorang. Kemudian Maura mendekati laki-laki itu. Walau agak ragu,
Maura terus berjalan, kak. Terus, laki-laki itu memberi salam dan mengeluarkan
sesuatu dari balik saku celananya. Terakir yang Maura ingat, laki-laki di mimpi
itu mengeluarkan sebuah kotak kecil yang berisi kalung. Di situlah, pertama
kali adik melihat wajah kakak, sebab seumur hidup, hanya sekali itu dan hanya
satu orang saja Maura berikan sesuatu, orang itu kak Tunis.”
Tak
lama, Maura malah merogoh isi tas samping yang dia kenakan, sepasang kalung
yang sama persis dengan yang aku miliki 5 tahun yang lalu.
“Maura, awas…!!!” tak bisa dihindari, mobil sedan, mengkilap, keluaran terbaru itu menggilas gadis cantik, Maura, hingga terpelanting beberapa meter ke perut jalan. Darah segar membanjiri seluruh permukaan tempat kejadian, tidak butuh lama, Maura kembali ke pemilik semula. Kak, janji kita sudah lunas. Adik bisa pergi sekarang.
“Maura, awas…!!!” tak bisa dihindari, mobil sedan, mengkilap, keluaran terbaru itu menggilas gadis cantik, Maura, hingga terpelanting beberapa meter ke perut jalan. Darah segar membanjiri seluruh permukaan tempat kejadian, tidak butuh lama, Maura kembali ke pemilik semula. Kak, janji kita sudah lunas. Adik bisa pergi sekarang.
Hujan bulan desember, mulai turun titik-titik lalu, kemudian menjelma bongkahan-bongkahan
air yang lepas landas dari segala penjuru langit. Tak ingin ada luka di sisi,
walau sebenarnya hati ini menangis.
Hujan Bulan Desember |
No comments:
Post a Comment